Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kiai Razaq Yang Terbakar

Kiai abdul razaq makmun, asli betawi, sejak dulu menekankan pada pentingnya menuntut ilmu agama pada setiap khotbahnya. kini tema yang ia sampaikan ialah pentingnya transmigrasi. ia yakin dengan ajakannya itu

20 September 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KIAI Abdul Razaq Makmun adalah profil tersendiri diantara 'barisan' kiai di kalangan kaum Betawi. Kalau para kiai lain getol melancarkan serangan gencar kepada hal-hal yang modern, kiai dari 'golongan Tegalparang' ini justru memakai pendekatan serba ringan. Kalau para kiai lain menunjukkan kata-kata tajam, Kiai Razaq justru tidak pernah menyinggung-nyinggung perbedaan agama. Kalau para kiai lain sibuk mengutuk berbagai penyimpangan dari ajaran agama, seperti kasus judi beberapa tahun yang lalu, Kiai Razaq justru jarang menyoroti soal-soal hangat seperti itu. Tema pembicaraannya, walaupun dibumbui humor segar dan penuh dengan 'dalil' ayat Quran dan hadith Nabi, biasanya hanya berkisar pada pentingnya kerja menuntut ilmu. Tema tunggal ini disampaikannya secara menetap selama puluhan tahun. Walaupun dihormati almarhum Kiai Bisri Syansuri sebagai salah satu di antara sedikit ulama Betawi yang 'mengerti hukum agama secara mendalam', sedikit sekali diperagakannya kebolehan di bidang fiqh itu. Paling-paling hanya ketahuan kalau sedang ada musyawarah hukum agama di kalangan Syuriah Nadhlatul Ulama. Di luar forum terbatas dan periodik seperti itu, yang disampaikannya hanyalah pesan menuntut ilmu bagi kepentingan agama. Mengapa demikian tekun ia dengan tema tunggalnya itu? Mengapakah kiai-kiai lain justru tidak demikian? Banyak sebab dapat dicari, tetapi yang terpenting tentunya adalah kehidupan kejiwaannya sendiri. Ia berkembang dalam suasana yang memuliakan pencapaian standar pengetahuan agama yang tinggi, bukannya hanya sekedar 'kiai-kiaian'. Karena kedalaman pengetahuannya ini, ia melihat kekuatan agamanya sendiri. Pantaslah kalau ia tidak begitu melihat ancaman proses modernisasi. Selama masih ada ulama berpengetahuan agama mendalam, yang akan memimpin umat melakukan proses penyaringan atas jalannya modernisasi itu sendiri, tidak usah kita histeris atau panik. Asal anak muda mau mempelajari ilmu-ilmu agama, yang diistilahkannya sebagai 'mencari ilmu', selama itu pula akan ada proses seleksi yang baik. Jawaban atas tantangan modernisasi, dalam pandangan Kiai Razaq, adalah anjuran 'menuntut ilmu'. Tata nilai yang dianutnya masih tergolong apa yang oleh Sharon Siddiqui dari Institute of Southeast Asian Studies sebagai 'budaya Islam pesisir': penghormatan kepada kaum sayyid, terutama almarhum Habib Ali Kwitang. Watak hidupnya masih serba tradisional, dalam artian mengikuti amalan-amalan agama yang sudah berumur ratusan tahun tanpa banyak mengalami pergeseran. Walaupun demikian, rasionalitasnya, yang dibawakan oleh keyakinan penuh kepada ilmu-ilmu agama sebagai pengarah kehidupan, membawakan pendekatan tersendiri kepada masalah dasar yang dihadapinya dalam kehidupan. Rasionalitas yang tidak mencari argumentasi serba logis dari ilmu pengetahuan modern, melainkan yang berpangkal pada integritas ilmu-ilmu agama itu sendiri. Dari sudut pengenalan ini, kita tidak heran ketika akhir-akhir ini terjadi perkembangan menarik dalam pesan-pesan keagamaan yang disampaikannya. Kiai Razaq tidak lagi hanya berpesan tentang pentingnya 'menuntut ilmu', melainkan tentang pentingnya .... transmigrasi. Transmigrasi? Dari kiai tradisional ini? Dari mana ia peroleh gagasan itu? Apakah yang mendorongnya berbicara begitu bersemangat tentang transmigrasi? Persoalannya sederhana saja. Di dalam berdialog dengan dirinya sendiri, ditemukannya cara terbaik untuk lebih mematangkan sikap hidup kaum muslimin Betawi. Sikap hidup yang akan menghasilkan perbaikan kualitas hidup mereka kelak, tetapi terlebih-lebih lagi yang akan mendorong generasi muda untuk 'menuntut ilmu' melalui penyediaan sarana sosial-ekonomisnya. Bukankah di tempat baru mereka akan mendapat perbaikan situasi ekonomi masing-masing? Bukankah akan lebih mudah bagi mereka untuk membiayai pendidikan agama di tempat baru, daripada berjubel di tempat lama dengan sumber-sumber ekonomi yang semakin mengecil? 'Menuntut ilmu' diwajibkan oleh agama. Bukankah prasarana untuk kerja tersebut juga menjadi wajib, sesuai dengan kaidah 'ma la yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajibun' (sesuatu yang menyempurnakan kewajiban berstatus wajib pula)? Transmigrasi menjadi wajib, karena ia merupakan persyaratan bagi kewajiban 'menuntut ilmu' di kemudian hari. Belum lagi dihitung kepentingannya bagi pembangunan nasional. "Ane udah bentuk satu yayasan untuk membantu pemerintah dalam soal transmigrasi," ujarnya dalam gaya khas Betawi pada sebuah penataran muballigh bulan puasa yang lalu. "Sayang enggak inget namenye. Maklum panjang banget namenye." Hadirin tertawa mendengar ucapan terakhir ini bagaimana orang dapat lupa kepada nama yayasan yang didirikannya sendiri. "Ente semue jangan ketawa dulu. Pikir mateng-mateng pesen ane ini. Diskusi-in biar lame. Tanggung deh ente semue nanti lebih kebakar dari ane sekarang." Begitu yakin Kiai Razaq dengan ajakannya yang baru ini sehingga ia membuat perkiraan keadaan di masa datang: "Dua puluh taon lagi tanggung deh ente semue bakal bilang Kiai Razaq orangnye jempol. Sekarang sih belon ketahuan!".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus