Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mikrolet, mau tak mau

Angkutan mikrolet menggantikan oplet di jakarta, karena oplet dianggap mengganggu lalu lintas. penggantinya dapat memuat 15 orang penumpang.

20 September 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMANYA manis mikrolet. Gabungan dari penggalan kata mikrobus dan oplet. Nama jenis kendaraan angkutan umum baru itu juga boleh untuk mengingatkan, bahwa di Kota Metropolitan Jakarta pernah ada oplet: kendaraan warga ibukota, butut, karoserinya dari kayu, jalannya terseok-seok suka pula "batuk-batuk" dan setelah itu sering kelihatan mogok melintangi jalan. Maka "si jago mogok" itu akan disingkirkan. Penggantinya mikrolet itulah yaitu bis mini yang dapat mengangkut penumpang sekitar 15 orang, yang diresmikan pengoperasiannya pertengahan bulan ini. Lambat tapi pasti oplet yang jumlahnya lebih 3.000 buah, dimiliki 2.060 pengusaha, akan tergantikan. Mulai tahun ini akan berkurang sekitar 400 buah. Tahun-tahun berikutnya akan disingkirkan 600 dan berturut-turut 1000 buah. Oplet-oplet yang sudah diafkir tak boleh lagi kelihatan nongol di jalan. Mau diparkir di depan rumah -- sebagai pajangan atau kenang-kenangan -- atau mau diapakan saja oleh pemiliknya terserah saja. "Pokoknya tak boleh beroperasi di bumi Jakarta," seperti kata Abdul Muis, Wakil Kepala DLLAJR (Dinas Lalulintas dan Angkutan Jalan Raya) DKI Jaya. Rencana mengganti oplet dengan jenis kendaraan lain sebenarnya sudah ada sejak beberapa tahun lalu. Tapi, karena kebanyakan oplet dipunyai pengusaha kecil, Pemda DKI memprosesnya pelan-pelan. Apalagi yang diinginkan, seperti kata Muis, "mikrolet bukan untuk yang punya duit, tapi untuk yang punya Oplet." Hidupnya Tergantung Oplet Untuk memperoleh mikrolet caranya tak sulit. Syarat utama, tentu saja, calon pemiliknya harus benar-benar pengusaha oplet yang tinggal dan beroperasi di Jakarta secara sah (mempunyai nomor kendaraan, uji dan izin trayek di Jakarta). Pendaftaran sudah dilakukan sejak tahun lalu oleh organisasi pengusaha angkutan darat (Organda) di Lapangan Banteng. Pemilik oplet harus datang sendiri dan menandatangani perjanjian: tak akan mengoperasikan. opletnya bila telah memperoleh mikrolet. DLLAJR kemudian memilih dan menentukan calon pemilik kesempatan pertama akan diberikan kepada pengusaha oplet yang sudah beroperasi sebelum tahun 1971. "Pokoknya," seperti kata A. Doman, Sekretaris Tim Mikrolet, "yang hidupnya benar-benar tergantung pada oplet itulah yang mendapat prioritas." Dari persetujuan DLLAJR, yang disebut "izin prinsip", Badan Usaha Mikrolet akan mengatur kredit pemilikanny.l dengan Bank Meranu. Pengusaha berkewajiban menjadi nasabah bank tersebut dengan menyetor sedikitnya (sebagai saldo akhir) Rp 500 ribu. Pengembalian kredit dilakukan secara mengangsur Besarnya antara Rp 3.500 s.d. Rp 4.500 setiap hari. Tergantung merk kendaraan yang diambil seperti merk Daihatsu, Toyota Kijang, Datsun, Colt, Suzuki dan Chevrolet. Harga paling murah Daihatsu, Rp 3 juta, dan paling mahal Chevrolet, Rp 5,1 juta (semuanya belum termasuk biaya lain-lain seperti bea balik nama dan asuransi). Masa angsuran diperhitungkan 3 tahun. Mikrolet? Mau, "tapi dengan berat hati," kata seorang pemilik yang mengoperasikan sebuah opletnya pada jurusan Jakarta Kota -Tanahabang. Tak mudah bagi pengusaha ini untuk menyediakan Rp 500 ribu dengan sebuah opletnya yang hanya menghasilkan Rp 4.500 sehari dari pagi sampai sore. Sedangkan, menurut perhitungannya, hasil mikroletnya kelak hanya pas-pasan untuk membayar angsurannya saja. Sebab, katanya, "penumpangnya 'kan itu-itu juga -- jadi penghasilan dari oplet maupun mikrolet sama saja." Esensial S.M. Siregar (52 tahun), yang membawa opletnya sendiri pada jurusan Rawasari-Cililitan, tak begitu tertarik menukar kendarannya. "Biarlah, lihat-lihat teman lain dulu," katanya. Jangankan mendaftar, cara-cara memperoleh mikrolet pun belum ingin diketahuinya sekarang, katanya di antara desah dan batuk mesin tua Austin-nya. Desah dan batuk itu bagaimana pun juga sudah dikenalnya. Dan memang selama ini, para sopir mengetahui bahwa kelebihan Austin-Austin yang kusam itu ialah pemeliharaannya yang mudah ditangani sendiri. Bahkan dengan wajahnya yang tua, oplet tidak mereka anggap sebagai pengganggu lalu lintas kelas satu. "Yang ngebut kan taksi?" tanya seorang sopir di Jatinegara, membela opletnya. Tapi pleidoi untuk oplet yang seperti itu kini jelas tak penting lagi. Yang penting, bagi banyak pihak, sudah cukup baik bila kendaraan umum di Jakarta tidak jadi berkurang. Seperti kata seorang ahli masalah perkotaan yang pernah membantu Pemerintah Daerah Khusus Ibukota: "Soal yang tetap esensial ialah bagaimana melaksanakan asas pemerataan, penghematan energi, kesehatan lingkungan dan kelancaran lalu lintas. Jika mau serius, hal itu dapat diatasi dengan mengurangi secara efektif penggunaan kendaraan pribadi. Perkara oplet dan mikrolet hanya satu unsur kecil".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus