PENGENDARA mobil dan penumpang bis di Jakarta harus bersaraf kawat. Kalau tidak, bisa senewen terjebak kemacetan. Waktu tak bisa diajak kompromi di kota berpenduduk hampir 7 juta jiwa ini. Jalan layang pun dibuat. "Di Jakarta ini ada 400 ribu mobil pribadi, 40 ribu kendaraan umum, ditambah 300 ribu sepeda motor." kata Ir. Budiardjo Sukmadi, Kepala DLLAJR DKI. Tanpa ada jalan melayang, bagaimana mobil melaju? Kontraktor pembangunan Proyek Jalan Tol Jakarta Intra Urban harus tekan gas. Pembangunan jalan layang tak boleh macet. Padahal, proyek yang menelan biaya Rp 290 milyar itu kadang kala tersrempet hambatan atau menabrak proyek lain. Misalnya, pemasangan tiang pancang di kawasan Rawamangun sempat memecahkan pipa gas yang berdiameter 40 cm. Lainnya, sebuah jaringan telepon di depan Hotel Hilton terkeruk eskavator yang sedang beraksi. Akibatnya, kantor-kantor di kawasan Senayan menjadi bisu beberapa hari. Dalam rapat koordinasi antarinstansi yang terkait -- termasuk Perumtel, PLN, PAM -- selalu dipikirkan teknis pemindahan jaringan dan perhitungan kemungkinan terjadinya kecelakaan. Tapi namanya saja kecelakaan. "Orang menulis saja bisa salah. Dalam pekerjaan besar, kecelakaan seperti itu bisa saja terjadi. Dan ada ganti rugi," kata Ir. Wiyoto Wiyono, M.Sc., Direktur Utama PT Jasa Marga. Yang jelas, pimpinan proyek pembangunan jalan tol Cawang-Tanjungpriok, Djoko Ramiadji, merasakan memikul beban tanggung jawab yang besar di pundaknya. "Ini proyek pertama yang ditangani seluruhnya oleh putra Indonesia. Dari konsultan sampai kontraktornya. Nilai politisnya tinggi," kata Djoko. Ia merasa, prestise bangsa dipertahankan dalam proyek yang dikerjakan PT Hutama Jaya Konstruksi ini. Kenapa harus jalan tol? "Memang sebaiknya jalan layang itu non-tol. Tapi kalau pembangunan jaringan jalan di Jakarta diambil dari APBN, mungkin dana itu habis tersedot. Pemakai jalan di kota besar harus membiayai sendiri pembangunan jaringan jalan rayanya," kata Suryatin, Direktur Jenderal Bina Marga. Itulah keadilan. Lalu kapan pembangunan jalan layang di Jakarta akan berakhir? "Mungkin tidak akan pernah berakhir," kata Suryatin. Ini tidak bergurau. Karena pertambahan jumlah kendaraan lebih kencang ketimbang penambahan ruas jalan. Mobil pribadi semakin berjubel. "Kendaraan umum, yang mestinya ditambah. Ini malah sebaliknya," kata Sudarman, karyawan swasta yang tiap hari pontang-panting dua kali tukar bis dari Ciputat ke Harmoni. Burhan Piliang, Muchsin Lubis, dan Priyono B. Sumbogo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini