Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ERBIL, pertengahan Februari lalu. Hari itu saya mengunjungi penjara wanita dan anak-anak di Erbil, ibu kota pemerintah regional Kurdistan (Kurdistan Regional of Iraq/KRI), berjarak 81 kilometer sebelah timur Mosul. Penjara itu terletak tak jauh dari Family Mall, salah satu pusat belanja megah di kota tersebut. Dari luar, tak terlihat penjagaan yang ketat seperti beberapa penjara lain di Irak yang dikhususkan bagi tahanan pria yang biasanya dikelilingi T-Walls atau tembok khusus yang dibuat untuk menangkal serangan bom mobil. Di sudut-sudut penjara juga tak terlihat menara pengawas yang berisi penjaga dengan senjata otomatis. Hanya terlihat kawat berduri beberapa lapis yang mengelilingi kompleks penjara itu.
Di gerbang depan, saya disambut seorang kenalan yang bekerja di dalam penjara tersebut. Dia kemudian mengantar saya masuk ke kompleks penjara tersebut. Berdiri sejak 1995, penjara wanita dan anak-anak itu awalnya berkapasitas 15-20 orang saja. Setelah beberapa kali renovasi, penjara tersebut mampu menampung sekitar 150 tahanan. Saat ini, ada ratusan orang yang ditahan di sana. Mereka adalah anak laki-laki yang berusia di bawah 18 tahun dan wanita80-90 persen dari mereka ditahan lantaran dugaan terkait dengan kasus terorisme. Para tahanan wanita yang rata-rata terpisah dari suaminya itu berada di dalam sel bersama anak-anak mereka, yang berusia di bawah 12 tahun, sehingga penjara itu boleh dibilang menjadi tidak layak bagi para tahanan wanita.
Blok tahanan anak laki-laki tingginya sekitar 3 meter. Di ruangan pertama dengan luas 7 x 4 meter, terdapat 35 tahanan anak-anak menempati sel tersebut. Tidak cukup tempat tidur buat semua tahanan sehingga ada yang harus tidur di lantai. Di sudut kanan, hanya ada satu kamar mandi sekaligus toilet buat 35 orang. Tidak ada jendela dan hanya ada sekitar empat ventilasi yang ditutupi kertas, sehingga hawa di dalam ruang tahanan itu sangat pengap dengan bau keringat bercampur bau toilet. Saat musim panas, suhu di Erbil bisa mencapai 48 derajat Celsius.
Wajah para tahanan itu terlihat pucat, yang menandakan mereka kurang terkena sinar matahari. Sebab, mereka hanya bisa keluar dua kali dalam seminggu. Semua tahanan kasus terorisme ini adalah anak-anak dengan identitas Arab dan rata-rata ditangkap saat operasi membebaskan Mosul oleh pemerintah Irak. Usia mereka rata-rata 13-17 tahun. Anak X, misalnya, sudah berada di penjara selama satu tahun. Sepanjang setahun itu, dia tidak pernah dikunjungi orang tuanya yang tinggal di Mosul. Ini memang kendala, karena orang Arab di Mosul yang ingin ke Kurdistan harus mendapat izin lintas batas dari Asayish atau polisi rahasia. Apabila mereka mengatakan ingin menjenguk anak atau keluarganya yang ditahan di penjara karena dugaan kasus terorisme, izin mereka tidak akan dikeluarkan. Mereka punya jatah untuk menelepon keluarganya seminggu dua kali. Tapi banyak yang tidak tahu nomor telepon keluarga mereka. Mungkin bagi keluarga mereka, sebagian dari anak-anak ini sudah dianggap telah meninggal.
Di ruangan kedua, yang berukuran 4 x 4 meter, tanpa jendela, dan hanya terdapat dua ventilasi, ada 25 anak-anak yang sudah dituntut dengan tuduhan terorisme, tapi masih menunggu putusan pengadilan. Kondisi mereka tidak jauh berbeda dengan ruangan pertama yang memuat anak-anak yang sudah divonis bersalah. Kurangnya jumlah hakim untuk menyidangkan kasus mereka membuat banyak dari anak-anak itu yang menunggu tanpa kepastian. Dari 25 anak-anak tersebut, hanya 1 orang yang sudah tahu kapan dia akan mendengar putusan.
Adapun di ruangan pertama blok tahanan wanita, ada 15 tahanan. Ruangannya cukup besar karena berfungsi juga sebagai tempat pertemuan antara tahanan dan keluarga. Ada sekitar 10 anak-anak yang berusia beberapa bulan sampai 12 tahun yang tinggal di dalam penjara bersama ibu mereka. Para wanita itu tahanan kasus dugaan terorisme. Di ruangan kedua, ada sekitar 20 tahanan perempuan dan 12 anak-anak yang ikut dengan ibu mereka.
Di blok tahanan kaum Hawa itu, ada dua wanita yang berbeda dengan tahanan yang semuanya etnis Arab. Yang pertama, wanita asal Amerika. Dia bermigrasi ke Jerman. Dia menikah dengan pria Austria yang diduga bergabung dengan ISIS. Mereka datang ke Suriah lewat Turki dan tiba di Raqqa. Mereka kemudian pindah ke Tal Afar di sebelah barat Mosul. "Saya diajak suami untuk datang ke Suriah bersama anak-anak," kata seorang wanita yang ditahan bersama tiga anaknya. "Saya tidak tahu Suriah sebelumnya dan hanya mengikuti apa kata suami saya."
Dia menuturkan kehidupannya di Mosul ternyata tidak lebih baik. Dia dan ketiga anaknya tidak bebas ke luar rumah karena suaminya sering tidak berada di rumah selama berhari-hari. Saat ditanya apakah suaminya ikut berperang dengan ISIS, dia tidak menjawab. "Kami bukan Daesh (sebutan untuk pengikut ISIS)," ucapnya.
Saat ini suaminya masih ditahan di penjara khusus kasus terorisme milik Asayish dan wanita itu tidak tahu sang suami masih hidup atau sudah meninggal. Saat ditanya sampai kapan dia dan anak-anaknya akan ditahan, dengan senyum kecil dan tatapan hampa, dia menjawab, "Saya tidak tahu."
Wanita kedua berasal dari Asia Timur. Dia ikut suaminya yang diduga bergabung dengan ISIS di Suriah dan kemudian tertangkap di Tal Afar. Wanita tersebut mengikuti suaminya ke Suriah bersama lima anaknya. Satu anaknya lahir di Irak, sedangkan anak terakhirnya lahir di dalam penjara ini. "Kami bukan Daesh. Kami bukan teroris," ujar wanita itu. Dia juga tidak tahu di mana suaminya sekarang, masih hidup atau tidak. Satu hal yang pasti: impiannya mendapatkan hidup lebih baik, yang membuat dia meninggalkan negerinya, ternyata berakhir tragis. Hidupnya berakhir di penjara.
Sekitar dua jam saya berada di dalam kompleks penjara khusus wanita dan anak-anak itu. Di penjara Erbil itu, terdapat ratusan orang yang kehilangan kasih sayang karena bermimpi untuk mendapatkannya di dalam kekhilafahan yang dijanjikan ISIS, yang tidak pernah terjadi. Wanita dan anak-anak ini nasibnya justru berakhir di dalam penjara yang pengap, tanpa sanitasi yang baik, tanpa tempat tidur, tanpa pemenuhan kebutuhan pribadi dan kesehatan, serta tanpa kasih sayang.
Dalam perjalanan menuju gerbang keluar dari penjara, saya bertanya kepada kenalan tersebut, apakah ada tahanan dari Indonesia? Ada, katanya. Ada wanita Indonesia yang juga ditahan di penjara Erbil itu, tapi bukan dalam kasus terorisme. Dia ditahan karena kasus kriminal biasa. Sayang sekali waktu kunjungan terbatas sehingga saya tidak sempat bertemu dengan wanita itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo