Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mimpi San Francisco ala Banten

Di sejumlah daerah, proyek MP3EI terganjal masalah infrastruktur dan sengketa lahan. Banyak proyek tak akan selesai sesuai dengan target.

4 November 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak terlihat kegiatan di kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Ambon, sekitar 40 kilometer dari Kota Ambon. Hanya ada tiga petugas keamanan sedang duduk santai ketika Tempo datang ke tempat itu pertengahan Juli lalu. Sekitar 100 meter dari pos keamanan, ada sebuah rangka baja yang sebagian dicat biru.

"Seng ada kegiatan," ujar seorang petugas keamanan PT Hilmanindo Signintama. "Bos-bos berangkat semua." Pembangkit berkapasitas 2 x 15 megawatt itu berhenti total. Kontraktor kehabisan dana dan gaji karyawan sudah beberapa bulan tak dibayar. "Akan kami ganti kontraktornya," kata Direktur Konstruksi dan Energi Terbarukan PLN Nasri Sebayang.

Nasib Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Tulehu, sekitar 20 kilometer dari Kota Ambon, lebih tragis. Tak ada seorang pun karyawan terlihat di sana. Di lokasi hanya terlihat pipa besar menancap ke dalam bumi bertulisan "sumur TLU 01 PT PLN Geothermal". Tumpukan karung putih dan biru serta belasan pipa berdiameter 30 sentimeter yang telah berkarat berserakan. "Sudah setahun lebih mereka tinggalkan pekerjaan," ujar Mama Bertha, warga Kampung Banda, Desa Suli, sekitar satu kilometer dari pembangkit itu.

Dua pembangkit itu seharusnya menjadi bagian proyek Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) Provinsi Maluku. Proyek yang telah berjalan sejak 2011 itu menganggarkan Rp 1 triliun untuk membangun PLTU Ambon dan PLTP Tulehu. Tujuannya tentu saja untuk menambah ketersediaan listrik di sana. Saat ini PLN masih membakar solar untuk memenuhi kebutuhan di Ambon. Tapi kini kedua proyek itu mangkrak.

Pembangunan megaproyek Palapa Ring Jilid II, yang masuk MP3EI, pun belum terlihat wujudnya. Jalur serat optik itu direncanakan akan melintas dari Maluku ke Papua. Targetnya, proyek senilai Rp 1,7 triliun ini selesai pada 2014. Namun, hingga pertengahan 2013, tak satu pun pekerjaan proyek yang berlokasi di Kota Ternate itu terlihat.

Lain lagi kendala proyek MP3EI di Kalimantan. Ada 223 proyek yang digeber di sekujur koridor Kalimantan. Realisasi anggarannya pada Juni lalu mencapai Rp 741 triliun. Pembangunan yang akan dikerjakan mulai bandar udara, delapan tangki timbun berkapasitas 3.000 metrik ton minyak sawit mentah (CPO), sampai Pelabuhan Internasional Maloy di Kalimantan Timur.

Meski diklaim telah sesuai dengan rencana, proyek itu tak bisa dikatakan mulus. Keluhan terbesar dari investor adalah soal kurangnya pa­sokan listrik, terutama bagi industri pengolahan. Ada pula masalah klasik, yaitu tumpang-tindih lahan. Beberapa waktu lalu, warga memblo­kade pembangunan Pelabuhan Maloy karena masalah sengketa lahan. Direktur Utama Badan Pengelola Kawasan Industri dan Pelabuhan Internasional Maloy, Rudy T. Koesnandar, tak membantah adanya hambatan itu. "Tapi kami optimistis. Ini kan proyek MP3EI, harus jadi prioritas," ujarnya.

Proyek MP3EI Koridor Sulawesi pun sudah pasti tak mencapai target kelar pada 2015. Koridor ini akan mengembangkan sektor pertanian, perkebunan, perikanan, kelautan, pariwisata, pertambangan, industri pengolahan, dan agroindustri. Seluruhnya akan mendukung pusat pertumbuhan ekonomi di Makassar, Manado, Kendari, Mamuju, Palu, dan Gorontalo. "Hambatan utamanya infrastruktur," kata Ketua MP3EI Koridor Sulawesi Sharif C. Sutardjo. Kondisi kelistrikan dan jalan raya di sana masih jauh dari layak.

Sengketa lahan juga mengganjal proyek MP3EI Kawasan Mandalika di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, yang digadang-gadang bakal menjadi tujuan wisata terbesar setelah Bali. Kawasan itu terletak 16 kilometer ke arah selatan dari Bandara Lombok dan 40 kilometer dari Kota Mataram. Kawasan ini memiliki pantai sepanjang 7,5 kilometer yang persis menghadap Samudra Indonesia.

Sejumlah korporasi besar, seperti MNC Group milik Hary Tanoesoe­dibjo dan Rajawali Group milik Peter Sondakh, sudah menyatakan kesediaan bergabung dalam proyek Mandalika. MNC Group bahkan telah menandatangani perjanjian untuk mengembangkan 300 hektare lahan menjadi fasilitas golf, termasuk hotel dan vila, melalui anak usahanya, MNC Land.

Sederet investor lain juga ingin membangun hotel dan vila di Pantai Kuta, Pantai Serenting, dan Pantai Gerupuk, Lombok. Namun mereka terpaksa menunggu penyelesaian sengketa 135 hektare lahan yang diklaim milik warga setempat. Toh, Wakil Ketua Tim Kerja Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI) Koridor Ekonomi Bali-Nusa Tenggara, Gita Wirjawan, tetap yakin proyek akan berjalan lancar. "Insya Allah bisa diselesaikan," ujarnya.

Di Sumatera Utara terdapat proyek pembangunan infrastruktur Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangke yang juga masuk MP3EI. Letak geografisnya yang dekat dengan Selat Malaka membuat Sei Mangke ditargetkan menjadi simpul ekonomi dunia. Harapannya, Indonesia menjadi tidak bergantung lagi pada impor bahan baku.

PT Perkebunan Nusantara III, sebagai Badan Usaha Pembangun dan Pengelola KEK Sei Mangke, optimistis pembangunan itu akan berjalan tepat waktu dan selesai pada Februari 2015. Namun Direktur Perencanaan dan Pengembangan PTPN III Nurhidayat mengatakan masih ada satu kendala pada kawasan ini, yaitu pasokan gas.

Ketersediaan gas, menurut Nurhidayat, menjadi perhatian serius PTPN III karena provinsi itu sedang mengalami defisit pasokan gas untuk kebutuhan industri. Karena itu, perusahaannya menandatangani nota kesepahaman antara PTPN III dan PT Pertamina Gas, supaya sebagian gas dari lapangan Arun untuk Sumatera Utara dialirkan ke Sei Mangke. "Agar investor tak ragu masuk KEK Sei Mangke," ujarnya.

Masalah infrastruktur tak terlalu terasa di Jawa. Namun banyak pihak merasa MP3EI di Jawa tak tepat sasaran. Jalur lintas selatan Pulau Jawa yang dicanangkan sejak 2003 tak masuk proyek itu. Padahal jalur ini bisa mendorong perkembangan pariwisata di Lumajang, Jawa Timur, yang memiliki kawasan pantai dan hutan konservasi.

Lambannya pemerintah pusat merespons keinginan masyarakat juga dirasakan industri tekstil di Karanganyar, Jawa Tengah. Industri ini sedang menggeliat karena lonjakan permintaan dalam negeri serta dari Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang. Namun pelaku industri tak mendapat insentif apa-apa. "Kami tidak muluk-muluk. Kalau memang pemerintah mau mempercepat ekonomi Indonesia, perbaiki jalan dan pelabuhan," kata pemilik PT Sekar Lima Pratama, Liliek Setiawan.

Langkah pemerintah mengembangkan kawasan wisata Tanjung Lesung, Banten, pun merayap seperti siput. Infrastruktur jalan ke kawasan ini masih jauh dari layak. Setelah perjalanan sekitar empat setengah jam dari Jakarta, wisatawan yang ingin menikmati keindahan pantai dan laut di sana harus menempuh lima kilometer lagi untuk mencapainya. Lokasinya terpencil, jalanan tidak rata, dan banyak fasilitas tak terawat.

Wisata lautnya pun masih kalah jauh dibanding laut di Bunaken, Sulawesi Utara. Padahal Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa telah mencanangkan kawasan ini menjadi KEK Pariwisata tahun lalu. "Mimpinya, kami menghubungkan simpul-simpul pariwisata, mirip Los Angeles dan San Francisco di Amerika," ujar Hatta.

Sorta Tobing dan Tim Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus