PENCARI demokrasi tak mati-mati. Meski, di Cina "Dinding Demokrasi" di depan terminal bis di boulevard Changan, Beijing, telah disikat bersih dari poster-poster kritik, tujuh tahun lalu. Dan orang tak lagi diperbolehkan menempelkan apa pun di situ. Dan baru-baru ini, menjelang Kongres Partai Komunis Cina ke 13-25 Oktober, percik-percik perjuangan itu muncul lagi. Seorang pencari demokrasi memperdengarkan suaranya. Mungkin di luar Cina namanya tak begitu bergema. Tapi di Universitas Ilmu dan Teknologi Hefei, dialah wakil rektor sejak 1984, dan yang Desember lalu berdiri di belakang demonstrasi mahasiswa yang menuntut kebebasan mimbar. Dan karena itu Fang, kini 51 tahun, dibebaskan dari jabatannya. Kemudian, ia sempat jalan-jalan ke Roma, Italia, selama enam bulan. Di luar negeri itulah ia memberikan wawancara kepada majalah Der Spiegel, Jerman Barat, dan majalah Zheng Ming ("demokrasi" Indonesianya), Hong Kong (lihat Luar Negeri). Fang, cuma seorang dari sejumlah yang boleh disebut sebagai pembangkang yang masih berada di luar. Yang lain, yang bergerak lebih tegas, biasanya lalu masuk penjara (lihat Mereka yang Dicoba Dilumpuhkan). Dari mereka yang di dalam itu, seorang di antaranya dijuluki Narapidana No. 1. Dialah Xu Wenli, 42 tahun, seorang tukang listrik yang kemudian jadi penerbit, yang dijatuhi hukuman penjara 15 tahun. Jatuhnya rezim Mao dan kemudian dipenjarakannya Komplotan Empat, menjadikan udara Cina bebas buat bernapas. Ketika itulah, sekitar September 1978, seorang tukang listrik muda di Beijing bersama tiga kawannya menerbitkan jurnal stensilan yang diberi nama Forum 5 April. Nama itu menunjuk hari ketika sebuah demonstrasi besar melanda ibu kota Cina, menentang kediktatoran rezim Mao Zedong. Dan bila Forum sempat beredar, itu karena penguasa kemudian Deng Xiaoping, memang membuka kritik dari siapa pun. Maka, koran stensilan yang digarap di salah satu ruang dari apartemen dua kamar yang ditinggali Xu dan keluarganya itu pun menikmati kebebasannya. Meski tak mungkin bersaing dengan koran yang dicetak, artikel dalam koran itu banyak membicarakan soal-soal sensitif. Umpamanya tentang Taiwan. Kedua pemerintah Cina, RRC dan Taiwan, masing-masing menganggap dua negeri itu satu, dan Taiwan cumalah salah satu provinsi. Tapi Xu, menyebut-nyebut tentang "demokrasi pertama di kedua negara". Itu berarti ia tak mendukung cita-cita satunya Cina. Di tahun pemerintah Beijing mengadakan "Dinding Demokrasi", tulisan seperti itu ternyata masih ditolerir. Tapi begitu dinding itu dibersihkan, salah seorang redaktur Forum ditangkap dan dijatuhi hukuman tiga tahun. Majalah stensilan itu pun dilarang terbit. Xu nekat. Ia bergabung dengan buletin lain. Toh, akhirnya ia ditahan juga, 9 April 1981. Dalam sebuah rekaman yang diselundupkan keluar dan kemudian ditranskrip lalu dimuat serial di sebuah majalah berbahasa Cina terbitan New York, ia mengaku sebelum disidangkan diinterogasi 200 kali. Ini disebabkan karena ia tetap tak mau mengaku bersalah. Memang, di Cina pun ada asas praduga tak bersalah. Tapi sebelum disidangkan seseorang (yang kemudian ternyata hakim yang menyidangkan perkara Xu) memaksanya mengaku bersalah. Akhirnya, Xu dihukum bukan karena kesalahan obyektif. Tapi karena pertimbangan subyektif, yakni karena ideologi yang dianutnya dan soal kesetiaannya terhadap pemerintah. Berikut tutur kata Xu sebagaimana dimuat majalah di New York, yang dicuplik majalah Index on Censorship. * * * Setelah Forum dilarang terbit, hidupku justru lebih merdeka. Bagaimanapun pikiran jadi tenang. Waktu itu aku menerima surat dari Wang Xizhe dari Kanton dan Sun Weibang dari Qingdao (dua orang ini kemudian juga masuk penjara) yang ingin mengunjungiku. Aku sungguh senang menerima mereka. Tapi memang sulit bagiku menerima dua tamu di tempat tinggalku kini. Maka, aku mencarikan hotel bagi mereka lewat kenalanku Chan Deyao. Siapa tahu, ternyata, Hotel Ganjiakou yang dikelola Chen sebuah perangkap. Dalam kesempatan bertemu dua kawan ini aku ingin mendiskusikan, antara lain, mungkinkah di bawah sosialisme kita mendirikan dua atau banyak partai proletar. Intisari diskusi itu begini. Pelajaran yang bisa ditarik baik di Cina maupun Uni Soviet, karena masyarakat tak bisa mengontrol partai, maka sebagian besar kebijaksanaan yang salah tak bisa ditemukan. Jatuhnya Komplotan Empat tak membuat masalah itu bisa dipecahkan. Bila kaum borjuis bisa memiliki dua atau banyak partai untuk perkembangan masyarakat mereka sendiri, jadi mengapa kaum proletar tidak? Pada pikirku, harus ada terobosan ke dalam sistem partai tunggal ini. Dan itulah sistem multipartai. Tapi bila kita mempunyai banyak partai, akankah pertama-tama harus pula mengambil Marxisme sebagai dasar ideologi? Bila toh harus begitu, mestinya semua itu dilakukan secara terbuka hingga masyarakat mengetahuinya, dan tak perlu ada gerakan rahasia. Wang dan Sun berpendapat bahwa gagasan seperti itu belum waktunya dikeluarkan. Maka, sore itu diskusi berakhir. Tak sulit memahami bahwa diskusi itu bukan didasari pada antipartai atau antisosialis. Itu cuma sekadar diskusi mengenai perkembangan sosialisme di masa depan. Dan sesungguhnya tak pula ada kesimpulan apa pun Tapi kemudian kuketahui ternyata diskusi itu direkam oleh seseorang yang dekat dengan penguasa .... April, festival Qing Ming pun tiba, dan musim penangkapan kembali muncul. Kembali para aktivis pers "radikal" mengimbau Dewan Pekerja Kongres Rakyat Nasional agar mencabut larangan bagi media mereka, dan minta jaminan keamanan. Mereka memintaku sebagai juru bicara. Aku merasa orang-orang ini tak tahu bahwa dua atau tiga orang dari seluruh negeri Cina datang ke Kongres lalu membacakan petisi, sungguh hanya mirip sebuah sumbu untuk penangkapan-penangkapan yang lebih ketat. Minggu pertama April aku pagi-pagi pergi ke Tien An Men. Setelah itu aku bergegas ke sekolah istriku untuk mengecat meja tulis yang kupesan. Sungguh menyedihkan seseorang yang begitu senang "mengocok pikiran dan menuliskan hal-hal yang kurang bisa dipertanggungjawabkan", yang selama 30 tahun berbicara dengan sia-sia tentang negeri dan rakyatnya, ternyata tak memiliki apa pun termasuk sebuah meja tulis. Pada 7 April, anak perempuanku menyambutku begitu aku sampai dari kerja, "Pak, kami mau tamasya." "Oh, ya, ini pertama kali buatmu, bukan? Apakah kamu membayar ongkosnya?" tanyaku. Ini pertanyaan rutin bagi si miskin, yang begitu takut bila harus membayar mahal untuk segala keperluan. "Ongkosnya 70 sen. Lihat, ini uangku," katanya. Mataku basah, hatiku seperti tercungkil. Anak perempuanku ini sekali lagi dengan tepat mengetahui bahwa ayahnya lagi bangkrut. Aku tertawa sumbang dan berkata, "Wah, kau tak perlu menggunakan uang sendiri, simpan saja." Lalu saya rogoh uangku terakhir, satu yuan, dan kuberikan padanya. Pada tanggal 8, aku benar-benar bokek. Kudekati pemimpin reguku, dan kukatakan bahwa mandor seharusnya membayar kami hari ini, sebab biasanya awal bulan kami sudah dibayar. Kusebut jumlah sepuluh yuan atau lebih. Itulah yang biasanya kami terima di awal bulan, sebagai bonus, uang makan dan transpor. Paginya, 9 April, kami menerima bayaran. Sehabis kerja aku langsung menuju Dong Dan, belanja sebagaimana layaknya orang berduit. Kubeli cream roll, cokelat, saus, jeruk, dan buah-buahan. Masih ada persediaan telur di rumah, kukira. Inilah semua untuk anak perempuanku yang mau tamasya itu. Saya merasa bahagia hari itu. Setelah makan dan membaca surat kabar, kubungkus semua, yang kubeli untuk anakku, kujadikan satu dengan buku sekolahnya. Lalu aku pergi tidur. Waktu itu jam menunjukkan pukul sebelas lebih. Baru sebentar aku menggeletak, tiba-tiba terdengar pintu digedor. Aku bangun, kubuka pintu. "Nyalakan lampu," suara itu memerintah. "Dan cepatlah berpakaian." Dengan masih mengantuk, anakku yang terbangun bertanya, "Pak, ada apa, sih?" Kujawab cepat, "Tak ada apa-apa, tidur saja lagi dengan nyenyak." Aku tak ingin ia ikut cemas dan takut. Lebih dari sepuluh orang berseragam dan polisi berpakaian sipil berkerumun di depan pintu. Mereka tak bicara apa pun, demikian juga aku. Istriku berdiri dengan gaun usangnya. Pagi tadi ia ke rumah gadai mencoba menggadaikan gaun itu. Tapi ditolak. Suami macam apa aku ini. Ia menatapku, seperti hendak merekam gambar suaminya. Mengerti aku mencari-cari sapu tangan, ia mengambilnya dari samping tempat tidur, melipatnya, lalu memberikannya kepadaku. Kulepas arlojiku yang berlapis emas pemberian kakakku, dan kupakaikan ke tangannya. "Apakah kalian membawa surat perintah?" tanyaku kepada tamu-tamu tak diundang itu. "Ini surat perintah penahanan," kata seorang di antara mereka. Aku tak berselera melihatnya. Tapi tiba-tiba, klik, tanganku telah terborgol. Tanpa bicara lagi aku pun berjalan ke luar rumah. Di luar lebih dari 20 polisi berjagajaga. Beberapa pekerja di kawasan itu rupanya terbangun dan melihat ke luar. Jauh sebelum hari ini aku telah memutuskan bila hal itu terjadi padaku, aku tak akan meninggalkan pesan apa pun. Di kota dengan hubungan antarorang begitu tawar, segala protes dan berita orang kelaparan sungguh sia-sia. Penguasa hanya akan berkata, "Mereka telah membayar sesuai dengan perbuatannya." Jadi lebih baik aku diam saja, menyimpan semuanya di dalam hati sendiri. Zaman tentu akan berubah, dan adegan dalam bioskop itu bukan apa-apa, cuma film. Dalam perjalanan pun aku cuma membisu. Seorang polisi muda berpakaian preman tiba-tiba bertanya, "Apakah borgol itu terlalu kencang?" Aku menggelengkan kepala. Mobil berhenti di Jembatan Banbu No. 44. Beberapa kali lampu kilat menyala, aku dipotret. Lalu digeledah, barang-barangku dicatat, aku diminta menandatangani selembar formulir, lalu dibawa ke sel. Waktu itu aku sempat berbicara kepada orang yang melakukan prainterogasi. "Besok, anak perempuanku ikut piknik sekolahnya. Aku mohon janganlah ia diganggu," kataku. "Kami tak ada urusan dengan anak perempuanmu. Bila ia pergi piknik, kami tak akan mengganggunya. Bila ia tidak pergi, kami pun tak akan membujukku agar ikut tamasya," jawab orang itu dingin. Pikiranku jadi tenang, aku merasakan kedamaian. Aku ditaruh di sel No. 14, koridor No. 2. Sel itu untuk tahanan tunggal, aku diberi bantal dan selimut. Biasanya tahanan tak diberi bantal. Dan sebelum pergi, sipir itu bilang, "Bila selimutmu kurang tebal, bilang saja besok." Sesudah itu tak seorang mendatangiku mengajak bicara. Baru aku merasakan dingin, seperti pemanas ruang telah dimatikan. Aku berbaring, pikiranku menerawang, hingga fajar. Hari berikutnya aku dipindahkan ke sel No. 9. Lalu berlangsunglah delapan bulan pengusutan. Untuk standar pengusutan di Cina, itu bukan waktu yang lama. Tapi selama itu aku telah diinterogasi sebanyak 200 kali. Ini di luar biasa. Ada tujuh orang selama itu, berganti-ganti, yang menginterogasiku. Semua saja tak mengatakan namanya. Dan hampir mereka semua berusia di atas 50 tahun, berwajah pucat dengan garis-garis tajam, berbibir tipis. Seorang berkata padaku, "Jika kukatakan kamu terlibat kejahatan, maka itu tak bisa lain. Tapi jika kamu mau kerja sama denganku, kamu akan menerima kelonggaran. Jika tidak, akan kukirim orang yang kasar menanyaimu." Gagal dengan cara itu, mereka mengubah taktik. Mereka lalu menggunakan pendekatan yang mengancam. Kini, istrikulah yang mereka persoalkan. Esoknya, mereka melakukan ancaman lebih jauh. "Jika kami menahan juga istrimu, apa pendapatmu?" tanyanya. Tak lagi bisa menguasai diri, kataku, "Kalian memang orang-orang yang tak punya rasa kemanusiaan secuil pun." Aku tahu, dan kukira mereka pun tahu, bahwa istriku tak punya minat sedikit pun pada politik. Tapi untuk tak melukai hatiku, dan agar aku bisa memenuhi bakatku, dan juga karena ia sangat mencintaiku, maka ia akur saja pada segala yang kukerjakan. Tapi ia tak sedikit pun ambil bagian dalam kegiatan-kegiatan itu. Menahan istriku karena kegiatanku, sungguh sama sekali tak beralasan. * * * Pengadilan mulai dibuka pada 8 Juni 1982. Pembelaan Xu seperti hilang di angin. Semuanya seperti sudah direncanakan. Ia dijatuhi hukuman 15 tahun penjara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini