Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Militer dalam Tarik Ulur Gus Presiden

>

Kasus Wiranto dan Feisal Tanjung menunjukkan bahwa Presiden Abdurrahman Wahid lebih menyukai trik politik ketimbang penegakan hukum sebagai alternatif penyelesaian masalah. Cara lama yang mestinya sudah ditinggalkannya?


13 Februari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUARA ayat suci Quran terdengar sayup di presidential suite sebuah hotel besar di Mekah, Arab Saudi. Rombongan Presiden Abdurrahman Wahid baru saja tiba ke kota kelahiran Nabi Muhammad itu—satu dari beberapa negara Eropa dan Asia yang dikunjunginya sepanjang dua pekan lalu. Tiba-tiba saja telinga Gus Dur menangkap sebuah ayat yang membuatnya terhenyak. Pesan moral ayat itu kira-kira begini: janganlah seseorang ragu dalam mengambil tindakan yang dipandangnya benar. Presiden Abdurrahman berbisik kepada salah seorang anggota rombongan yang berada di sebelahnya. "Ayat ini mungkin untuk saya," begitu kira-kira kata Presiden, seperti dituturkan seorang stafnya.

Abdurrahman sedang ragu-ragu? Mungkin ya, mungkin tidak. Tapi bahwa ia harus mengambil keputusan penting terhadap kasus pengadilan hak asasi manusia terhadap Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Wiranto, itu memang benar. Ini memang problem serius. Soalnya, mata dunia kini sedang terarah kepada kelanjutan hasil penyelidikan Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang merekomendasikan agar Wiranto diperiksa lebih jauh. Bila rekomendasi ini tak diindahkan, besar kemungkinan upaya membawa Wiranto dan mereka yang dituding melakukan pelanggaran di Timor Timur ke peradilan internasional akan digelindingkan dengan kencang.

Tidak jelas apakah karena bisikan ayat suci di Mekah itu atau karena sebab lain jika kemudian Presiden Abdurrahman menebar statemen tajam sepanjang perjalannya ke Eropa. Berkali-kali ia meminta Wiranto mundur dari jabatannya. Di Jakarta para jenderal kasak-kusuk. Sebagian mendukung permintaan Gus Dur itu, sebagian lainnya menganggap permintaan itu merongrong kewibawaan organisasi TNI. "Institusi tentara seperti tercabik-cabik," kata Letnan Jenderal (Purn.) Soeyono, bekas Kepala Staf Umum TNI (1995-1996).

Menurut cerita seorang staf Istana, Panglima TNI Laksamana Widodo A.S. dan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Tyasno Sudarto Rabu lalu sampai menemui Sekretaris Pengendalian Pemerintahan Bondan Gunawan untuk meminta klarifikasi tentang sikap Gus Dur ini. Jawabannya tetap, Presiden menghendaki Wiranto mundur. Tyasno kemudian menyatakan secara pribadi ia berharap keinginan Kepala Negara itu dipatuhi.

Presiden Abdurrahman sendiri tampaknya punya rencana untuk Wiranto. Salah satunya adalah membawanya ke pengadilan nasional tapi kemudian mengampuni Wiranto. Itulah sebabnya, jika ditelisik dengan seksama pernyataan Abdurrahman terhadap Wiranto selama di Eropa, tampak bahwa ia sedang melakukan politik tarik ulur. Sebentar menekan, sebentar membela (lihat infografis, Militer dalam Perjalanan Gus Dur).

Salah satu bentuk politik "ulur benang" itu adalah ketika Abdurrahman menyatakan bahwa Wiranto adalah orang yang pernah menyelamatkan dirinya karena Gus Dur hampir "dihabisi" TNI. Sekali merangkuh dayung, pernyataan itu ternyata melampaui "pulau" lain bernama Feisal Tanjung. Bekas Panglima ABRI ini kontan terhenyak karena menurut Abdurrahman perintah itu datang dari Soeharto melalui Feisal--yang belakangan menurut Abdurrahman dibantah Wiranto sendiri setelah ia mengonfirmasikannya langsung ke bekas presiden RI itu. Dengan kata lain, Abdurrahman jelas menuding muka Feisal.

Feisal menolak tudingan Presiden itu. Tapi betulkah Feisal ingin "menghabisi" Gus Dur? Tidak jelas. Yang pasti, Wiranto sendiri menolak ketika Feisal memintanya membuat konferensi pers bersama untuk menjernihkan persoalan. Tidak ada penjelasan mengapa. Namun, penolakan ini membuat spekulasi lain berkembang. Wiranto menggunakan nama atasannya untuk memperkuat posisi politiknya.

Farid Prawiranegara, tokoh Partai Bulan Bintang yang juga sahabat Prabowo Subiyanto—seteru politik Wiranto di TNI—meyakini bahwa Wiranto memang pernah membisiki Gus Dur soal rencana memiting kiai Ciganjur itu. Sebabnya, Farid melihat ada preseden sebelumnya, yakni ketika bekas presiden Habibie mengaku pernah dibisiki Wiranto tentang rencana kudeta Prabowo yang—paling tidak sampai hari ini—tidak terbukti benar. "Dua kasus itu menunjukkan dengan jelas siapa dia," kata Farid.

Pertanyaannya: betulkah "dihabisi" dalam bahasa politik Presiden Abdurrahman itu berarti dibunuh? Hal itu bukan tidak mungkin terjadi mengingat sejumlah aktivis yang hilang belum ditemukan hingga kini. Tapi analisis lain menyebut maksud Presiden Abdurrahman dengan "dihabisi" itu adalah ditutup ruang politiknya.

Kalau ini yang dimaksud, Presiden memang sudah jadi langganan tetap militer. Lihatlah Muktamar Nahdlatul Ulama ke-29 di Cipasung, Jawa Barat, Desember 1994. Ketika itu Gus Dur, yang menjadi kandidat kuat calon ketua umum NU, diganjal keras oleh lawan politiknya, yang kabarnya disokong militer.

Mula-mula nama yang muncul untuk menahan laju penggemar sepak bola itu adalah tokoh Golkar Chalid Mawardi. Begitu kelihatan tak laku, militer menukarnya dengan Abu Hasan, yang hampir menang. Tapi dorongan kaum nahdliyin dan aktivis lembaga swadaya masyarakat pendukung Gus Dur tak tertahankan. Dalam tempik-sorak warga organisasi bermassa sekitar 40 juta itu, Gus Dur melaju ke kursi ketua umum untuk kedua kalinya.

Nah, dalam operasi Cipasung itu tokoh yang bermain adalah Jenderal Hartono, yang ketika itu memegang jabatan Kepala Staf Sosial Politik ABRI. Hartono sendiri ketika dikonfirmasi memilih tutup mulut. "Anda menanyakan sesuatu yang sama sekali tidak saya ketahui. Anda salah alamat," katanya. Lalu, klik, telepon ditutup.

Selanjutnya adalah kecurigaan atas sebuah upaya penggembosan basis NU di hampir sekujur tubuh pulau Jawa. Caranya adalah dengan menggelar kerusuhan di pelbagai tempat. Tidak semata-mata karena tangan "jahat" memang kerusuhan meletup. Tapi bensin yang disiram terbukti ampuh menjalarkan api.

Di Tasikmalaya, Jawa Barat, Desember 1996, hanya karena penganiyaan seorang ustad dan santrinya, sejumlah mobil, toko, gereja, dan pabrik dibakar massa. Penyair Tasik Eriyandi Budiman menggambarkan kerusuhan di kotanya dalam sebuah sajak yang getir. "Toko-toko menjadi kanvas lukisan Nero menari dalam asap: hitam, merah kuning dan tembaga. Seperti zombie yang berdetak dari musik kematian". Kerugian yang diakibatkan oleh rusuh ini mencapai angka Rp 85 miliar.

Sebulan kemudian giliran Rengasdengklok yang membara. Hanya karena seorang Cina yang memarahi anak muda yang memukul beduk, 76 rumah hangus, juga 9 mobil, sekolah, bank, pabrik, dan vihara jadi debu. Kemudian kerusuhan merembet ke kota-kota lain di pantai utara Jawa. Belum cukup, belakangan sejumlah daerah basis NU juga jadi sasaran amuk massa akibat isu dukun santet.

"Ini usaha untuk melemahkan NU," kata pemimpin pesantren Rembang, Mustofa Bisri, kepada wartawan TEMPO Bandelan Amarudin. "Karena indikasi sasarannya adalah para kiai atau guru ngaji." Gus Dur menyebut peristiwa ini sebagai bagian dari operasi rahasia mililter bernama Operasi Naga Hijau.

Tidak jelas, memang, apakah operasi ini adalah celetukan Abdurrahman saja atau sesungguhnya terjadi. Yang pasti, bukan Gus Dur namanya kalau ia tidak mampu mengelola hubungannya dengan militer dan kalangan penguasa lainnya.

Hartono, misalnya, pernah dirangkulnya ketika ia sedang berdekatan dengan putri Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut. Duet Tutut-Hartono ini pernah pula dibawa Abdurrahman keliling pesantren NU seraya Gus Dur mempromosikan Tutut sebagai pemimpin masa depan.

Padahal, hanya beberapa tahun sebelumnya Soeharto marah besar kepada Gus Dur. Pasalnya, penikmat musik klasik Beethoven itu menyebut Soeharto dengan sebutan yang sangat tidak layak dalam tradisi politik Soeharto yang halus: stupid. Selepas pernyataan yang ditulis wartawan Far Eastern Economic Review Adam Shwarz dalam bukunya The Nation in Waiting, hubungan Soeharto dan Gus Dur merenggang. Juga ketika Gus Dur mendirikan Forum Demokrasi sebagai ajang kumpul-kumpul aktivis lembaga swadaya masyarakat yang umumnya menentang kebijakan politik Soeharto. Beberapa kali pertemuan Fodem, begitu forum tersebut biasa disingkat, digerebek polisi dan dibubarkan.

Turun, naik. Pasang dan surut. Begitulah pola hubungan Gus Dur dan militer—juga hubungan dengan lawan politiknya yang lain. Yang menjadi pertanyaan banyak orang adalah kenapa Presiden Abdurrahman masih menggunakan cara-cara lama, yakni dengan menyerang orang dengan peluru statemen tajam—sembari membelok dan menikung—sedangkan ia sesungguhnya memiliki kekuasaan untuk menegakkan hukum. Dalam konteks kasus Wiranto dan Feisal Tanjung, bukankah ia punya kewenangan untuk meminta polisi militer atau kejaksaan agar kasus ini ditindaklanjuti sehingga setiap orang merasa punya kepastian?

Tidak ada yang bisa memastikan. Kalangan optimis memandang sikap Gus Dur ini sebagai upaya Presiden Abdurrahman untuk menegakkan supremasi sipil atas militer. Tapi kalangan yang lain melihat "sirkus" Gus Dur ini berdampak buruk bagi suasana kerja di jajaran militer. Seorang panglima kodam pernah bercerita tentang betapa sungkannya ia sekarang datang ke acara-acara silaturahmi atau halal-bihalal TNI. "Takut dituduh menghadiri pertemuan para jenderal," katanya berseloroh. Meski dampaknya kecil, Presiden Abdurrahman tampaknya perlu juga mempertimbangkan hal semacam ini.

Arif Zulkifli, Darmawan Sepriyossa, Hani Pudjiarti

MILITER DALAM PERJALANAN GUS DUR
1 Februari 2000, Davos, Swiss
Saya akan meminta Wiranto mundur dengan bahasa yang halus.

2 Februari 2000, London, Inggris
Saya telah meminta Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono agar meminta Wiranto berhenti. Kita bisa lakukan aturan ad interim untuk Wiranto.

4 Februari 2000, Den Haag, Belanda
Sejumlah jenderal telah mengadakan pertemuan di Jalan Lautze, Jakarta. Para jenderal tersebut harus hati-hati terhadap apa yang mereka lakukan. Saya telah mengetahui akan diadakannya demonstrasi kelompok muslim militan pada 5 Februari 2000. "Saya yakin ada tangan-tangan kotor di belakang itu."

6 Februari 2000, Roma, Italia
TNI memiliki tradisi loyal kepada atasan. TNI tidak akan melakukan kudeta.

7 Februari 2000, Vatikan

  • Saya percaya kepada Wiranto. Ia pernah menyelamatkan nyawa saya dan Wakil Presiden Megawati Sukarnoputri. Feisal Tanjung memerintahkan Wiranto untuk "melenyapkan" kami berdua.
  • Kalau Wiranto dinyatakan bersalah oleh pengadilan, akan saya maafkan.

    9 Februari 2000, New Delhi, India

  • Saya tetap pada pendirian saya mengenai Feisal Tanjung. Dia juga yang memerintahkan penyerbuan Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro. Orang-orangnya Feisal Tanjung itu jugalah yang berusaha mematahkan saya di (Kongres NU) Cipasung.
  • Saya meminta Wiranto mundur. Setelah diputuskan, pasti saya memberinya maaf. Saya tahu ia sesungguhnya mendorong terjadinya demokratisasi dalam tubuh TNI.

    10 Februari 2000, New Delhi, India
    Tentang Feisal Tanjung, saya tetap pada pendirian saya. Kalau ada bantahan dari Feisal, berarti ada dua versi (cerita). Tetapi rakyat kan sudah tahu.

    11 Februari 2000, Seoul, Korea Selatan
    Beberapa jenderal telah menyatakan dukungannya kepada saya. Sesungguhnya saya tidak ingin konfrontasi.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum