Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Meteor Politik dari Kampung

Tumbuh dari perkampungan di dekat Stasiun Balapan, Solo, Joko Widodo mewakili kelas masyarakat biasa. Masa kecilnya dilalui dalam kebersahajaan. Setelah menjadi pengusaha mebel, ia membelok ke jalur politik: memegang jabatan wali kota dua periode, lalu meraih kursi Gubernur Jakarta. Jokowi keluar dari pakem kepemimpinan yang birokratis dan angker. Seperti masa kecilnya, ia menyukai keluar-masuk kampung. Popularitasnya meroket bak meteor dengan pendekatan barunya itu.

30 Juni 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepotong Cerita Awal Blusukan

Joko Widodo kecil diasuh adik sepupu ibunya. Dari dulu tidak pernah diam dan suka keluar-masuk kampung.

BEKAS luka jatuh itu masih terlihat di kening Joko Widodo. Mukiyem, pengasuh masa kecilnya, mengingat luka itu didapat Jokowi kecil sepulang sekolah di rel kereta dekat Stasiun Balapan, Solo, Jawa Tengah. Ia terjatuh karena kaget ketika tiba-tiba terdengar kereta api yang hendak langsir mendekat. Seorang petugas stasiun membopong Jokowi ke Rumah Sakit Pusat Mangkubumen di kota itu. "Dia menjerit-jerit," kata perempuan 65 tahun itu.

Mukiyem mengasuh Jokowi sejak bayi. Perempuan asal Dusun Gumukrejo, Desa Giriroto, Kecamatan Ngemplak, Boyolali, ini adik sepupu Sujiatmi, ibu Jokowi. Waktu itu Sujiatmi dan suaminya, Notomiharjo, sedang merintis usaha. Pengasuhan Jokowi kecil pun dipercayakan penuh kepada Mukiyem.

Pasangan Notomiharjo tinggal di rumah yang dikontrak Wirorejo, ayah Sujiatmi, di Kampung Srambatan. Rumah kecil ini berdinding bambu, berdiri di tepi Kali Pepe. Kakak sulung Sujiatmi, Miyono, tinggal tak jauh dari situ. Mereka sama-sama membuka usaha perdagangan kayu.

Rumah bambu yang ditinggali keluarga Notomiharjo dibagi dua. Separuh buat tumpukan kayu dan bambu dagangan, sisanya dihuni keluarganya. Notomiharjo sesekali menjadi sopir bus atau truk. Lain kali ia mencari kayu ke desa-desa, yang kemudian diangkut ke Solo dengan truk yang dikemudikannya. "Jadi praktis sehari-hari Jokowi banyak bersama Mukiyem," ujar Sujiatmi kepada Tempo, Mei lalu.

Usia Mukiyem baru 12 tahun ketika diminta menjaga Jokowi, yang baru berumur setahun. Ia putus sekolah di kelas III sekolah dasar. Ia merasa tak beruntung dan karenanya tak ingin anak-anaknya bernasib sama. Keinginan itu terwujud. Kini lima anaknya lulus dari sejumlah perguruan tinggi negeri. "Keluarga Pak Jokowi memberi andil menyokong kami," katanya.

Bagi Jokowi, Mukiyem bukan hanya pengasuh, melainkan juga teman bermain. Mereka bersama-sama berjalan menyusuri pinggir sungai dan rel kereta api. Menurut Mukiyem, sejak kecil Jokowi susah makan. Tubuhnya kurus kering hingga tulang rusuknya terlihat menonjol. Ia mengajaknya jalan-jalan ke luar rumah buat membujuk Jokowi makan.

Tetap saja piring berisi bubur yang dibawa dari rumah tak pernah habis. Kecuali jika Mukiyem membelikan sate ayam lontong. Biasanya Jokowi cepat menghabiskannya. "Dia gigit sendiri sampai bumbunya ke mana-mana," ucap Mukiyem terbahak. Kadang-kadang Mukiyem membelikan bubur merah di Pasar Ayu, sebelah timur Stasiun Balapan.

Ketika Jokowi berusia 4-5 tahun, Mukiyem mengaku kian kerepotan membujuknya makan. Jokowi juga minta diajak keluar-masuk kampung lebih jauh. Tak jarang ia mengajak Triyono Budi Warsito, sepupunya, putra Miyono. Ramai-ramai mereka bermain menyusuri rel kereta api sepanjang Solo Balapan. Mereka menaiki kereta api yang tengah langsir. "Dari Balapan ke Depo Turisari," ujar Mukiyem.

Jarak kedua tempat itu hanya sekitar 500 meter. Mereka pulang dengan menumpang kereta sama yang kembali lagi ke stasiun. Lain kali mereka ikut rombongan ledek kethek atau topeng monyet. Hingga suatu saat, kata Mukiyem, mereka kesasar sampai mendekati Nusukan, sekitar satu kilometer dari rumah. "Saya takut enggak bisa pulang," ucapnya.

Jalan-jalan terjauh Jokowi dan Mukiyem adalah pada saat musim Sekaten, pasar rakyat yang digelar Keraton Solo untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad. Sebagai orang dusun, Mukiyem tergoda ingin melihat pasar rakyat itu. Maka berangkatlah ia ramai-ramai dengan tetangga Sujiatmi. "Saya ingat usia Joko masih 4-5 tahun," katanya.

Mereka berangkat sore hari, sambil Mukiyem menyuapi Jokowi. Jarak antara rumah dan alun-alun lebih dari enam kilometer. Begitu sampai di alun-alun, mereka berpencar. Karena capek mencari kawan-kawannya, Mukiyem akhirnya pulang sendiri. "Saya melipir jalan kaki pulang sambil nggendong Joko," ujarnya. Hari sudah lepas azan magrib.

Sesekali Mukiyem beristirahat di tepi jalan, melepaskan kakinya yang penat. Dibiarkannya Jokowi tidur menggelayut di punggung. Mereka baru tiba di rumah saat Radio Republik Indonesia menyiarkan berita malam hari pukul 21.00. Di depan Tempo, Mukiyem meminta maaf kepada Sujiatmi karena tidak pernah menceritakan pengalaman malam itu sebelumnya. Ibu Jokowi membelalakkan matanya, lalu terbahak sambil geleng-geleng kepala. "Saya tak pernah bercerita ke Bu Noto karena takut dimarahi," kata Mukiyem.

Keluar-masuk kampung kian kerap dilakukan ketika Jokowi mulai bersekolah di Taman Kanak-kanak Siwipeni, belakang RRI Surakarta, depan Stasiun Balapan. Mukiyem lebih sering mengantar Jokowi berjalan kaki menyusuri rel kereta untuk memotong jalur. Itu sebabnya suatu ketika Jokowi terjatuh dan keningnya terbentur rel ketika menghindari kereta api yang tengah langsir.

Mukiyem tujuh tahun mengasuh Jokowi dan adik-adiknya. Dia dipanggil orang tuanya pulang ke Gumukrejo untuk dinikahkan. Namun hubungan mereka tak putus. Pariyem, tetangga Mukiyem di Dusun Gumukrejo, Desa Giriroto, Kecamatan Ngemplak, Boyolali, mengaku sering melihat Jokowi ke rumah Mukiyem pada masa liburan. Kakek Jokowi, Wiro Semito, memang memiliki rumah di desa itu. "Pak Jokowi mancing atau nyari kodok dan jangkrik," ujar perempuan 58 tahun itu.

Sujiatmi mengakui anak sulungnya tak bisa diam dan lebih suka jalan-jalan ke luar rumah. Hobi keluar-masuk kampung kian semakin sering dilakukan ketika Jokowi menemukan teman sepermainannya di sekolah dasar. "Mancing, nyebur di kali, juga mencari telur bebek," kata Jokowi menceritakan pengalaman masa kecilnya. Bebek-bebek biasa bertelur di sepanjang sungai. Sesekali Jokowi membawa pulang telur bebek tak bertuan itu dan menggorengnya.

Jokowi mengatakan pengalamannya keluar-masuk kampung kumuh sepanjang hidupnya itu sangat berharga. Bantaran sungai kumuh di Solo itu dan kehidupan yang sepanjang jalan dia lihat mengajarinya banyak hal: kesederhanaan, denyut hidup manusia, perjuangan, dan harapan. Ia pun menyebutkan memilih terus-menerus turun ke lapangan. "Sebab, dari mereka, saya memahami bagaimana kehidupan warga sesungguhnya," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus