Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DELAPAN bulan setelah investigasi Tempo tentang "Doktor Karbitan UNJ" yang terbit pada Juli tahun lalu, Universitas Negeri Jakarta baru memutuskan liputan tersebut benar. Lima disertasi terbukti hasil plagiat yang diputuskan melalui rapat Komite Etik pada Selasa dua pekan lalu.
Lima disertasi itu milik Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam, Kepala Badan Kepegawaian Nur Endang Abbas, Kepala Dinas Perhubungan Hado Hasina, Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Muhammad Nasir Andi Baso, serta Asisten Sekretaris Daerah Sarifuddin Safaa. Mereka adalah mahasiswa program doktor Manajemen Sumber Daya Manusia Universitas Negeri Jakarta yang lulus dua tahun lalu.
Tak hanya lima orang itu, liputan Tempo juga membongkar disertasi abal-abal ratusan mahasiswa UNJ lainnya. Mereka umumnya pejabat pemerintah, pusat, dan daerah. "Sekarang masih proses," kata Ketua Komite Etik Yetti Supriati pada Rabu pekan lalu.
Proses yang disebut Yetti itu menyangkut sanksi yang akan ditimpakan kepada Nur Alam dan anak buahnya. Seorang anggota Komite mengatakan semua anggota sepakat disertasi mereka plagiat, tapi tak kompak ketika merumuskan sanksi.
Padahal Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi jelas menyebutkan, jika sebuah disertasi terbukti plagiat, sanksinya gelar doktor dicabut. Bahkan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional lebih jelas lagi soal hukuman dua tahun bui dan denda Rp 200 juta.
Toh, sanksi itu tak kunjung turun. Rapat dua pekan lalu itu juga sebetulnya kelanjutan dari rapat sebelumnya yang membahas hasil penelitian Tim Penelaah yang dibentuk UNJ pada November tahun lalu. Begitu liputan Tempo turun, Rektor Djaali dipecat dan Menteri Pendidikan M. Nasir menunjuk Intan Ahmad, yang membentuk tim penelaah berisi lima guru besar lintas perguruan tinggi menelusuri kebenaran berita tersebut.
Hasilnya, itu tadi, plagiat tersebut nyata adanya. Kesimpulan yang sama muncul dari telaah Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Tim yang bekerja sebelum tim UNJ itu menemukan disertasi Nur Alam dan anak buahnya menyontek tulisan lain. Kementerian tak mau membuat keputusan sanksi hingga menyerahkannya kepada UNJ.
Kepala Bagian Advokasi Hukum Kementerian Riset Polaris Siregar mengatakan Kementerian melimpahkannya karena pemberian sanksi terhadap mahasiswa menjadi kewenangan kampus. "Kampus yang punya otoritas," ucap Polaris pada Jumat pekan lalu. Menurut dia, kewenangan Kementerian sudah dilaksanakan dengan mencopot Djaali dan Direktur Pascasarjana UNJ.
Sebetulnya Kementerian dan Universitas Negeri Jakarta tidak perlu berbulan-bulan untuk menemukan plagiarisme sebuah karya ilmiah. Sekarang zaman digital, banyak peranti lunak yang memudahkan para pembimbing dan penguji penelitian mengecek karya ilmiah mahasiswa mereka.
Dalam dunia akademik, misalnya, ada peranti lunak yang cukup presisi mendeteksi plagiarisme, yakni Turn-In-It. Dosen pembimbing cukup memasukkan file dokumen sebuah karya ilmiah ke peranti itu, dalam beberapa menit mesin itu sudah bisa mendeteksi kemiripan kalimat dan bangunan teori dengan mencocokkan tulisan tersebut dengan miliaran karya ilmiah yang ada di Internet.
Tahun lalu, Djaali mengakui kampusnya menggunakan Turn-It-In. Tapi, kata dia, hasilnya tak ada plagiarisme. Padahal temuan Kementerian dan Komite Etik UNJ menemukan disertasi Nur Alam itu menjiplak banyak tulisan di Internet. "Hasil tim counterpart yang kami bentuk, kesimpulannya tidak ada plagiat," ujarnya. Ketika dimintai konfirmasi ulang pekan lalu, ia tidak bersedia menjawab pertanyaan Tempo.
Kini persoalan mudah itu jadi rumit. Sebagian besar anggota Komite Etik malah berpendapat agar Nur Alam dan anak buahnya diberi sanksi ringan saja, berupa permintaan revisi. Pendapat ini berdasarkan opini Johannes Gunawan, Staf Ahli Menteri Riset, yang menjadi narasumber rapat Komite. Guru besar Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, ini malah meminta UNJ berhati-hati memberi sanksi karena rawan digugat.
Nur Alam, yang kini menghuni penjara Komisi Pemberantasan Korupsi karena tuduhan menerima gratifikasi selama menjadi gubernur, serta keempat anak buahnya itu mengancam akan mengadukan UNJ ke polisi jika mencabut gelar doktor mereka. Ancaman itu disampaikan mereka ketika diperiksa untuk mengkonfirmasi plagiarisme tersebut.
Hado Hasina mengatakan telah menyampaikan pembelaan dan somasi ke Universitas Negeri Jakarta soal disertasi mereka. Ia menyangkal tuduhan plagiarisme. "Kalau gelar saya dicabut, akan saya persoalkan sampai titik darah penghabisan," kata Hado.
Meski membantah menjiplak, Hado mengakui ada beberapa isi di dalam disertasinya yang mirip dengan tulisan di sebuah website. "Memang ada satu tulisan mahasiswa Universitas Hasanuddin yang saya kutip tentang partisipasi masyarakat dalam pembangunan jalan," ujarnya.
Nur Endang Abbas, Muhammad Nasir Andi Baso, dan Sarifuddin Safaa yang ditemui menolak menjawab konfirmasi Tempo. Sedangkan pengacara Nur Alam, Ahmad Rifai, mengatakan ia tidak mengetahui persoalan disertasi kliennya karena hanya mengurus perkara korupsi Nur Alam.
Johannes Gunawan, kata anggota komite etik ini, beralasan plagiarisme karya ilmiah juga kesalahan kampus yang tak jeli memeriksanya, sehingga jika UNJ mencabut gelar doktor yang sudah disahkan bisa dengan mudah digugat. Para penggugat akan memakai dalil disertasi mereka sudah lolos uji berlapis-lapis oleh para guru besar.
Dalam rapat itu, Johannes juga menekankan nasib ratusan doktor lainnya yang bisa saja disertasinya serupa dengan Nur Alam. Dia mengakui memberi pendapat tersebut dalam rapat Komite. Johannes diundang karena salah satu guru besar yang merumuskan sanksi dalam Peraturan Menteri Nomor 17 Tahun 2010 itu. "Tapi saya tidak bisa menjelaskannya karena itu kewenangan internal kampus," katanya.
Kegamangan UNJ terlihat dari cara Intan Ahmad dan Yetti Supriati menjawab pertanyaan. Mereka berkelit menjelaskan secara terus terang. "Kurang baik bila saya membicarakan hal yang secara prinsip belum bisa kami sampaikan ke publik," ujar Intan, yang juga menjabat Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset.
Alih-alih segera membuat sanksi, Intan dan Yetti kembali mengundang Komite Etik untuk rapat membahas hal yang sama dalam dua kali rapat sebelumnya pada pekan ini. Komite meminta bantuan Johannes Gunawan menyusun draf sanksi yang akan dibahas dalam pertemuan tersebut.
Sebelum sanksi dijatuhkan, Polaris Siregar mengingatkan aturan pemberian sanksi tetap mengacu pada Peraturan Menteri Nomor 17. Maka puluhan kali Komite Etik UNJ rapat pun, jika mengacu pada aturan tersebut, sanksinya tetap pencabutan gelar doktor Nur Alam dan kawan-kawan.
Rusman Paraqbueq, Rosniawanty Fikri (kendari)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo