Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJUMLAH survei mengerucutkan Joko Widodo dan Prabowo Subianto sebagai calon presiden yang akan berlaga dalam Pemilihan Umum 2019. Jokowi sudah resmi diusung sebagai calon presiden oleh tujuh partai peserta pemilihan umum. Sedangkan deklarasi Prabowo tinggal menunggu waktu. Tapi perseteruan tidak hanya dalam perburuan kursi nomor satu. Menjadi salah satu kunci memenangi laga, calon wakil presiden digodok matang oleh Jokowi dan Prabowo.
YORRYS Raweyai muncul di Kantor Staf Presiden pada Selasa pekan lalu membawa sebuah laporan. Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, yang dipimpinnya, telah menggelar musyawarah yang hasilnya, antara lain, mendukung Joko Widodo pada pemilihan presiden 2019. Yorrys mengklaim 5.000 anggotanya bakal membentuk organisasi relawan untuk memenangkan Jokowi.
Menurut Yorrys, rencana pembentukan relawan Jokowi telah diketahui Kepala Staf Kepresidenan Jenderal Purnawirawan Moeldoko sebelum organisasinya menggelar musyawarah. Ia melaporkan inisiatif itu kepada Moeldoko, yang kemudian meminta Deputi IV Bidang Politik Kantor Staf Presiden Eko Sulistyo berkoordinasi dengannya. "Untuk tindak lanjut ke depan mewujudkan langkah konkret dalam rangka deklarasi relawan pekerja untuk Jokowi," kata Yorrys, Selasa pekan lalu.
Rencana tersebut sebenarnya dibahas jauh sebelum Moeldoko dilantik sebagai Kepala Staf Kepresidenan pada 17 Januari lalu. Sebulan sebelumnya, Moeldoko mengumpulkan sejumlah purnawirawan dan mengajak mereka mendukung Jokowi pada 2019. Meski bukan pensiunan tentara, Yorrys ikut hadir. Kesimpulan pertemuan, mereka bakal membentuk kelompok-kelompok relawan Jokowi.
Selain menggalang pembentukan kelompok relawan, Moeldoko rutin mengunjungi daerah yang pada 2014 merupakan medan kekalahan Jokowi. Setelah dilantik, ia datang ke Universitas Padjadjaran, Bandung, pada pertengahan Februari lalu untuk memaparkan pencapaian tiga tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Ia dijadwalkan berbicara tentang hal serupa di Universitas Andalas, Padang, empat hari kemudian, tapi batal lantaran mendadak dipanggil Presiden Jokowi untuk menghadiri rapat kabinet terbatas.
Hampir tiap akhir pekan, Moeldoko menyambangi pelosok Jawa Barat. Kali ini, ia tak mengenakan baju Kepala Staf Kepresidenan, tapi sebagai Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia. Di Pesantren Miftahul Huda, Tasikmalaya, pertengahan Februari lalu, ia menggelar lokakarya "santri tani" untuk menularkan pengetahuan pertanian kepada para santri.
Pada 2014, di Jawa Barat, Jokowi kalah oleh lawannya, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, 40,22 persen berbanding 59,78 persen. Khusus di Tasikmalaya, kekalahannya makin telak: hanya meraih 30 persen suara. Padahal Jawa Barat adalah provinsi dengan pemilih terbanyak.
Moeldoko salah satu nama yang ditimang Jokowi untuk menjadi pendampingnya pada pemilihan presiden 2019. Menurut seorang pemimpin partai koalisi yang pernah diajak berdiskusi oleh Jokowi, Presiden inkumben telah membagi calon pendampingnya dalam tiga cluster: santri, teknokrat, dan militer. Moeldoko salah satu calon dari militer.
Nama-nama calon wakil presiden digodok intensif oleh Jokowi sejak akhir tahun lalu. Ini terjadi setelah peluang Jusuf Kalla mendampinginya hampir tertutup. Undang-Undang Pemilihan Umum membatasi presiden dan wakil presiden maju lagi setelah dua kali masa jabatan, baik berturut-turut maupun tidak. Komisi Pemilihan Umum juga sudah menyatakan Kalla tak bisa maju lagi.
Awalnya, Jokowi hendak berpasangan lagi dengan Kalla seperti salah satu skenario Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, partai utama pengusung mereka pada 2014. Nama Kalla dianggap sebagai jalan tengah antara Jokowi dan PDIP.
Dari sisi Jokowi, Kalla dinilai sukses sebagai wakil dalam periode ini. Kalla juga pilihan paling pas untuk menangkal isu anti-Islam yang kerap disematkan pembencinya. Lagi pula, elektabilitasnya sebagai calon wakil presiden masih tinggi. Satu-satunya hal yang bisa membuat Kalla terpental adalah pembatasan masa jabatan.
Pada akhir tahun lalu, kubu Kalla dan Jokowi sepakat mengkaji aturan pemilihan presiden yang dinilai multitafsir. Kalla memang pernah menjabat wakil presiden pada 2004-2009. Ada yang menafsirkan larangan hanya berlaku bila periode jabatannya berurutan.
Bagi PDIP, menurut seorang politikus partai itu, calon wakil Jokowi dalam pemilihan presiden 2019 adalah pertaruhan dalam pemilihan periode selanjutnya. Karena itu, PDIP membentuk tim yang dipimpin Puan Maharani, putri Megawati Soekarnoputri yang menjabat Ketua Bidang Politik dan Keamanan PDIP, untuk menyeleksi nama-namanya.
Tadinya partai banteng ingin mengajukan nama dari kalangan internal. Alasannya, bila kelak terpilih sebagai wakil presiden, nama ini berpeluang besar menjadi presiden pengganti Jokowi. Karena itu, PDIP akan sulit menerima calon wakil presiden dari partai lain.
Namun skenario ini sulit diwujudkan. Menurut politikus itu, salah satu penyebabnya adalah kasus penistaan agama yang dituduhkan kepada Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, yang dianggap mengeraskan kubu Islam dan kubu nasionalis.
Dalam skenario kedua ini, PDIP mengusulkan Jokowi kembali menggandeng Kalla. Selain mendongkrak elektabilitas, Kalla dinilai tak akan maju sebagai presiden pada 2024. Pada tahun itu, Kalla akan berumur 82 tahun. PDIP akan mengajukan calon presiden yang didukung secara terbuka oleh Jokowi. Diharapkan pemilih Jokowi akan lari ke calon ini.
Skenario itu berantakan karena Kalla tak bisa maju lagi. Kalla juga sudah mengatakan tak akan berlaga untuk periode kedua. "Saya tiga kali ikut pilpres. Dua kali menang, satu kali kalah. Itu yang menyebabkan saya tak bisa lanjut lagi," ujar Kalla, Senin pekan lalu.
PDIP lalu mencari figur lain yang cocok dengan Jokowi pada periode kedua tapi tak akan maju sebagai calon presiden pada 2024. Menurut politikus itu, inilah yang membuat PDIP mungkin akan mengusung teknokrat atau tokoh tanpa partai sebagai pendamping Jokowi.
Puan Maharani mengatakan partainya sudah mengantongi nama-nama calon wakil Jokowi. Mereka, kata Puan, berasal dari dalam dan luar partai. "Lebih dari lima orang. Kadang ada sepuluh nama yang kami bicarakan, kadang hanya dua. Tergantung bagaimana kami melihat sosok itu dari hari ke hari," katanya.
Sejak Desember tahun lalu, Jokowi rutin bertemu dengan pemimpin partai koalisi. Pertemuan dilakukan terpisah. Salah satu topik pembicaraan membahas pemilihan presiden 2019. "Kalau saya ngomong tidak, ya, namanya bohong. Ya, berbicara mengenai pilpres," ujar Jokowi di Pondok Gede, Jakarta Timur, Rabu dua pekan lalu.
Sebelum menanyakan kriteria dan nama yang bisa mendampinginya, menurut seorang pemimpin partai yang diajak berdiskusi, Jokowi meminta pertimbangan untuk berduet dengan Prabowo Subianto, lawannya pada Pemilihan Umum 2014. Alasannya, Jokowi tak ingin terus-menerus dirongrong kegaduhan. Ia menganggap sebagian keributan disebabkan oleh terbelahnya publik sejak perseteruan pada pemilihan umum lalu.
Jokowi kemudian menanyakan kriteria calon wakilnya. Selain harus mengerek elektabilitas, tamunya menawarkan tiga kriteria: berasal dari kalangan santri, memiliki kompetensi, dan berumur lebih muda daripada Jokowi. Yang terakhir alasannya demi menggaet pemilih berusia muda, yang jumlahnya mencapai 60 persen. Jokowi sempat berucap, jika kriterianya demikian, calonnya berarti dari Nahdlatul Ulama, tapi sosok yang diterima semua organisasi kemasyarakatan Islam.
Opsi menggandeng Prabowo pupus sebulan kemudian karena tak disetujui sebagian besar pemimpin partai koalisi. Dalam pertemuan berbeda, Jokowi mengabarkan kepada para ketua partai bahwa Prabowo sudah pamit untuk maju sebagai lawannya.
Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon mengatakan Istana melobi Prabowo lewat berbagai pintu, termasuk dirinya. "Tapi Pak Prabowo tidak mau," ujarnya.
Nama lain yang dipertimbangkan Jokowi adalah Mahfud Md. Nama mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini sempat muncul dalam obrolan utusan Jokowi dengan petinggi Golkar. Utusan ini meminta pertimbangan Golkar soal Mahfud. Nilai plus Mahfud, antara lain, memiliki kecakapan hukum dan berasal dari kaum santri.
Mahfud mengatakan sering bertemu dengan Jokowi dan Menteri Sekretaris Negara Pratikno, tapi hanya untuk urusan pemerintahan. Mahfud mengaku belum pernah diajak berbicara mengenai pemilihan presiden 2019. Ihwal rencananya pada 2019, Mahfud mengatakan menyerahkannya kepada nasib. "Saya tak bilang siap maju atau bilang tak akan maju. Saya mengalir saja," ujarnya.
Meski terang-terangan turun ke daerah, Moeldoko mengelak disebut berkampanye untuk calon wakil presiden. "Tugas KSP adalah membangun komunikasi politik sehingga ada pemahaman yang seimbang," katanya.
Soal klaim Yorrys Raweyai, Moeldoko mengatakan tak pernah memerintahkan Yorrys membentuk relawan pendukung Jokowi. "Seolah-olah relawan itu sudah direstui KSP. Lha iki piye tho ceritane? Kami tidak begitu," ujarnya. "Kantor ini sebagai political wing menerima siapa saja. Mau miring, mau lurus, mau tegak, saya terima di sini. Yang miring mulai diluruskan sedikit. Nanti menjadi clear."
Tapi nama persis calon wakilnya baru akan diumumkan Jokowi menjelang pendaftaran calon presiden dan wakil presiden pada 4-10 Agustus nanti. Keputusan untuk memilih nama bergantung pada situasi menjelang pendaftaran.
Menurut beberapa orang yang pernah berdiskusi dengan Jokowi, bila menjelang pendaftaran tingkat keterpilihan Jokowi tinggi seperti Susilo Bambang Yudhoyono pada 2009, yang bertengger dengan 60 persen, ia akan leluasa memilih calon wakilnya. Bisa jadi ia memilih sosok yang elektabilitasnya rendah tapi memiliki kompetensi mumpuni. Misalnya seorang ekonom.
Kepada beberapa orang, Jokowi mengatakan ingin semua programnya terwujud pada akhir periode kedua pemerintahannya. Jokowi menyebutkan ingin dikenang sebagai presiden yang berhasil. Untuk itu, ia butuh wakil yang bisa mengurusi perekonomian.
Tapi, bila situasi politik pada periode kedua diperkirakan terjal, Jokowi akan memilih wakil dari santri atau militer. Wakil dari santri dianggap sanggup merangkul dukungan politik dari kelompok Islam. Sedangkan wakil dari militer dinilai lebih mampu mengatasi persoalan keamanan.
Saat ini, elektabilitas Jokowi ada di kisaran 40-50 persen. Angkanya baru bisa naik hingga di atas 50 persen bila responden disodori pertanyaan tertutup-responden tinggal memilih jawaban yang tertera dalam kuesioner. Ini berbeda dengan tingkat keterpilihan Yudhoyono, yang mencapai lebih dari 60 persen, pada 2009. Angka itu didapat dalam survei dengan pertanyaan terbuka-responden memilih nama yang terlintas di pikirannya.
Jika menjelang Agustus nanti tingkat keterpilihan Jokowi tak beranjak dari 50 persen, pilihan bakal jatuh pada tokoh yang sanggup menambah efek elektoral. Maka angka-angka dalam survei akan menentukan. Menurut seorang pemimpin partai, Jokowi memperhatikan betul hasil sigi lembaga survei. Jokowi kerap mengutip statistik survei dengan mendetail hingga angka-angka tingkat pendidikan pemilih.
Ditanyai soal siapa calon pendampingnya, Jokowi mengatakan telah membentuk tim untuk menjaringnya. "Ini masih dalam proses. Baru penggodokan, pematangan, baik oleh partai-partai maupun tim internal saya," kata Jokowi di Bekasi, Jawa Barat, Rabu pekan lalu.
Menurut Jokowi, penggodokan tersebut belum menghasilkan nama-nama. Tim baru sebatas merumuskan kriterianya. Diberondong lagi dengan pertanyaan yang sama oleh para juru warta, Jokowi lantas menjawab, "Sabar. Pemuda-pemuda kita ini kenapa enggak sabar, sih?"
Anton Septian, Wayan Agus Purnomo, Raymundus Rikang, Ahmad Faiz, Vindry Florentin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo