Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

"p" dan remang-remang

Pengarang: yuyu a.n. krisna jakarta: sinar harapan, 1979 resensi oleh: s.i. poeradisastra. (bk)

20 September 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENYUSURI REMANG-REMANG JAKARTA. Oleh: Yuyu A.N. Krisna Penerbit: Sinar Harapan (PT Sinar Kasih) Tebal: 143 h., 19 x 12 cm. Dengan prawacana Ashadi Siregar dan artikel penyimpul Dr. Fridolin Ukur, Jakarta 1979, (cetakan pertama). BAHWA Yuyu A.N. Krisna mendapat hadiah Adinegoro bagi karya jurnalistik terbaik tahun 1979, tidaklah mengherankan. Rangkaian artikel-artikelnya dalam Sinar Harapan yang diterbitkan dalam bentuk buku ini memang karya jurnalistik bermutu. Bermutu bukan saja karena dianggap jurnalistik baru di dalam hal ini Egon Erwin Kisch (1885-1948) yang dijuluki der rasende Reporter jauh mendahuluinya di dalaln lukisan inter-faktualitas. Kebermutuan karya Yuyu ini adalah karena ia meletakkan sepotong hati wanita yang menaruh simpati antar wanita di dalam reportasenya. Ia membebaskan dirinya dari prasangka sok alim masyarakat yang munafik dan berusaha menunjukkan pengertian insani. Melalui pewarnaan emosional di sana-sini tulisannya bersafari ke dalam wilayah sastra. Bahkan sebagian lebih jujur dan akrab ketimbang yang formal diiklankan penulisnya sebagai sastra. Masalah pelacuran memang pelik, rumit. Ia bukan semata-mata masalah susila, melainkan kait-berkait dengan ekonomi, sosial dan politik. Masalah itu akan tetap ada, selama sebagian masyarakat belum bebas dari kekurangan (freedom from want) karena tak punya tanah garapan, lalu berurbanisasi hanya untuk menjadi penganggur di kota. Sebab tak ada industri yang sanggup menampung tenaga kerja yang membanjir dari desa-desa yang kelebihan penduduk. Demikianlah desintegrasi desa dan tiadanya industri di kota merupakan sumber potensial pelacuran yang mengalir terus. Yang telah ada direhabilitasikan, sedangkan yang baru terus berlipat ganda. Sebuah disertasi di Universitas Sorbonne sekitar 1960 -- malang, saya telah lupa nama promovendusnya, karena perpustakaan saya telah hancur lebur dan buku itu tak ada di perpustakaan-perpustakaan umum di Jakarta -- berjudul La Sociologie de la prostitution, menunjukkan bahwa kira-kira 90% wanita pelacur disebabkan oleh tekanan ekonomi. Selebihnya adalah karena psikopathologi, kelainan biologik, petualangan, keisengan dan faktor-faktor non-ekonomik lainnya. Calon Magdalena Kiranya angka itu pun tak banyak bedanya untuk Indonesia. Karena itu usaha rehabilitasi dan resosialisasi yang dilakukan oleh Departemen Sosial dengan sebuah lembaga khusus, di Pasar Rebo, Jakarta Timur, tak pernah berhasil, karena tak memecahkannya pada akar sebabnya ekonomi! Yang telah dilatih kerja karena tak diberi pekerjaan akhirnya kembali kepada jabatan tertua di dunia. Tentu, ada yang berhasil kawin dan ingin menutup lembaran hitam untuk selama-lamanya. Tapi masyarakat usil dan menggunjingkan si anu bekas 'perempuan gituan'. Maka calon Magdalenapun sakit hati, dendam, lalu gagal bertobat. Itulah bedanya dengan yang dilukiskan pengarang Amerika Maurice Hindus dalam The Great Ofensive, mengenai usaha rehabilitasi dan resosialisasi di Uni Soviet pada awal tahun 1920-an. Sekali seorang telah tutup buku sebagai wanita dunia kelabu, maka masa lampau ini tak boleh disinggung-singgung lagi berdasarkan sanksi hukum. Demikianlah usaha rehabilitasi pelacuran berhasil baik dan pelacuran barulah mulai muncul kembali secara terbatas setelah tahun 1958. Sebelum itu gonococci (kuman kencing nanah) untuk praktikum kedokteran pun mesti diimpor! Yang paling celaka, secara psikologik, di Indonesia adalah ungkapan 'wanita tuna susila' (WTS), yang artinya wanita yang tak punya susila. Sebetulnya barangsiapa serba kecukupan, punya suami dan anak-anak terhormat, tapi mengetengkan diri atau menyewa 'lola' (lonte lanang, gigolo) ia itulah WTS. Tapi kalau perut keroncongan, kalau anak merengek minta makan, kalau orang tua yang telah renta mesti dihidupi dan untuk itu seorang wanita karena paksaan keadaan (force majeur) menyewakan raganya, itu berarti pelanggaran susila -- bukan tak punya susila. Asas-asas usil Juga, apakah tak bersusila seorang pelacur yang melindungi kaum gerilyawan dan bekerjasama dengan mereka untuk melucuti serdadu-serdadu KNIL dan polisi Belanda? Itulah yang terjadi di Kebalen (Malang) dan Bangunrejo (Surabaya) pada tahun 1948-1949. Apakah tak bersusila merawat teman wanita yang berbulan-bulan sakit dan hidupnya menjadi tanggungan rekan-rekannya yang sehat? Edmond de Goncourt di dalam La Fille Elisa serta Jean Paul Sartre di dalam La P. Respectuesse melukiskan tokoh-tokoh berwatak mulai dengan asas-asas susila yang terpuji dari dunia remang-remang itu. Menunjukkan jalan keluar memang bukan tugas Yuyu. Itu di luar jangkauannya. Kekuatan-kekuatan syaithani yang melindungi sex business terlalu besar dan berada sejak lapisan terbawah sampai lapisan atas yang cukup besar kekuasaan dan pengaruhnya -- namun juga tak menolak disuap dengan 'barang antik' (istilah Yuyu!). Demikianlah, sebagaimana digambarkan penulis, sekarang ini tubuh wanita dijadikan barang suapan pelincin bisnis, pelancar segala urusan. Bahkan ada seorang bankir dan pedagang besar yang naik ke atas karena pintarnya memberikan 'all in service' kepada yang diangapnya perlu! S.I. Poeradisastra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus