LAUT pun menyimpan kasih sayang. Beribu manusia lebih akrab dengan laut. Suku Laut yang hidup di perairan Riau, tepatnya di sekitar Pulau Batam, misalnya. Mereka hidup turun-temurun di atas perahu kajang, mengembara di samudra luas. Bagi mereka, laut bukan hanya tempat mencari ikan, tapi juga sebuah riwayat hidup. Tempat mereka membangun masyarakat, menyusun sejarah, dan menciptakan nilai-nilai. Di sini, di atas sampan, berlangsung kehidupan: memasak, mencuci, atau menyusui anak. Di sini pula anak-anak lahir, tumbuh besar, bermain, bercinta, dan berkeluarga. Di sini pulalah ikan-ikan ditombak dengan bambu panjang, tidak dengan jaring yang ditebarkan. Maka, kecekatan membidik ikan yang berkeliaran di dalam air adalah keahlian seluruh keluarga, juga putri-putri suku, Laut. Ratusan sampan 5 x 1,5 meter berayun-ayun di atas gelombang. Di dalamnya sebuah keluarga amat bersahaja, tanpa sekolah. Di malam hari lentera bagaikan tumbuh dari rahim laut. Di atas sampan itu anjing kampung, burung betet, atau kucing dekil menjaga yang lelap. Laut adalah segalanya. Ia menyimpan sejarah. Alkisah, pada tahun 2500-1500 Sebelum Masehi, terjadi perpindahan besar-besaran bangsa Proto Melayu dari Daratan Asia ke Kepulauan Nusantara melalui Semenanjung Tanah Melayu. Lalu, bangsa Deutro Melayu pun menyerbu Nusantara. Nah, suku Laut adalah sisa-sisa Proto Melayu yang menylngkir ke laut karena terdesak. Dan kini, jumlah mereka 5.207 jiwa, mau ditarik kembali ke darat. Untuk kehidupan yang lebih baik, tentu. Sudah ada 14 kepala keluarga menghuni Pulau Bertam, tak jauh dari Pulau Batam. Kumuh namun itulah daratan. Dan itu adalah usaha Forum Komunikasi Konsultasi Sosial pimpinan Sri Soedarsono, istri Kepala Badan Pelaksana Otorita Batam. Forum itu membimbing mereka, mengajari tulis-baca. "Mereka toh saudara kita juga. Mereka berhak mendapat pendidikan," kata Sri. Hasilnya? Banun, seorang ibu berusia 30 tahun, bersama suami dan empat anaknya sudah menetap di Pulau Bertam. "Saya pikir, lebih menyenangkan mengasuh anak-anak di darat, tak repot," katanya. Tapi suaminya tetap di laut, mencari penghidupan. Juga Rahman, 30 tahun. Ia sedang membangun rumah di Bertam. Di sebuah siang, ia beristirahat bersama istrinya, Partimah. "Sekarang kita hidup bukan hanya untuk kita sendiri, tetapi juga buat anak-anak," tuturnya. Lalu apakah lentera di malam hari akan lenyap di atas samudra? Tidak. Di laut masih ada kehidupan: perjuangan mencari ikan. Di darat ada yang menanti: istri dan anak-anak -- mungkin sambil mengeja kata. Laut dan darat saling memberi kasih sayang. Priyono B. Sumbogo, Linda Djalil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini