Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Negeri harapan kaum pendatang

Dua pertiga arus imigrasi dunia menyerbu as. mereka membawa uang, keahlian, wawasan segar & menjadi milyuner, menguasai perekonomian & ikut membangun "amerika baru". tapi ada yang terlibat kejahatan, seks.

6 Agustus 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perang dan pertikaian politik, termasuk kemelut berkepanjangan seperti yang terjadi di kamboja itu, bisa menimbulkan arus imigrasi. Orang-orang Kamboja pun ada yang keluar dari negerinya, dan menjadi imigran di Amarika Serikat, selain yang berstatus pengungsi pada awalnya. Para imigran itu, jika digabungkan dengan imigran dari kawasan Asia lainnya, tergolong besar di AS. Dan dua pertiga arus imigrasi dunia memang menyerbu Amarika Serikat. Mereka membawa uang, keahlian, dan wawasan segar. Mereka menjadi milyuner, menguasai perekonomian, dan ikut membangun "Amerika baru". Tapi di antara gelombang imigrasi yang pasang itu, terdapat pula mereka yang tak siap: dan kemudian melata, lalu menjadi beban pemerintah. Terlibat tindakan kejahatan, narkotik, seks, bahkan AIDS. Reportase perkampungan imigran dengan sejumlah tokohnya yang sukses -- juga yang gagal -- itu diambil dari tulisan Cal McCrystal yang dimuat dalam The Sunday Times Magazine dan dikerjakan seluruhnya oleh Zaim Uchrowi. WAKTU itu dia masih di Korea Selatan. Keluarganya tinggal di Kongju, bagian tengah negara itu. Mereka petani miskin. Dan dia usianya 13 tahun. Hyoung M. Pak kecil harus pergi ke gunung, mengambili kayu tanpa izin, buat kayu bakar. Dia mencuri kayu, "sehingga aku bisa makan." Kehidupan memang sudah berubah sama sekali. Tapi dia tetap bekerja keras. Dan menikmati benar hasil kerjanya. Pagi hari, sebelum matahari memutihkan langit Pasifik, dia bangkit dari tempat tidur, di rumahnya bermodel ranch Rolling Hills, dan lantas merenungkan apa yang dia dapat lakukan untuk dirinya, juga untuk orang lain. Sebegitu jauh, itu amat luar biasa. "Pencuri kayu" itu sekarang sudah berusia 50 tahun. Ia telah menjadi milyuner. Orang-orang menyebutnya sebagai seorang "keomool kokwandaejack", tokoh penting di "Korea Town" Los Angeles. Dia memiliki 360 sumber kekayaan: sejumlah toko mobil, agen besar ban Goodyear, dan sepasang kebun bibit. Gubernur California, George Deukmejian, selalu mengirimkan surat ucapan selamat kepadanya pada hari kemerdekaan Korea dan perayaan tahun baru. Pak dengan mudah bisa menemui Wali Kota Los Angeles, Tom Bradley, kapan saja. Kegiatannya untuk menderma pada bidang pendidikan terpahat di kedua sisi Laut Pasifik, menjadikannya sebagai pribadi yang dikagumi sekitarnya. Pak berhenti sebentar di luar rumahnya yang punya lima kamar tidur, berdinding putih, berubin abu-abu, pada tanah yang berkontur. Dia menghirup embusan udara asin dari Teluk Santa Monica, mencium istri dan empat anaknya, dan bermaksud mengendarai mobil Camero atau Cadillac atau Mercedes 500 SEL. Dia pilih Camero, yang berakselerasi amat cepat untuk mengantarkannya ke padang golf Los Verdes. "Saya tak cukup waktu untuk golf," katanya. Lalu dia melesat ke Western Avenue atau Harbour Freeway di pusat kota, menuju kantor balai benih tanamannya. Kantornya di daerah penting. Antara Wilshire Boulevard dan Santa Monica Freeway, tepatnya. Bergerak terus keluar masuk sekitar pot-pot palem, Pak bekerja dari jam 6.30 pagi hingga pukul 19.00. Pada hari Minggu ia agak longgar. Namun, pukul 08.00 pagi sampai 17.00 ia tetap di kantor. Tapi tak ada tetumbuhan di sini kalau buat beristirahat. Menurut perhitungannya sendiri, penghasilannya keseluruhan mencapai 10 juta dolar AS setahun. Ini memang baru termasuk dalam kelompok masyarakat menengah di California. Tapi sudah merupakan keberuntungan tak kecil bagi seorang asing -- orang-orang tanpa kawan, berbahasa Inggris tak lancar, pada gelombang baru imigrasi yang tumbuh dalam proporsi pasang. Orang-orang Amerika sedang mengamati benar California. Daerah inilah cermin bagi kecenderungan perubahan penduduk dan konsumen. Saat ini, seorang dari enam orang warga California adalah kelahiran asing. Satu dari empat gedung yang menghunjam langit Los Angeles adalah milik orang Jepang. Setiap gedungnya sama dengan Mount Vernon, perintis ke arah barat. Di California, pertumbuhan orang Asia paling cepat. Mereka meroket 137 persen dari tahun 1980 hingga 2000 nanti. Tahun 2030 mendatang, orang Vietnam akan menjadi orang Asia terbanyak di sana. Mencapai angka 1,8 juta orang. Lalu disusul oleh bangsa Filipina dan Cina. Imigran asal Amerika Latin juga melimpah. Mereka akan tumbuh cepat dua kali hingga mencapai angka 4,5 juta, dan mengingatkan pada keluhan Gubernur Meksiko di California pada tahun 1846: "kami tiba-tiba merasa terancam oleh kerumunan para 'imigran Yankee' yang perkembangannya tak bisa kami ikuti." Orang-orang Latin tumbuh 30 persen sejak sensus tahun 1980. Empat kali lebih banyak ketimbang pertumbuhan bangsa Amerika keseluruhan. Pada tahun 1987, sensus Biro Statistik mencatat angka 18,8 juta orang Latin, 23 persen di antaranya imigran gelap. Kebanyakan dari Meksiko. Los Angeles terus tumbuh membesar. Kota itu telah menjadi 'Kota Dunia Ketiga' terbesar di seluruh daratan Amerika Serikat. Ini tempat bangsa Meksiko terbanyak di luar negeri Meksiko. Metropolitan Cina kedua terbesar di luar Cina, tempat orang Jepang terbanyak kedua di luar Jepang, Korea terbesar di luar Korea Filipina terbesar di luar Filipina dan Vietnam terbesar di luar Vietnam. Orang-orang Amerika baru itu nenjejakkan diri ke dalam kancah Los Angeles. Pada hampir setiap kota AS, mereka memperoleh kesempatan menjadi kaya biarpun banyak penduduk asli Amerika yang tetap kumuh dan miskin. "Dalam hal perasaan," kata Melvin Holli, profesor sejarah di Universitas Illinois, "mereka memperbarui etos kerja kami." Menakjubkan arus imigrasi itu, ternyata. Dua pertiga imigrasi di dunia adalah ke Amerika Serikat. Hingga abad mendatang, jika lajunya tetap seperti sekarang, 40 persen pekerja di sana adalah imigran yang datang setelah tahun 1980 Di California orang kulit putih bakal menjadi minoritas, 23 tahun mendatang. Di Texas, di tahun 2035 nanti, kulit putih yang bukan dari Amerika Latin hanya tinggal 43 persen. Bandingkan dengan angka sekarang, 6 persen. Sedang pada tahun 2080 kelak, separuh dari seluruh bangsa Amerika adalah orang Asia Amerika Latin atau Hitam. Adalah bangsa-bangsa Asia yang akhir-akhir ini mendominasi gelombang imigrasi ke sana. Hampir 50 persen yang mengajukan naturalisasi antara tahun 1980 dan 1986, kelahiran Asia. Lihat saja angka rincinya. Tahun 1986, 4 persen dari 601.708 imigran adalah orang Asia. Tapi Meksiko tetap menjadi negara penyumbang imigran terbanyak. Dalam enam tahun, 458 ribu lebih orang Meksiko hijrah ke Amerika Serikat. Filipina, jangan kaget, menduduki urutan kedua. Lebih dari 316 ribu orangnya hengkang ke sana, pada periode yang sama. Sedang Vietnam, Cina, dan Korea membuntut di belakangnya dengan angka lebih dari 308 ribu, 246 ribu, dan 234 ribu orang. Tak semua pendatang orang yang tak berarti Kebanyakan malah membawa keahlian dan wawasan segar. Di luar California, kehadiran imigran itu juga terasa di New York, Texas Florida, Illinois, dan New Jersey. Pengaruh mereka pun terasa dalam kehidupan sehari-hari. Lihat saja cara bersapa para mahasiswa asal Vietnam di Oakland, yang sudah tak Inggris asli. Seorang hakim mengesampingkan pengakuan seorang Cina terdakwa. Sebab, polisi yang menangkapnya membacakan hak-haknya dalam dialek Tai-shan, sedang terdakwa hanya mengerti dialek Kanton. Opera sabun berbahasa Spanyol menjadi acara favorit di televisi swasta setiap malam. Seorang India Tamil yang berusia 13 tahun memenangkan kuis mengeja di Washington. Sebab, 167 lawannya tak bisa mengeja kata 'milieu'. Itu sedikit pertanda bagaimana besarnya gelombang dan pengaruh para imigran di Amerika Serikat. Kesulitan? Tentu ada. Namun, mereka tidak mengharap salah satunya terjadi: bingung pada kebiasaan sosial, atau eksploitasi kerja yang serius. Bagi kebanyakan pendatang, menjadi seorang Amerika sangat berarti: masa depan, pelayanan, dan kesempatan. Masalah boleh diabaikan dalam sukses mereka. Anak-anak Asia meraih nilai tinggi di sekolah. Ada memang gurat rasa iri pada penduduk Amerika yang lama. Mereka melihat orang-orang Asia memonopoli penghargaan bidang matematika dan sains di berbagai universitas. Orang Gujarat yang baru-baru ini berkerumun di jalanan kumuh di Jersey City, mendapatkan sangat banyak uang dari transaksi tanah dan menjaga toko. Mereka dihadang -- dan dalam sebuah kasus malah dibunuh -- oleh orang kulit putih setempat. Ada kontroversi bahasa pula. Terutama di California dan Florida. Kelompok Amerika Latin berkampanye agar bahasa Spanyol juga dipakai resmi oleh petugas-petugas negara. Para pendatang memang juga punya sisi buruk. Di sejumlah kota, gang-gang kaum imigran bermunculan. Mereka terlibat pada bisnis narkotik, seks, dan perjudian yang dikontrol oleh mafia. Tak satu pun masalah itu menjerat pada diri Hyoung M. Pak. Dia lahir dari keluarga bersepuluh saudara. Miskin dan tiada uang. Kuliahnya pun terpaksa berhenti. Lalu Pak bergabung pada angkatan bersenjata Korea selama tiga tahun. Saat usianya 27 tahun, ia pergi ke Jerman. Di sana dia bekerja pada tambang batu bara Essen. Dia selalu mengirim uang pada orangtuanya. Kemudian menikahi seorang perawat Korea, dan menabung ketat untuk bisa terbang ke Amerika Serikat. "Dari tahun 1970 kami terus-menerus berhemat setiap sen," ujarnya. Dia hidup seadanya, makan sisa-sisa dengan sepotong kue setiap hari. Mereka menempati apartemen kecil dengan sewa 60 dolar sebulan. Istrinya kerja di rumah sakit Liberty di selatan Los Angeles. Ternyata, mereka bisa menabung 1.500 dolar AS. Dengan itu Pak membuka stasiun gas. Usaha berkembang. Mereka bisa memiliki toko mobil. Dan yang paling membanggakannya, "saya orang Asia pertama yang menjadi agen Goodyear," ujarnya. Waktu itu tahun 1976, dia bekerja dari jam enam pagi hingga tengah malam. Dan hingga kini, dia acap begitu. Tahun itu pula, mereka sudah bisa punya simpanan 100 ribu dolar. Mereka pindah apartemen -- menyewa di Korea Town. Pak juga bisa mengirim uang pada sekolah miskin di kampungnya, di Korea. Sedang tanggungannya juga bertambah. Anaknya lahir, tapi kemudian meninggal. Dia berharap punya anak lelaki lagi. Tapi yang lahir perempuan. Kemudian banyak lagi yang bisa dilakukan Pak. Dia membeli toko buah, toko-toko alat kesehatan, dan sejumlah apartemen. Ketika itu saja ia punya pekerja 15 orang. Pak juga membantu sekolah Korea di Los Angeles 10 ribu dolar AS. "Saya beli pembibitan tanaman ini, kemudian satunya lagi." Bukan hanya Hyoung M. Pak yang tumbuh. Seluruh Korea Town pun berkembang, dan terus berkembang. Ketika dia datang ke Los Angeles, hanya ada 5.000 orang Korea yang mukim di kota itu. Kini angkanya meledak hingga 500 ribu. Sungguh sebuah permukiman yang kukuh. Mereka semula berbaur dengan orang-orang hitam di situ. Tapi kemudian orang-orang hitam malah pindah ke selatan. Orang-orang Korea itu menjadi merasa lebih aman. Dua saudara Pak menyusul ke sana. Salah seorang di antaranya meninggal. Pada saudaranya yang lain, Pak memberikan stasiun gas. Dengan itu, kekayaannya meningkat hingga 2 ribu dolar AS. Yang membanggakan hati Hyoung M. Pak, para keponakannya pun sukses: seorang meraih titel doktor, seorang jadi guru, dan seorang lagi menjadi ahli hukum. Lalu, "secepatnya saya ingin membeli gedung perkantoran yang menjulang tinggi, seperti orang-orang Jepang." Begitulah ambisinya. Bukan pantai barat saja yang menyimpan kisah sukses imigran. Pantai timur Amerika Serikat juga menyimpan kisah sukses yang tak kalah menarik. Sant Singh Chatwal, umpamanya. Ia meninggalkan pekerjaan di kotanya Punyab dengan bergabung pada angkatan laut. Waktu itu usianya 18 tahun. Dia kemudian mendapatkan kerja sebagai pegawai administrasi di Addis Ababa. Di sana, Chatwal membeli sebuah restoran, dan lain-lainnya, dan menyimpan uang 400 ribu dolar AS di sebuah bank New York. Saat pemerintah Marxis Etiopia menggalang kekuatan harta Chatwal di sita. Namun, Chatwal yang tinggi dan spare itu tidak jatuh miskin. Kini dia menguasai jaringan rumah makan Bombay Palace yang membentang di seluruh dunia. Houston, Washington, Chicago, Denver, San Francisco, Beverly Hills, Vancouver, Toronto, Hong Kong, dan New Delhi. Dia mengaku berpenghasilan bersih 75 juta dolar AS setahun sebelum dipotong pajak. Tapi ia tetap suka tinggal di apartemennya di New York yang cukup mewah -- 6 ribu dolar AS sebulan. Chatwal juga memiliki hotel. Tak hanya sebuah, tapi banyak. Di Manhattan dia punya tiga hotel. Di Kanada tiga hotel juga. Sedang di Daytona Beach dia punya dua hotel. "Saya membeli itu untuk menghindari pajak uang yang saya peroleh dari rumah makan," katanya. Dia juga pengusaha real estate alami: tahun 1984 dia membeli 10 ribu kaki persegi lantai di Second Avenue, Manhattan, mengeluarkan uang 470 ribu dolar AS dari tabungannya. Hanya enam bulan kemudian, ia menjualnya lagi dengan keuntungan 4 juta dolar AS. Orang-orang India segera muncul sebagai petnis baru Amerika yang paling dominan. Menurut Dr. Tom Abraham, ketua organisasi masyarakat India di Amerika, anggotanya menonjol di bidang medis. Kata Tom, 7 sampai 8 persen tenaga medis Amerika adalah orang India. Dan angka penghasilannya pun tinggi. Hasil sensus tahun 1980 menunjukkan nilai penghasilan rata-rata keluarga India di sana 25,5 ribu dolar AS setahun. Memang kalah jika dibandingkan dengan orang-orang Jepang di sana yang berpenghasilan 28,7 ribu dolar AS. Tapi tahun ini keadaan sudah lebih baik lagi. "Kami mungkin sudah di atas orang-orang Jepang," kata Abraham. Dia memperkirakan penghasilan rata-rata keluarga India di sana sudah 35 ribu dolar AS. Tapi orang-orang Jepang tampil lebih gagah. Para investor mereka melempar milyaran dolar AS untuk gedung-gedung pencakar langit di berbagai kota Amerika. Gedung Arco Tower (Bank of America) misalnya. Juga the Chase-Plaza, the AT&T Building, dan separuh dari Union Bank Square. Di banyak kasus, para pengusaha Jepang tawar-menawar sendiri satu sama lain. Merekalah yang mendorong harga real estate di sana menjadi lebih mahal. Mereka juga sangat peka pada kemungkinan bahwa bisnis mereka belum tentu disambut baik, di sana. Tentu mereka telah mendengar suara yang mengingatkannya. "Yang berbahaya ialah bila sesuatunya dimiliki oleh orang asing," kata Jona Goldrich, seorang developer Los Angeles, seorang kelahiran Polandia yang bernaturalisasi menjadi Amerika. Warga Los Angeles bisa menunjuk tempat klub golf Valencia yang penah sekarat. Padahal, ke tempat itu orang hanya perlu membayar uang 12 dolar AS. Tapi tetap sepi. Sebuah perusahaan Jepang lalu membelinya. Mereka mengubah padang golf menjadi klub khusus yang memungut bayaran 20 ribu dolar buat anggotanya, dan menggunakan petunjuk berbahasa Jepang. Tempat itu jadi bersemi kembali. Restoran Jepang pun mulai menjamur. Tak segan mereka bersaing, dan malah memperkaya ragam rumah makan dari berbagai etnis yang tersebar di berbagai kota Amerika. Pertumbuhan penduduk asing yang lahir di Amerika sudah menampakkan akibatnya. Mereka selalu mengenang negeri leluhurnya. Maka, petani South Florida mencoba berbagai tanaman buat mereka. Buah dan sayuran yang sebelumnya tak pernah tumbuh di Amerika. Impor buah-buahan tropis meningkat tajam. Juru bicara perusahaan JP Brooks & Sons, perusahaan perkapalan terbesar yang mengangkut buahbuah tropis, mengatakan, "Kami mengapalkan segalanya yang bisa kami tangani." Ada yang mencengangkan para ahli kependudukan. Yakni laju gerak imigran baru. Orang-orang Latin punya hampir seperempat juta usahawan di negara perantauannya itu. Di California saja 75 ribu di antara mereka berpendapatan kotor 5 milyar dolar AS setahun dan 62 ribu yang Texas memperoleh sekitar 4 milyar dolar AS. Semua kekayaan itu memungkinkan para pendatang pindah dari pusat kota dan kemudian membangun kehidupan sendiri di daerah pinggiran. Pada daerah semacam Monterey Park, di San Gabriel Valley, hal ini menyebabkan perubahan yang menarik. Monterey Park terletak di timur kota Los Angeles. Tiga perempat penghuninya adalah orang Asia dan Latin. Di sini panas, berasap, dan terjangkau oleh embusan keras Pasifik. Tapi suasana tenang dan teratur. Tiga koran berbahasa Cina diterbitkan di sini. Orang Asia menguasai 60 persen tanah setempat. Ada sebuah bioskop berbahasa Cina, pusat perbelanjaan, jalan yang dipenuhi oleh rumah makan Cina, Vietnam, dan Jepang. Juga toko ginseng, toko roti, dan toko-toko video Cina. Kebanyakan toko Amerika telah tutup. Seorang muda kulit putih sebaiknya jangan tinggal di sana. Orang kulit putih yang lebih tua barangkali merasa terganggu oleh apa yang mereka lihat sebagai kegagalan para imigran mengadaptasi sikap Amerika. Orang Asia acap suka pamer, untuk menarik perhatian lingkungannya. Soal pakaian, atau sedan Mercedes bila mereka punya. Yang begini ini khususnya terjadi di kawasan pinggir orang Meksiko Amerika. Mereka perlu dua generasi untuk mendaki dari nol hingga "menjadi orang" sementara orang Asia melewatinya dengan hanya kurang dari satu generasi. Orang kulit putih boleh curiga pada niat orang Asia dan Latin beradaptasi diri. Tapi kaum imigran tumbuh terus membentuk kelas baru masyarakat. Umumnya, dunia wiraswasta sederhana adalah jalan hidup baru mereka. Orang Asia memiliki pasar ikan, sayuran, dan rumah makan. Dan mereka memberi wajah baru pada kota. Di Distrik Calle Ocho, Miami, makanan khas Latin dijual di pasar-pasar terbuka. Bahasa Inggris jarang terdengar di jalan-jalan sekitar ini. Begitu juga pada sejumlah toko dan perkantoran. Penasihat hukum yang berbahasa Spanyol terdapat di setiap tempat. Orang-orang putih merasa tertekan oleh semua itu. Ketika sebuah radio Miami mengajak berbincang dengan pendengarnya lewat telepon: mereka diminta menanggapi gelombang imigrasi orang Kuba ke Amerika Serikat, apa jawab mereka? Sebagian besar pendengar menunjukkan sikap rasialisme yang kasar. "Tembak mereka sebelum mendarat," kata seorang penelepon. Namun, di New York -- barangkali lantaran masyarakatnya metropolis -- berbeda suasananya. Kota itu selalu dibanggakan sebagai kota bastar. Sekarang 30 persen dari penghuni New York, yang berjumlah 7,1 juta jiwa itu, adalah masyarakat pendatang dan keturunannya. Mereka adalah orang-orang Dominika, Jamaika, Haiti, Cina, Yunani, Rusia, Korea, Etiopia, Columbia. Di lingkungan Elmhurst, kota paling kristiani yang menjadi permukiman imigran, keragaman seperti itu terasa. Lembaga Gereja Presbyteria dikelola oleh campuran berbagai etnis bangsa. Ada seorang Kuba, seorang Mungthai, seorang Korea, dua orang Filipina, seorang Puerto Rico, dan sepasang Amerika asli. Mereka bertemu secara teratur, dan mereka tidak terjebak dalam perselisihan rasial. Tentu masalah imigran itu tak diharapkan menjadi bahan perdebatan, misalnya, di Kongres. Maret lalu, Senat mendorong dilakukannya pemeriksaan ketentuan imigrasi secara menyeluruh. Lembaga itu agaknya berharap lebih banyak orang Eropa pindah ke Amerika Serikat -- mengimbangi Asia dan Latin. Pihak Demokrat dan Republik mendukung agar ketentuan imigrasi diperbaiki sehingga faktor yang menyebabkan penurunan arus imigran dari Eropa bisa dihilangkan. Rancangan undang-undang yang hendak dibawa ke parlemen itu sangat kontroversial. Setiap orang yang hendak menjadi warga negara Amerika Serikat harus punya uang. Sebab, imigran harus menanamkan modal paling kurang 2 juta dolar AS, buat usaha. Mereka juga harus mempekerjakan setidaknya 10 orang penduduk Amerika. Bakal ketentuan ini pun dikritik. Karena di satu pihak memberatkan calon imigran, di lain pihak menguntungkan segelintir yang lain. Misalnya saja, para agen narkotik -- dalam hal ini dicontohkan Jenderal Manuel Noriega dari Panama -- akan sangat mudah mendapat jalan menuju negeri patung Liberty itu. Senator Edward Kennedy dan pendukung lain agaknya kurang senang kritik itu. Bagi dia, rancangan undang-undang itu disusun untuk menciptakan keseimbangan arus imigran: Eropa dan bukan Eropa, kulit putih dan kulit berwarna. Sikap seperti itu sudah menampakkan hasil. Status gelap lebih dari 50 ribu imigran Irlandia yang berkulit putih itu pun bisa diputihkan. Imigran Asia dan Latin kecewa. Mereka tak ingin kerabatnya yang ke Amerika didiskriminasikan. Mereka tentu tak berharap kedatangannya disambut dengan masam. Ketika pertanyaan diajukan kepada Hyoung M. Pak apakah dia akan terus menetap di Amerika, jawabannya mengagetkan. "Jika tanah airku membutuhkanku lebih dari yang mereka butuhkan di sini, saya akan pulang ke Korea." Bagaimanapun kaum imigran masih punya tanah air, negeri leluhurnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus