KALENDER Cina menyebutkan tahun ini sebagai tahun naga emas. Entah kebetulan atau tidak, Presiden Abdurrahman Wahid kembali melontarkan ucapan yang kontroversial dan mengingatkan orang akan apa yang pernah disebut sebagai Operasi Naga Hijau. Itu terjadi sekitar tiga tahun lalu.
Sasaran tembak "rudal antarbenua" Abdurrahman kali ini adalah mantan panglima ABRI (1993-1998), Jenderal (Purn.) Feisal Tanjung. Tembakan itu diluncurkan Abdurrahman dari Vatikan, salah satu negara yang tengah dikunjunginya. Sabtu malam dua pekan lalu itu, ia mengungkap sebuah cerita seram ala roman spionase. Alkisah, beberapa tahun silam, nyawanya pernah diselamatkan Letnan Jenderal Wiranto, yang saat itu menjabat Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (1996-1998). Wiranto kala itu mengontaknya. Wiranto mengaku puyeng mendapat perintah dari Panglima Feisal Tanjung untuk melenyapkan Gus Dur dan Megawati Sukarnoputri. Setelah dicek langsung ke Istana, Soeharto—presiden saat itu—menyangkalnya. Dan Wiranto, yang menurut Abdurrahman "lebih percaya kepada Soeharto ketimbang Feisal", akhirnya urung "menarik pelatuk" untuk Gus Dur dan Mega.
Cerita Presiden Abdurrahman itu segera membuat Republik berguncang. Banyak yang ternganga. Sebagian percaya, sebagian lain melihatnya tak lebih sebagai dongeng ala Abdurrahman. Yang jelas, cerita ini mengingatkan orang pada awal 1997. Ketika itu, api rusuh baru saja melalap sejumlah daerah kantong NU di Situbondo dan Tasikmalaya. Sebagai Ketua Umum Pengurus Besar (PB) NU, Abdurrahman bersuara lantang tentang sebuah operasi rahasia bersandi Naga Hijau. Operasi ini dikecamnya bertujuan memojokkan warga nahdliyin dan menjungkalkannya dari kursi ketua umum PBNU. Saat itu, Panglima ABRI Feisal Tanjung, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Hartono (1995-1997), dan Kepala Staf Sosial Politik ABRI (1996-1997) Letjen Syarwan Hamid mati-matian membantah. Syarwan bahkan menuding NU telah kesusupan PKI.
Kini, ketika sang kiai Ciganjur bertakhta di Istana, memang pantas sejumlah jenderal dag-dig-dug. Soalnya, jika selentingan Gus Dur itu terbukti benar, kasus semacam ini akan membuka kedok serangkaian operasi politik Orde Baru—dengan melibatkan jajaran teras TNI—yang nyaris menghalalkan segala cara untuk melanggengkan tampuk Soeharto. Sebuah jeweran keras lagi dari Presiden Abdurrahman ke telinga militer.
Maka, sehari setelah pernyataan Abdurrahman dilansir pers, Feisal pun buru-buru menggelar konferensi pers. Tampil bersama mantan Kepala Staf Umum ABRI (1996-1998) Letjen (Purn.) Tarub, ia tegas-tegas membantah cerita Presiden Abdurrahman dari Vatikan itu. Wiranto, menurut Feisal lagi, juga menyatakan kepadanya bahwa kabar yang dilansir Abdurrahman itu tak sahih.
Mana yang benar? Presiden bersikukuh akan kebenaran statemennya. Seorang pengurus teras NU pun hakul yakin bahwa upaya melenyapkan itu telah lama dicoba dilakukan. Ia menunjuk kasus kecelakaan mobil keluarga Abdurrahman di jalan tol Jagorawi pada 1993. Saat itu, ketika mobil melaju kencang, salah satu bannya meletus. Tak ayal lagi, mobil itu langsung jumpalitan. Akibatnya sungguh fatal. Musibah itu merenggut nyawa ibu Gus Dur dan melumpuhkan istrinya, Sinta Nuriyah, hingga sekarang.
Banyak yang meyakini sasaran sebenarnya adalah Abdurrahman. Memang, mestinya saat itu ia juga berada di dalam mobil nahas tersebut. Cuma, karena susah digugah dari tidurnya, ia ditinggal. Santer beredar kabar, ban mobil meletup setelah ditembus peluru penembak jitu. Benar tidaknya sulit dibuktikan hingga kini. Arsip kepolisian menyimpulkannya sebagai kecelakaan biasa.
Ada cara lain lagi untuk "melenyapkan" Gus Dur. Kali ini melalui dunia komat-kamit. Gus Dur, menurut sumber NU itu, telah berulang kali dicoba disantet sejumlah "orang pintar"—ada yang berasal dari Malang. Konon, atas perintah Soeharto. Cuma, info ini tentu saja sulit betul dikonfirmasi di dunia nyata.
Namun, seorang petinggi Badan Intelijen ABRI (sekarang Badan Intelijen Strategis) yang menjabat pada masa itu memastikan bahwa "license to kill" itu tak pernah ada. Jika perintah itu memang pernah dikeluarkan, katanya lagi, mestinya dia tahu. Soalnya, sebelum memutuskan menggelar operasi gawat, Feisal Tanjung selalu meminta masukan intelijen dulu dari BIA. Hal senada diungkapkan mantan Kepala Staf Umum (1995-1996) Letjen (Purn.) Soeyono. "Eliminasinya dalam bentuk politik. Saya tidak yakin sampai mau melenyapkan secara fisik," katanya kepada Edy Budiyarso dari TEMPO.
Lepas dari ada-tidaknya perintah bunuh itu, yang kini diakui terang-terangan adalah upaya melenyapkan Gus Dur secara politik. Sumber intelijen itu membenarkan keberadaan Operasi Naga Hijau. Perintah itu datang dari Cendana melalui Feisal Tanjung. Operasi digelar pertama kali untuk membarikade langkah kiai asal Jombang itu di Muktamar NU ke-29, 1-5 Desember 1994, di Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat. "Feisal Tanjunglah orang pertama yang menerima 'penugasan' dari Pak Harto. Tidak masuk akal kalau dia membantah," kata pengurus NU itu gemas.
Di mata Soeharto ketika itu, NU di bawah Abdurrahman Wahid adalah ancaman riil bagi hegemoninya. Suara sang kiai Ciganjur, apalagi setelah membentuk Forum Demokrasi bersama para oposan, terdengar makin sumbang saja. Belum lagi, pada Pemilu 1992, perolehan suara Golkar di kantong-kantong NU juga gembos. Dan haluan organisasi Islam terbesar dengan 40 juta umat itu dinilai bakal amat menentukan nasib Golkar—kendaraan politik Soeharto—pada Pemilu 1997 dan peta suksesi pada 1998.
Kegerahan Soeharto memuncak pada 1994. "Raja" Republik itu murka alang kepalang ketika Gus Dur menyebutnya "bodoh" di buku A Nation in Waiting yang ditulis Adam Schwarz.
Maka, atas titah Soeharto, Operasi Naga Hijau pun dikibaskan. Menurut sumber intelijen itu, Panglima Feisal sendiri langsung mengirimkan sinyal ke jajaran teras NU agar Gus Dur mundur teratur. Jajaran teritorial mulai dari komando daerah militer sampai komando resor militer dikerahkan untuk mempengaruhi (baca: membeli) utusan daerah. Kassospol ABRI Letjen R. Hartono (1994-1995) gencar memainkan lembaga perizinan. Izin muktamar tak bakal diteken kalau Gus Dur masih maju.
Markas BIA saat itu pun bergerak. Sejumlah pertemuan digelar. Sekjen PBNU H.M. Ichwan Syam sampai mesti bolak-balik ke Pejaten—markas BIA—untuk bernegosiasi. Hal ini dibenarkan sumber di NU itu. Anehnya, Ichwan mati-matian membantahnya. "Saya tidak pernah bertemu dengan orang BIA," katanya kepada Dwi Wiyana dari TEMPO.
Karena kuatnya tekanan, belakangan Abdurrahman menyanggupi mundur. Syaratnya, Fahmi Saefuddin, salah satu orang kepercayaannya yang saat itu menjabat asisten Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, tak dihalang-halangi jalannya di pentas pemilihan. Formula ini lalu dimatangkan tim gabungan BIA, Departemen Dalam Negeri, dan Sospol ABRI. Pendek kata, kesepakatan dicapai. Lampu hijau menyala dari Cilangkap. Muktamar pun berlangsung.
Namun, di tengah jalan skenario itu berantakan. Sekonyong-konyong, kata sumber intelijen dan petinggi NU itu, Jenderal Hartono nyelonong masuk ke Cipasung. Jenderal yang dikenal punya kedekatan khusus dengan Cendana itu mengusung nama lain: Chalid Mawardi, seorang pentolan Golkar yang kerap berseteru dengan Gus Dur. Belakangan, setelah nama Chalid tak laku dijual, Hartono mendorong Abu Hasan. Kepada Adi Prasetya dari TEMPO, Chalid dengan suara tinggi menyangkalnya. "Jenderal Hartono mendukung saya? Omong kosong. Apa buktinya? Saya maju karena Fahmi mengundurkan diri," katanya.
Melihat "tangan Cendana" sudah terjun bermain, tim BIA pun balik kanan. Rupanya, saat itu Hartono langsung diperintah Soeharto agar membuyarkan langkah kompromi yang telah disepakati itu. Pokoknya—begitu instruksi Cendana—Gus Dur dan orang-orangnya mesti dilibas habis.
Dihadapkan pada rekayasa sekasar itu, Abdurrahman Wahid dan para kiai sepuh meradang. Sang kiai Ciganjur kontan menyatakan tekadnya untuk maju lagi. Dalam pemilihan yang mendebarkan, penuh intrik dan suap, toh Abdurrahman tak tertahankan. Ia terpilih untuk ketiga kalinya, meski unggul tipis. Sayang, Hartono, Abu Hasan, dan Chalid Mawardi, meski telah berulang kali dikontak, tak juga dapat dimintai penjelasan.
Peran sentral Hartono itu disaksikan langsung oleh sang pengurus NU yang ketika itu juga menjadi panitia muktamar. Hartono pernah didengarnya sendiri mengontak K.H. Wahid Zaini per telepon. Bunyinya, apa lagi kalau bukan merayu sang Kiai agar bersedia maju menjegal Gus Dur. Tak mau diadu domba, Zaini menampiknya. "Saat ditelepon, saya persis di dekat Kiai Wahid Zaini," katanya.
Sampai di sini, lalu di mana peran Wiranto? Masih gelap memang. Saat muktamar Cipasung digelar, Wiranto menjabat Panglima Daerah Militer Jakarta (1994-1996). Cuma, fakta itu saja belum menihilkan kemungkinan keterlibatannya. Pengamat militer M.T. Arifin, yang saat itu menjabat Staf Ahli Kodam IV/Diponegoro, menyodorkan indikasi menarik. Menurut Arifin, kala itu gerakan membabat Gus Dur sampai ke akar-akarnya memang dimotori sejumlah perwira yang berada di jaringan dalam Cendana.
Nah, saat kerusuhan Situbondo dan Tasikmalaya meledak, Wiranto tengah menjabat Panglima Kostrad (1996-1997). Ini, kata sang mantan petinggi BIA, adalah pos yang membuat mantan ajudan kesayangan Soeharto itu punya jalur superkhusus ke Cendana. "Wiranto waktu itu kan jadi semacam informan utamanya Pak Harto," katanya lagi.
Kini, orang bisa mengingat naga hijau yang buntutnya mengibas ke mana-mana.
Karaniya Dharmasaputra, Arif Kuswardono (Jakarta), Jalil Hakim (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini