NAMANYA manis mikrolet. Gabungan dari penggalan kata mikrobus
dan oplet. Nama jenis kendaraan angkutan umum baru itu juga
boleh untuk mengingatkan, bahwa di Kota Metropolitan Jakarta
pernah ada oplet: kendaraan warga ibukota, butut, karoserinya
dari kayu, jalannya terseok-seok suka pula "batuk-batuk" dan
setelah itu sering kelihatan mogok melintangi jalan.
Maka "si jago mogok" itu akan disingkirkan. Penggantinya
mikrolet itulah yaitu bis mini yang dapat mengangkut penumpang
sekitar 15 orang, yang diresmikan pengoperasiannya pertengahan
bulan ini. Lambat tapi pasti oplet yang jumlahnya lebih 3.000
buah, dimiliki 2.060 pengusaha, akan tergantikan. Mulai tahun
ini akan berkurang sekitar 400 buah. Tahun-tahun berikutnya akan
disingkirkan 600 dan berturut-turut 1000 buah.
Oplet-oplet yang sudah diafkir tak boleh lagi kelihatan nongol
di jalan. Mau diparkir di depan rumah -- sebagai pajangan atau
kenang-kenangan -- atau mau diapakan saja oleh pemiliknya
terserah saja. "Pokoknya tak boleh beroperasi di bumi Jakarta,"
seperti kata Abdul Muis, Wakil Kepala DLLAJR (Dinas Lalulintas
dan Angkutan Jalan Raya) DKI Jaya.
Rencana mengganti oplet dengan jenis kendaraan lain sebenarnya
sudah ada sejak beberapa tahun lalu. Tapi, karena kebanyakan
oplet dipunyai pengusaha kecil, Pemda DKI memprosesnya
pelan-pelan. Apalagi yang diinginkan, seperti kata Muis,
"mikrolet bukan untuk yang punya duit, tapi untuk yang punya
Oplet."
Hidupnya Tergantung Oplet
Untuk memperoleh mikrolet caranya tak sulit. Syarat utama, tentu
saja, calon pemiliknya harus benar-benar pengusaha oplet yang
tinggal dan beroperasi di Jakarta secara sah (mempunyai nomor
kendaraan, uji dan izin trayek di Jakarta). Pendaftaran sudah
dilakukan sejak tahun lalu oleh organisasi pengusaha angkutan
darat (Organda) di Lapangan Banteng. Pemilik oplet harus datang
sendiri dan menandatangani perjanjian: tak akan mengoperasikan.
opletnya bila telah memperoleh mikrolet.
DLLAJR kemudian memilih dan menentukan calon pemilik kesempatan
pertama akan diberikan kepada pengusaha oplet yang sudah
beroperasi sebelum tahun 1971. "Pokoknya," seperti kata A.
Doman, Sekretaris Tim Mikrolet, "yang hidupnya benar-benar
tergantung pada oplet itulah yang mendapat prioritas."
Dari persetujuan DLLAJR, yang disebut "izin prinsip", Badan
Usaha Mikrolet akan mengatur kredit pemilikanny.l dengan Bank
Meranu. Pengusaha berkewajiban menjadi nasabah bank tersebut
dengan menyetor sedikitnya (sebagai saldo akhir) Rp 500 ribu.
Pengembalian kredit dilakukan secara mengangsur Besarnya antara
Rp 3.500 s.d. Rp 4.500 setiap hari. Tergantung merk kendaraan
yang diambil seperti merk Daihatsu, Toyota Kijang, Datsun, Colt,
Suzuki dan Chevrolet. Harga paling murah Daihatsu, Rp 3 juta,
dan paling mahal Chevrolet, Rp 5,1 juta (semuanya belum termasuk
biaya lain-lain seperti bea balik nama dan asuransi). Masa
angsuran diperhitungkan 3 tahun.
Mikrolet? Mau, "tapi dengan berat hati," kata seorang pemilik
yang mengoperasikan sebuah opletnya pada jurusan Jakarta Kota
-Tanahabang. Tak mudah bagi pengusaha ini untuk menyediakan Rp
500 ribu dengan sebuah opletnya yang hanya menghasilkan Rp 4.500
sehari dari pagi sampai sore. Sedangkan, menurut perhitungannya,
hasil mikroletnya kelak hanya pas-pasan untuk membayar
angsurannya saja. Sebab, katanya, "penumpangnya 'kan itu-itu
juga -- jadi penghasilan dari oplet maupun mikrolet sama saja."
Esensial
S.M. Siregar (52 tahun), yang membawa opletnya sendiri pada
jurusan Rawasari-Cililitan, tak begitu tertarik menukar
kendarannya. "Biarlah, lihat-lihat teman lain dulu," katanya.
Jangankan mendaftar, cara-cara memperoleh mikrolet pun belum
ingin diketahuinya sekarang, katanya di antara desah dan batuk
mesin tua Austin-nya.
Desah dan batuk itu bagaimana pun juga sudah dikenalnya. Dan
memang selama ini, para sopir mengetahui bahwa kelebihan
Austin-Austin yang kusam itu ialah pemeliharaannya yang mudah
ditangani sendiri. Bahkan dengan wajahnya yang tua, oplet
tidak mereka anggap sebagai pengganggu lalu lintas kelas satu.
"Yang ngebut kan taksi?" tanya seorang sopir di Jatinegara,
membela opletnya.
Tapi pleidoi untuk oplet yang seperti itu kini jelas tak penting
lagi. Yang penting, bagi banyak pihak, sudah cukup baik bila
kendaraan umum di Jakarta tidak jadi berkurang.
Seperti kata seorang ahli masalah perkotaan yang pernah membantu
Pemerintah Daerah Khusus Ibukota: "Soal yang tetap esensial
ialah bagaimana melaksanakan asas pemerataan, penghematan
energi, kesehatan lingkungan dan kelancaran lalu lintas. Jika
mau serius, hal itu dapat diatasi dengan mengurangi secara
efektif penggunaan kendaraan pribadi. Perkara oplet dan mikrolet
hanya satu unsur kecil".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini