Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUDUK bersila di sisi makam ayahnya, Joko Widodo terlihat khusyuk memanjatkan doa. Jokowi lalu bangkit menghampiri Sujiatmi, ibunya yang sudah bersiap dengan sekeranjang bunga untuk ditabur. Ketiga adik Joko-Iit Sriyantini, Ida Yati, dan Titik Relawati-juga ada di sana.
Sabtu sore tiga pekan lalu itu, Jokowi sengaja mencuri waktu dari kesibukan kampanyenya untuk berziarah ke makam ayahnya, Wijiatno Notomiharjo, di Kecamatan Gondangrejo, Karanganyar, Jawa Tengah. Acara doa dan nyekar itu tak lebih dari 30 menit.
Makam ayah Jokowi berada di pemakaman keluarga milik Lamidi Wiryo Miharjo. Kakek Jokowi ini adalah Lurah Desa Kranggan selama 30 tahun lebih. Tak hanya makam ayah dan kakek Jokowi, ada juga kuburan sanak saudara lain.
Ziarah ke makam Notomiharjo menjadi rutinitas Sujiatmi dan anak lelakinya itu, biasanya menjelang Ramadan. Namun, sejak tinggal di Jakarta, Jokowi relatif jarang ke sana. "Paling kalau pulang ke Solo disempatkan," kata Jokowi.
Notomiharjo meninggal pada 23 Juli 2000 saat berusia 62 tahun. Menurut Sujiatmi, Jokowi yang mengantar dan menemani ayahnya selama opname di rumah sakit menjelang wafat. Dalam prosesi pemakaman, Jokowi ikut pula memanggul jenazah ayahnya ke makam dengan berurai air mata.
Itu adalah kedua kalinya Sujiatmi melihat putranya menangis sesenggukan. Yang pertama terjadi ketika Wirorejo, ayah Sujiatmi, meninggal pada 1992. "Pada tahun itu bapaknya sudah senang Jokowi sudah jadi pengusaha mebel sukses," ujarnya. Mebel Jokowi sudah diekspor ke sejumlah negara.
Sujiatmi bertemu dengan Notomiharjo pada 1957 dan langsung jatuh cinta pada lelaki berkulit langsat dengan tubuh tegap itu. Usia Sujiatmi kala itu 16 tahun. Notomiharjo tiga tahun lebih tua. Pacaran dua tahun, pada Agustus 1959 Notomiharjo melamar Sujiatmi. Keduanya sama-sama berhenti sekolah, lalu menikah. Pesta perkawinan digelar sepekan penuh di rumah Sujiatmi. Wirorejo memotong sapi untuk hajatan putri semata wayangnya itu.
Setelah itu, mereka pindah ke Solo. Wirorejo mengajari anak dan menantunya berdagang kayu seperti dirinya. Pasangan muda ini tinggal di Kampung Srambatan, Solo. Selain membantu mertuanya berdagang kayu dan bambu, Noto sesekali menjadi sopir truk dan bus.
Jokowi lahir dua tahun kemudian di Rumah Sakit Brayat Minulya, Solo, 21 Juni 1961. Berat Jokowi 2,7 kilogram dan panjangnya 50 sentimeter. Noto menamai sulungnya itu Joko Widodo. Joko artinya lelaki. Widodo artinya selamat. Kepala Jokowi besar sewaktu lahir. Wirorejo kakeknya mengatakan, "Anakmu bisa jadi orang nanti."
Setelah itu, Sujiatmi memberi tiga adik untuk Jokowi. Mereka dibesarkan dengan kondisi keuangan yang pas-pasan. Kedua orang tua ini sering berselisih dalam soal cara mendidik anak, karena Sujiatmi lebih keras menegakkan disiplin. Sedangkan Noto cenderung lembut. "Tapi kami tetap sepakat, sekolah anak-anak prioritas utama" kata Sujiatmi.
Sejak kecil Jokowi dikenal dengan karakternya yang ngglidik (tak bisa diam) dan hobinya yang blasak-blusuk. Tapi, sebagai anak sulung dan lelaki satu-satunya, Jokowi dituntut untuk membimbing adik-adiknya. Dia yang mengarahkan adik-adik perempuan untuk memilih sekolah dan membantunya belajar. "Mas Joko itu sabar kalau mengurusi kami," kata Titik Ritawati, adik bungsu Jokowi.
Jokowi juga dikenal pemurah. Pernah suatu ketika gitar dan senapan angin kesukaan Jokowi dipinjam teman sekolahnya dan tak pernah dikembalikan. Jokowi tak mau minta. Padahal Sujiatmi tahu Jokowi menabung untuk membeli gitar dan senapan angin itu.
Namun watak Jokowi, menurut ibunya, susah ditekuk kalau punya keinginan. Selain itu, dia tak banyak bicara, bahkan cenderung pintar melipat perasaan. "Ia bisa nglokro (lunglai) kalau gagal," kata Sujiatmi.
Itu terjadi pada 1977, ketika Jokowi lulus SMP Negeri 1 dengan prestasi yang tak mengecewakan. Namun ia gagal masuk SMA Negeri 1 Solo, sekolah favoritnya. Ia hanya bisa masuk SMA Negeri 6.
Jokowi mogok sekolah. Berhari-hari dia mengurung diri. Ia menolak makan dan bicara apa pun. Sujiatmi dan Noto bingung. Miyono, pamannya, juga tak berhasil membujuk meski sejumlah opsi ditawarkan. Misalnya Jokowi masuk dulu ke SMA Sukoharjo. Enam bulan kemudian pindah SMA 1 sebagai murid pindahan. Atau, memenuhi anjuran seorang kerabat, Jokowi bisa masuk dengan uang pelicin. Jokowi menolak. Ia hanya ingin masuk sekolah favoritnya dengan cara terhormat dan fair.
Meski akhirnya mau sekolah, Jokowi tak pernah membawa hatinya. Ia masih sering membolos dan menyiksa diri dengan enggan makan. Akhirnya ia terkena tifus hampir enam bulan. Selama itu pula Sujiatmi terpaksa mengantar-jemput Jokowi. "Hampir setahun Jokowi begitu, diam saja kalau di kelas," kata Mahmud Nurwindu, teman sebangkunya di SMA 6.
Namun perilakunya itu berubah ketika Jokowi naik kelas II. Dia lebih bersemangat belajar, bahkan terbilang mati-matian. Hasilnya, menurut Nurwindu, Jokowi selalu meraih gelar juara kelas, juga juara umum sekolah. Bahkan, ketika ikut ujian masuk perguruan tinggi, Jokowi lolos masuk Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, sedangkan kawan-kawannya di SMA 1 banyak yang tak lolos. "Cita-citanya waktu itu kalau enggak pengusaha mebel, ya, jadi administrator, alas (hutan)," kata Sujiatmi.
Karena itu, Sujiatmi bingung ketika pada 2005 Jokowi minta izin untuk terjun ke dunia politik, padahal bisnis mebel anak lelakinya itu sedang jaya-jayanya. Jokowi mohon doa restu untuk maju dalam pemilihan Wali Kota Solo. Terkejut, Sujiatmi minta Jokowi menjelaskan motivasinya. "Kalau mau kaya, jangan jadi wali kota," kata Sujiatmi.
Dia lalu menganjurkan Jokowi menunaikan umrah untuk memastikan pilihannya itu. Sepulang umrah, Jokowi menemui ibunya dan memastikan siap maju.
Sujiatmi akhirnya merestui anaknya maju. Ia hanya minta Jokowi bicara kepada istri dan anak-anaknya. Ia juga mengingatkan harus ikhlas mengeluarkan uang untuk mengongkosi pencalonan. Uang yang keluar tak boleh diminta. "Dengan begitu, jabatan pemimpin akan amanah," kata Sujiatmi.
Jokowi setuju. Keduanya berembuk. Uang tabungan yang rencananya jadi modal membuat pompa bensin akhirnya dipakai untuk ongkos kampanye. Hasilnya, berpasangan dengan F.X. Hadi Rudyatmo, Jokowi menang. Sujiatmi dan Jokowi, juga keluarganya, sama-sama bingung. "Saya lebih bingung lagi sama Joko itu, karena waktu di Solo gajinya sebagai wali kota tak pernah diambil," kata Sujiatmi.
Jokowi mengakui kedekatannya dengan sang ibu. Menurut dia, Sujiatmi bukan sekadar ibu yang selalu membantu dalam doa, melainkan juga teman diskusi dari hal prinsip sampai remeh-temeh. "Karena saya pernah nabrak apa yang dilarangnya. Hasilnya memang tak berkah, malah gagal total," kata Jokowi. Ia lalu berkisah berulang kali gagal membuat cabang usaha di Dubai, Uni Emirat Arab. Usul itu pernah didiskusikan dengan ibunya dan ibunya menolak keras.
Boleh jadi karena itu pula Jokowi tak hanya berdiskusi ketika diminta maju sebagai gubernur di Jakarta. Sang ibu ikut diboyong selama dua kali periode pertarungan. Ia bahkan ikut diajak blusukan kampanye.
Bekerja selama setahun lebih sebagai Gubernur Jakarta, Jokowi tetap merasa perlu teman diskusi. Seminggu dua kali dia menelepon ibunya, menceritakan masalah Jakarta yang sedang ramai di televisi atau sekadar menanyakan kesehatannya. Beberapa kali Jokowi meminta Sujiatmi mampir ke rumah dinas gubernur di Taman Suropati, Jakarta Pusat.
Agaknya, karena itu pula pada akhir Desember 2013 dan awal 2014, Jokowi menelepon Sujiatmi. Ia merasa perlu berbicara dengan ibunya mengenai namanya yang diusulkan sebagai kandidat calon presiden dari PDI Perjuangan. Begitu namanya diumumkan Ketua Umum PDIP Megawati sebagai calon presiden pada Maret lalu, sorenya Jokowi menelepon ibunya. Kali ini ia tak lagi berdiskusi, tapi meminta doa restu.
Sang ibu tak hanya memberi restu, tapi juga wejangan dan wanti-wanti. "Saya selalu ingatkan Joko untuk rajin salat, banyak makan, tetap jujur dan ikhlas," ujar Sujiatmi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo