Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Pembela Pedagang Rokok Itu ...

Serma suyono di tembak oleh seorang pemuda didepan rumahnya, perumnas depok ii, bogor, ketika membela pedagang rokok yang sering diperas oleh anak-anak muda. (krim)

20 September 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BELUM begitu jelas,itu jelas apa pangkal kemalangan yang menimpa Serma (Marinir) Suyono. Tiba-tiba saja ia ditembak dengan pistol oleh seorang pemuda di depan rumahnya sendiri di Jalan Sentosa Raya, Komplek Perumahan Depok II Tengah, Bogor. Dua buah peluru yang bersarang di dadanya, menyebabkan Suyono tewas pada malam itu juga, 7 September dalam usia 38 tahun. Korban meninggalkan seorang istri dan 6 orang anak. Ada yang bercerita begini Sudah lama Suyono memperhatikan anak-anak muda berkeliaran memeras pedagang-pedagang yang berjualan di dekat rumahnya. Istrinya sendiri juga berdagang ayam goreng di situ -- sekedar mencari tambahan nafkah. Dan pada malam itu lagi-lagi Suyono memergoki beberapa orang pemuda tengah memaksa minta uang dari seorang pedagang rokok. Anggota marinir itu, sedang berpakaian preman, mencoba memperingatkan perbuatan buruk pemuda-pemuda tersebut. Tapi rupanya tak berhasil. Malah, salah seorang pemuda berbadan kecil, berkulit putih dan rambut keriting di bawah topi baret birunya, mengeluarkan sebuah pistol dan kantung jaketnya. Ditodong begitu Suyono masih kelihatan tenang. Bahkan dengan tertawa ia berkata: "Oh, pistol. Mau 'nembak? Tembak saja . . . " Kelihatannya Suyono menganggap pemuda yang dihadapinya itu hanya main gertak saja. Malangnya, pemuda tersebut betul-betul nekat menembaknya. Merasa Tak Enak Setelah melepaskan dua buah peluru, sekitar 1 meter dari dada korbannya, pemuda itu terus lari. Kesempatan tersebut diperolehnya sementara orang-orang di sekitar peristiwa masih kaget. Istri Suyono sendiri tak mengenali siapa penembak suaminya. Karena, begitu melihat suaminya cekcok dengan seorang anak muda, hatinya merasa tak enak dan segera masuk ke rumah. Ia tak tahu pasal percekcokan mereka. Ia hanya ingat ada seorang pemuda bertanya kepada suaminya sambil menunjuk ayam goreng jualannya: "Ini ayam atau burung?" Suaminya menjawab "Ayam". Setelah itu si pemuda berbalik menemui seorang pedagang buah di dekat situ dan berbicara berbisik-bisik. Suyono menegurnya: "He, kamu 'ngomong apa? Bicara yang jelas." Itu saja yang didengar Nyonya Suyono Dan ia baru keluar rumah setelah mendengar letusan dan menemui suaminya terkapar dengan dada berdarah. Ia tak sempat memperhatikan siapa pemuda-pemuda yang berada di dekat suaminya. "Saya hanya ingat baapak saja," katanya kemudian. Namun dari seorang pemuda yang segera tertangkap, Yop, polisi mengetahui siapa si penembak: Ia bernama Budi, berumur sekitar 20 tahun, anak tiri seorang pegawai Bea Cukai yang tinggal dekat Perumnas, dan diduga memang biasa memeras para pedagang di sekitar Depok sampai Sawangan. Tapi hingga minggu lalu polisi belum dapat membekuknya. Sulitnya, kata seorang polisi, pedagang-pedagang semuanya tutup mulut. Mereka mengaku tidak tahu dan tidak kenal pemuda yang bernama Budi. Sikap yang demikian itu memang bisa dimengerti -- seperti halnya sikap para pedagang di daerah lain di ibukota pada umumnya dalam menghadapi pemeras. Diam-diam mereka sebenarnya gemas juga terhadap pemuda-pemuda yang sering datang memaksa minta uang. Tapi mau apa -- menolak? "Lebih baik pikir panjang dulu," kata Dadang, seorang pedagang rokok yang mangkal di Menteng Raya, dekat Sekolah Kanisius. Menghadapi pemuda-pemuda model begitu, katanya, "mengalah akan lebih selamat. " Lapor ke polisi juga enggan. "Jualan begini yang dicari berkahnya saja," ujar Dadang. "Lapor polisi hanya membuat urusan jadi panjang dan dagangan bisa macet." Begitu juga pendapat Warno, pedagang martabak asal Tegal, yang berjualan di Jalan Minangkabau. "Yang jadi sasaran nanti kita-kita juga," katanya membaangkan pembalasan berandal pemerasnya. Jadi demi keselamatan, ia tak mau pusing. "Paling-paling yang mereka minta 'kan cuma Rp 100." Pungutan yang memaksa itu, apa boleh buat, dianggap Dadang, Warno atau pedagang lainnya sebagai hal yang lumrah saja. Padahal, "yang jadi korban seharusnya berani lapor," kata Kepala Kepolisian (Danres 822) Bogor, Letkol Pol. Rofiq Yunus, yang mengurus perkara penembakan Serma Suyono. Lain dengan di Medan bahwa di sana ada preman sebutan untuk pengutip uang tak perlu lagi didengar laporan para pedagang dan pemilik toko satu persatu. Mereka yang dicurigai dipungut dari tempat operasinya. Walaupun akhirnya menimbulkan kecaman: jangan-jangan ada orang yang tak berdosa ikut tertangkap -- tapi Medan dan sekitarnya kini terasa aman.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus