Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kontributor Tempo, Alto Labetubun, memasuki Kota Mosul. Kota ini kini bebas dari penguasaan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Daerah ini dulu merupakan tempat tinggal para petinggi ISIS. Suasana Mosul sekarang sangat kontras dengan Mosul pada 2016. Kotanya jauh lebih bersih, sangat banyak bisnis yang tumbuh kembali, dan banyak sekali orang yang terlihat di luar.
Ia juga mengunjungi penjara wanita dan anak-anak di Erbil, ibu kota pemerintah regional Kurdistan (Kurdistan Regional of Iraq/KRI). Di sini, puluhan perempuan, yang suaminya diduga bergabung dengan ISIS, ditahan. Mereka berada dalam sel bersama anak-anaknya. Ikuti laporannya.
"SEMUA rute ke Mosul terbuka dan tidak ada penutupan checkpoint". Begitulah informasi terbaru dari rekan-rekan di salah satu penyedia keamanan di Irak. Ya, melakukan pengecekan informasi satu-dua jam sebelum memulai perjalanan ke Mosul sudah merupakan prosedur tetap untuk memastikan bahwa perjalanan ke sana bisa berjalan dengan baik karena situasi bisa berubah hanya dalam hitungan jam.
Hari itu tanggal 1 Februari 2018. Pukul tujuh pagi, kami-saya, seorang teman sukarelawan, dan sopir-melakukan persiapan terakhir sebelum berangkat ke Mosul. Perjalanan akan ditempuh dari Erbil, ibu kota Kurdistan Region of Iraq (KRI), 81 kilometer sebelah timur Mosul. Jalur yang ditempuh adalah rute pendek melalui Mosul Timur melewati Khabat di sebelah barat Erbil. Sekitar 20 kilometer perjalanan, sampailah di checkpoint pertama yang dikontrol oleh Asayish atau polisi khusus Kurdistan. Seperti biasa, mereka mengecek surat izin dari pemerintah Kurdistan yang memperbolehkan orang yang tinggal di daerah Kurdistan keluar dari sana dan masuk ke wilayah yang dikuasai pemerintah federal Irak.
Sejak 2003, setelah tentara koalisi pimpinan Amerika Serikat masuk untuk menjatuhkan rezim Saddam Hussein, orang-orang Kurdi di sebelah utara Irak secara de facto sudah mempraktikkan diri mereka sebagai sebuah negara. Mereka membuat visa sendiri, punya aparatur keamanan dan struktur pemerintahan sendiri, termasuk memiliki aparat keamanan yang secara komando terpisah dari pemerintahan federal Irak.
Setelah menempuh perjalanan sejauh 10 kilometer, sampailah kami di checkpoint terakhir yang dikontrol tentara Kurdi (Peshmerga). Dulu, checkpoint ini lebih dekat ke arah Mosul. Tapi, setelah referendum sepihak dilakukan pemerintah Kurdistan pada 25 September tahun lalu, terjadi kontak tembak antara tentara Kurdi dan tentara Irak yang membuat tentara Kurdi akhirnya mundur hampir 10 kilometer menjauhi Mosul. Pengecekan terakhir dilakukan atas surat izin yang kami miliki.
Perjalanan dilanjutkan. Sejauh 18 kilometer kemudian, kami tiba di checkpoint ke-3 di Kota Bartallah, yang juga merupakan checkpoint pertama yang dikontrol pemerintah federal Irak. Di sini, surat izin dari Kurdistan tidak berlaku dan tentara Irak (Iraqi Security Forces/ISF) mengecek surat izin perjalanan yang dikeluarkan pemerintah Irak, termasuk visa yang dikeluarkan pemerintah federal Irak. Dua belas kilometer kemudian, kami tiba di Gogjali, kota kecil di luar Mosul.
SAYA pertama kali masuk ke Mosul Timur pada November 2016, tepatnya sebulan setelah operasi militer untuk menumpas kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) digelar. Saat itu, Gogjali merupakan garis batas pertempuran tentara Irak, yang dibantu tentara koalisi, melawan ISIS. Jalan dua arah dari Khabat sampai ke Gogjali dipenuhi kendaraan militer lapis baja dan kendaraan angkut pasukan yang pergi berperang. Di kiri-kanan masih sangat terlihat lubang-lubang di jalan bekas tembakan roket dan bom dari pesawat tentara koalisi. Sampah masih berserakan di mana-mana sampai di Gogjali. Suasana di Gogjali sendiri sedikit ramai dipenuhi pengungsi yang berusaha keluar dari Mosul Timur ke arah Kurdistan.
Tapi kali ini Gogjali sudah seperti daerah bukan bekas perang. Suasananya sangat padat karena banyak toko yang menjual pelbagai macam barang dagangan, dari kebutuhan makanan sehari-hari, pakaian, alat elektronik, hingga perlengkapan pemadam kebakaran. "Gogjali jauh lebih ramai dibanding Erbil," kata Rivan, sopir yang mengantarkan saya.
Suasana ini bukan hanya diramaikan oleh kaum pria. Sangat banyak kaum perempuan yang turut meramaikan Gogjali. Tak terlihat satu pun yang memakai burka atau penutup wajah. Mereka terlihat sangat menikmati kemerdekaan pasca-ISIS. Sebab, saat ISIS menguasai Mosul, kaum perempuan hanya bisa keluar apabila didampingi seorang lelaki yang merupakan keluarga dekat dan harus memakai abaya yang dilengkapi burka yang menutup seluruh wajahnya, termasuk matanya.
Sesampai di tengah Kota Mosul, kami menemui sekelompok anak muda yang sedang melakukan program untuk mempersatukan warga Mosul dari berbagai identitas etnis dan agama. Ada dua perempuan dan empat laki-laki yang kami temui di kantor mereka yang hanya berjarak sekitar dua kilometer dari salah satu rumah megah yang pernah menjadi milik Saddam Hussein di kawasan Hayy al-Shorta atau kompleks polisi. Ini adalah salah satu wilayah elite di Kota Mosul. Rumah-rumah di sini sangat megah dan hampir semua memiliki dua-tiga lantai. Saat ISIS menguasai Mosul, daerah ini merupakan tempat tinggal para petinggi ISIS. Hanya ada beberapa rumah yang rusak saat perang melawan ISIS berlangsung. Bahkan, secara umum, kerusakan bangunan di Mosul Timur ini hanya 30-40 persen.
Di depan kantor anak-anak muda itu, ada toko mobil dengan gambar mobil-mobil buatan Eropa. "Di Mosul saat ini, mobil Eropa sangat banyak," kata salah satu dari mereka. Ekonomi Mosul pun sangat berkembang pesat setelah direbut kembali dari tangan ISIS. "Semuanya ada di sini," ujar anak muda yang lain. Memang benar, Mosul Timur pada akhir 2016 sangat kontras dengan Mosul Timur sekarang. Kotanya jauh lebih bersih, sangat banyak bisnis yang tumbuh kembali, dan banyak sekali orang yang terlihat di luar.
Namun, di balik pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat di Mosul, masih banyak masyarakat kota ini yang kecewa dan menuntut terhadap pemerintah Irak, baik di tingkat lokal maupun nasional. "Masyarakat masih membutuhkan akses kesehatan dan pelayanan publik yang baik," kata anak-anak muda yang sudah lima kali melakukan diskusi dengan masyarakat Kota Mosul itu.
PERTUMBUHAN ekonomi yang pesat juga menciptakan jurang antara orang yang berduit dan masyarakat bawah yang benar-benar menjadi korban dari konflik saat ISIS berkuasa. Orang-orang Mosul yang punya uang, saat ISIS menguasai Mosul, bisa tetap berbisnis, bahkan bisa keluar-masuk daerah kekuasaan ISIS karena mereka bisa membayar akses yang diberikan ISIS. Masyarakat bawah dan lemahlah yang justru menjadi korban karena tidak bisa membayar kemerdekaan mereka. "Keluarga-keluarga kalangan bawah, terutama perempuan-perempuan janda, menuntut kepada pemerintah untuk diberi pekerjaan dan sumber pendapatan," ucap seorang anggota staf perempuan dari kelompok anak-anak muda tersebut.
Di sisi lain, Mosul masih menyimpan dendam di antara penduduknya. Orang-orang yang dulu terpaksa mengungsi dari rumahnya merasa tetangganya yang tidak mengungsi mengkhianati mereka. Sudah beberapa kasus terjadi, ketika masyarakat Mosul melaporkan orang yang mereka yakini terlibat dengan ISIS ke aparat keamanan untuk dihukum, tapi satu-dua pekan kemudian orang tersebut bebas berkeliaran di lingkungan mereka. "Ada orang seperti begini yang kemudian dibunuh oleh orang Mosul, karena mereka tidak percaya pada sistem hukum," ujar salah seorang yang berdiskusi dengan kami.
Setelah hampir tiga jam berada di Kota Mosul, kami kembali ke Erbil dengan melewati makam Nabi Yunus. Makam ini dibom ISIS saat mereka menguasai Mosul pada 2014. Banyak sekali orang yang ada di lokasi makam yang berdekatan dengan pasar itu. Terlihat beberapa orang berfoto menggunakan telepon seluler di lokasi itu. Ada juga yang hanya duduk-duduk sambil bercerita.
Di samping makam Nabi Yunus, terdapat pasar yang luar biasa padat dan lalu lintasnya macet. Jalannya hanya sepanjang sekitar tiga kilometer, tapi kami terjebak macet di sana hampir setengah jam. Sudut kiri dan kanan jalan dipenuhi toko dan pedagang kaki lima yang menjajakan barangnya di gerobak-gerobak. Hal ini juga sangat kontras dengan kondisi saat saya pertama kali masuk ke Mosul Timur. Tidak terlihat sama sekali ketakutan akan serangan teror.
Kondisi Mosul seakan-akan mencerminkan kota dengan dua dunia yang berbeda. Di satu sisi ada perkembangan ekonomi yang luar biasa yang menunjukkan kemampuan orang Mosul untuk bertahan hidup dan terus maju. Namun, di sisi lain, dendam, amarah, dan kekecewaan mereka terhadap pemerintah yang tidak mampu memberikan pelayanan publik yang baik kepada mereka dapat menjadi faktor pendorong terjadinya konflik baru di sana, pasca-ISIS. Maka kemungkinan Mosul kembali jatuh ke dalam lingkaran konflik yang berdarah-darah bisa terjadi lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo