IMIGRAN Asia -- Amerika-Amerika baru itu -- banyak yang sukses, tapi tidak demikian nasib imigran yang lebih "tua", pendatang yang berkulit hitam. Hampir delapan juta orang hitam terimpit dalam dunia kelas bawah di berbagai kota di Amerika Serikat: tak bisa bangkit, miskin, buta huruf, dan tak terjangkau perlindungan hukum. Jumlah ini adalah sebagian dari sekitar 22 juta orang hitam di sana, dan tentu bagian yang lebih banyak itu sudah menapak kehidupan yang lebih tinggi. Terutama sejak mereka memenangkan perjuangan menuntut hak sipil di tahun 1960. Namun, hampir sepertiga dari mereka masih tetap berkubang pada ketidakberuntungan tadi menganggur, retak keluarga, terlibat narkotik kekerasan, dan tentu saja kesejahteraan yang minim. Pemimpin politik terkenal, macam Presiden Reagan atau wali kota New York Ed Koch, sudah sering mempertanyakan sejauh mana hasil dari ratusan milyar dolar dana pemerintah untuk meningkatkan pendidikan, membangun fasilita perumahan, dan "membina keamanan" di perkampungan kaum hitam yang masih kumuh itu. Pada perdebatan nasional, pemimpin kaum hitam melihat faktor budaya sering menjadi hambatan. Memang, pada orang-orang putih liberal ada tanda-tanda bersikap tak sabar dalam menangani masalah ini. Sebaliknya pada kaum konservatif, mereka menuding kaum hitam yang masih melata ini sangat menggantungkan diri pada santunan. Sebuah artikel yang berapi-api berjudul "Memecah Keheningan" diterbitkan Maret lalu di media massa New York. Penulisnya, Pete Hamill, seorang kulit putih liberal. Yang menarik perhatiannya adalah fenomena datangnya orang Korea, Pakistan, Kuba, Haiti, Yunani, Vietnam Rusia, Yahudi -- yang keseluruhannya tak berbicara Inggris -- menggeser kaum hitam Amerika. Hamill juga membeberkan data menyedihkan. Hampir tiga puluh persen dari seluruh orang hitam Amerika hidup di bawah garis kelayakan dengan penghasilan sekitar 11 ribu dolar AS setahun untuk keluarga dua anak. Pada kaum kulit putih, angka ini hanya 8 persen. Di New York, 60 persen remaja kulit hitam tak menyelesaikan SMA-nya. Kematian bayi di kalangan kaum hitam sampai 50 persen lebih tinggi ketimbang di masyarakat kaum putih. Dan, "sepertiga orang hitam di New York yang berusia 5 sampai 19 tahun tewas terbunuh." Secara nasional, Hamill mencatat bahwa penyebab kematian tertinggi di kalangan orang hitam itu adalah pembunuhan. Lalu, ini hasil yang ia lemparkan dan cukup mengejutkan: di kalangan hitam penyakit AIDS berkembang lebih pesat. Sejauh mana tulisan ini benar, entahlah. Potret sosial di kawasan North Lawndale bisa menunjukkan contoh lebih jelas bagaimana nasib kaum hitam. Pada bulan Januari 1966, Martin Luther King menyewa sebuah apartemen di sudut jalan Hamlin Street di North Lawndale, Chicago Barat. Daerah itu dulu adalah daerah terhormat, permukiman Yahudi kelas menengah. Presiden Franklin Roosevelt menjulukinya "daerah demokratis terbesar di seluruh negeri." Maka, Martin Luther pun menjadikan daerah itu sebagai markasnya. Sekarang, rumah itu tiada. Gantinya adalah tumpukan botol pecah dan rerumputan. Tak seorang pun di perempatan seberang jalan yang percaya bahwa Martin Luther pernah hidup di sana. Orang Yahudi sudah lama pergi. Kini, para penjaga toko kebanyakan orang Arab, bekerja di belakang perisai antipeluru atau kawat pembatas, dengan membawa pistol dalam sabuknya. Ini khas "ghetto" -- perkampungan hitam kelas bawah. Setiap hari, lebih dari 40 ribu dolar terpakai buat biaya mematroli tempat itu. Kekerasan hampir setiap tiga jam sekali terjadi. Kawasan itu hanya berpenduduk 61.500 orang -- dua persen dari penduduk Chicago. Tapi perjalanan ambulans ke sana 10 persen dari kegiatan kendaraan itu di seluruh kota. Dan hampir semua mobil yang hilang tercuri ditemukan di North Lawndale atau ghetto-ghetto sekitarnya. Para pencuri umumnya adalah kawanan remaja. Mereka baru berusia 10 hingga 19 tahun. Hakim di pengadilan lokal mengatakan bahwa dia sering diancam dan berdebat dengan kawanan muda itu di ruang pengadilan. Di sekolah-sekolah, pagar kawat setinggi lima meter yang mengelilinginya belum dianggap cukup. Kebanyakan kaca telah diganti dengan plastik hingga tak mudah pecah. Satpam dan polisi bersenjata terus berpatroli di koridor sekolah. Sejak tahun 1983, tiga perempat dari kelahiran anak hitam di Chicago adalah hasil di luar ikatan perkawinan. Bandingkan dengan tahun 1970 yang hanya separuh. Sembilan puluh lima persen remaja kulit hitam yang melahirkan tanpa ikatan pernikahan. Pada tahun 1970, angka itu "baru" 75 persen. Bayi-bayi itu kemudian terlahir menjadi masyarakat kelas bawah. Dan hanya sedikit yang hidup panjang. Proses yang tak terelakkan itu tampak pada kehidupan Dorothy Sands. Seorang wanita gemuk berusia 38 tahun yang tinggal di North Lawndale. Sang ibu mengandung Dorothy saat berusia 15 tahun, sebelum meninggalkan Louise, Mississippi, sebuah daerah pertanian, ke apartemen kecil di Chicago. Nasib ibu muda ini bagai menurun pula ke Dorothy: anak ini kemudian juga hamil pada usia 15 tahun. Sekolahnya putus, dan ia mengurus anaknya, Barbara. Ternyata Barbara pun mengulang apa yang pernah terjadi pada ibu dan neneknya. Profesor William Julius Wilson, seorang hitam sosiolog dari Universitas Chicago, menyebutkan bahwa masalah kaum hitam kelas bawah begitu berakar. Jalan keluarnya hanya satu: perbaikan ekonomi. Sejumlah perusahaan memang pernah tumbuh di North Lawndale: pabrik Western Electric, International Harvester, dan kantor pusat Sears. Tapi Harvester tutup tahun 1960. Sears pindah ke pusat kota, dan Western Electric hanya mampu mempekerjakan 1.000 orang. Yang tersisa di sana adalah sebuah bank, satu supermarket, 48 agen lotre, 50 penukaran mata uang, dan 99 bar. Pengangguran di situ, kata Wilson, hanya menciptakan masalah yang lebih ruwet. Masyarakat hitam kelas menengah memilih pindah dari kawasan kumuh itu. Gerakan hak sipil dulu telah menjadikan orang hitam dokter, ahli hukum, pekerja sosial, guru, dan lain-lainnya. Tapi mereka terus pindah ke daerah permukiman kulit putih. Ini jelas merugikan. Kaum liberal kulit putih sering mempertautkan keruwetan itu dengan diskriminasi. Tapi mereka kadang menunjuk pada keberhasilan para imigran hitam asal Haiti yang baru. Sebanyak 10 ribu imigran datang tahun lalu, dan dipakai untuk mendukung pendapat bahwa rasialisme bukan faktor dominan nasib buruk kaum hitam kelas bawah. Sangat sedikit orang Haiti, yang datang dari daerah terkumuh di dunia, gagal mendapat kerja. Banyak yang menjadi sopir taksi dan mau pergi dari satu kota ke kota lain untuk memperbaiki nasib. Kaum konservatif lebih suka mempelajari masalah itu dari segi pengaruh bantuan pemerintah pada mereka. Bibel mereka adalah buku "Tanah yang Hilang" -- sebuah kritik terhadap reformasi "masyarakat besar" di masa Jonhson. Penulis Charles Murray yakin bahwa program kesejahteraan buat budaya kaum hitam ghetto hanya akan menjadikan sikap malas bekerja dan mengembangkan diri sendiri. Profesor Glenn Loury, ekonom-konservatif hitam, mengatakan bahwa lebih banyak kaum hitam yang diuntungkan oleh kenyataan "pertumbuhan orang hitam kelas bawah selalu menjadi pengingat bagi banyak orang Amerika bahwa mereka punya sejarah tentang komunitas hitam." Glenn dan kaum konservatif hitam lainnya melihat ketergantungan orang hitam pada santunan pemerintah adalah "narkotik sosial" dan hanya melahirkan lingkaran keputusasaan. Debat pun menjadi ramai antara dua penganut gagasan ekstrem dalam mencari jalan keluar bagi penghuni ghetto: diberi kerja atau mereka dibiarkan bangkit sendiri. Menyantuni mereka berarti melibatkan upaya besar pemerintah dan banyak dana untuk bisa memberikan kerja. Itu tak mudah. Belum tentu mereka mau menerima bentuk pekerjaan yang bisa ditawarkan pemerintah. Lagi pula, hal ini mengesankan sebagai santunan perbudakan, yang pernah terjadi di masa lalu. Gerakan "menolong diri sendiri" didukung oleh sejumlah intelektual hitam macam Glenn Loury. Mereka percaya bahwa orang hitam menjadi pincang oleh kebiasaan menggantungkan diri pada bantuan pemerintah. Dan mereka yakin bahwa orang hitam sekarang bisa menyelamatkan diri sendiri dengan berbagai cara. Antara lain adalah mengembangkan dunia wiraswasta kecil. Nicholas Lemann, seorang penulis yang telah mempelajari kehidupan kaum hitam kelas bawah, percaya apa pun sikap yang diambil pemerintah Amerika Serikat akan menentukan sukses mereka atau tidak. Dan Lemann punya prasangka rasial pula. "Ghetto adalah hasil dari banyak generasi yang memisahkan sepenuhnya mereka dari lingkungan, lembaga pendidikan, ekonomi, dan nilai kenikmatan di seluruh negeri." Maka, Lemann berbicara keras. "Orang-orang tak menyukai tinggal di ghetto. Mereka ingin keluar. Masyarakat harus mendorong mereka menuju ke arah itu," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini