MENYUSURI REMANG-REMANG JAKARTA.
Oleh: Yuyu A.N. Krisna
Penerbit: Sinar Harapan (PT Sinar Kasih)
Tebal: 143 h., 19 x 12 cm. Dengan prawacana Ashadi Siregar dan
artikel penyimpul Dr. Fridolin Ukur, Jakarta 1979, (cetakan
pertama).
BAHWA Yuyu A.N. Krisna mendapat hadiah Adinegoro bagi karya
jurnalistik terbaik tahun 1979, tidaklah mengherankan. Rangkaian
artikel-artikelnya dalam Sinar Harapan yang diterbitkan dalam
bentuk buku ini memang karya jurnalistik bermutu. Bermutu bukan
saja karena dianggap jurnalistik baru di dalam hal ini Egon
Erwin Kisch (1885-1948) yang dijuluki der rasende Reporter jauh
mendahuluinya di dalaln lukisan inter-faktualitas.
Kebermutuan karya Yuyu ini adalah karena ia meletakkan sepotong
hati wanita yang menaruh simpati antar wanita di dalam
reportasenya. Ia membebaskan dirinya dari prasangka sok alim
masyarakat yang munafik dan berusaha menunjukkan pengertian
insani. Melalui pewarnaan emosional di sana-sini tulisannya
bersafari ke dalam wilayah sastra. Bahkan sebagian lebih jujur
dan akrab ketimbang yang formal diiklankan penulisnya sebagai
sastra.
Masalah pelacuran memang pelik, rumit. Ia bukan semata-mata
masalah susila, melainkan kait-berkait dengan ekonomi, sosial
dan politik. Masalah itu akan tetap ada, selama sebagian
masyarakat belum bebas dari kekurangan (freedom from want)
karena tak punya tanah garapan, lalu berurbanisasi hanya untuk
menjadi penganggur di kota. Sebab tak ada industri yang sanggup
menampung tenaga kerja yang membanjir dari desa-desa yang
kelebihan penduduk.
Demikianlah desintegrasi desa dan tiadanya industri di kota
merupakan sumber potensial pelacuran yang mengalir terus. Yang
telah ada direhabilitasikan, sedangkan yang baru terus berlipat
ganda.
Sebuah disertasi di Universitas Sorbonne sekitar 1960 -- malang,
saya telah lupa nama promovendusnya, karena perpustakaan saya
telah hancur lebur dan buku itu tak ada di
perpustakaan-perpustakaan umum di Jakarta -- berjudul La
Sociologie de la prostitution, menunjukkan bahwa kira-kira 90%
wanita pelacur disebabkan oleh tekanan ekonomi. Selebihnya
adalah karena psikopathologi, kelainan biologik, petualangan,
keisengan dan faktor-faktor non-ekonomik lainnya.
Calon Magdalena
Kiranya angka itu pun tak banyak bedanya untuk Indonesia. Karena
itu usaha rehabilitasi dan resosialisasi yang dilakukan oleh
Departemen Sosial dengan sebuah lembaga khusus, di Pasar Rebo,
Jakarta Timur, tak pernah berhasil, karena tak memecahkannya
pada akar sebabnya ekonomi! Yang telah dilatih kerja karena tak
diberi pekerjaan akhirnya kembali kepada jabatan tertua di
dunia.
Tentu, ada yang berhasil kawin dan ingin menutup lembaran hitam
untuk selama-lamanya. Tapi masyarakat usil dan menggunjingkan si
anu bekas 'perempuan gituan'. Maka calon Magdalenapun sakit
hati, dendam, lalu gagal bertobat.
Itulah bedanya dengan yang dilukiskan pengarang Amerika
Maurice Hindus dalam The Great Ofensive, mengenai usaha
rehabilitasi dan resosialisasi di Uni Soviet pada awal tahun
1920-an. Sekali seorang telah tutup buku sebagai wanita dunia
kelabu, maka masa lampau ini tak boleh disinggung-singgung
lagi berdasarkan sanksi hukum. Demikianlah usaha rehabilitasi
pelacuran berhasil baik dan pelacuran barulah mulai muncul
kembali secara terbatas setelah tahun 1958. Sebelum itu
gonococci (kuman kencing nanah) untuk praktikum kedokteran pun
mesti diimpor!
Yang paling celaka, secara psikologik, di Indonesia adalah
ungkapan 'wanita tuna susila' (WTS), yang artinya wanita yang
tak punya susila. Sebetulnya barangsiapa serba kecukupan, punya
suami dan anak-anak terhormat, tapi mengetengkan diri atau
menyewa 'lola' (lonte lanang, gigolo) ia itulah WTS. Tapi
kalau perut keroncongan, kalau anak merengek minta makan, kalau
orang tua yang telah renta mesti dihidupi dan untuk itu seorang
wanita karena paksaan keadaan (force majeur) menyewakan
raganya, itu berarti pelanggaran susila -- bukan tak punya
susila.
Asas-asas usil
Juga, apakah tak bersusila seorang pelacur yang melindungi kaum
gerilyawan dan bekerjasama dengan mereka untuk melucuti
serdadu-serdadu KNIL dan polisi Belanda? Itulah yang terjadi di
Kebalen (Malang) dan Bangunrejo (Surabaya) pada tahun 1948-1949.
Apakah tak bersusila merawat teman wanita yang berbulan-bulan
sakit dan hidupnya menjadi tanggungan rekan-rekannya yang sehat?
Edmond de Goncourt di dalam La Fille Elisa serta Jean Paul
Sartre di dalam La P. Respectuesse melukiskan tokoh-tokoh
berwatak mulai dengan asas-asas susila yang terpuji dari dunia
remang-remang itu.
Menunjukkan jalan keluar memang bukan tugas Yuyu. Itu di luar
jangkauannya. Kekuatan-kekuatan syaithani yang melindungi sex
business terlalu besar dan berada sejak lapisan terbawah sampai
lapisan atas yang cukup besar kekuasaan dan pengaruhnya -- namun
juga tak menolak disuap dengan 'barang antik' (istilah Yuyu!).
Demikianlah, sebagaimana digambarkan penulis, sekarang ini tubuh
wanita dijadikan barang suapan pelincin bisnis, pelancar segala
urusan. Bahkan ada seorang bankir dan pedagang besar yang naik
ke atas karena pintarnya memberikan 'all in service' kepada
yang diangapnya perlu!
S.I. Poeradisastra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini