Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUTH Zinstok kecewa berat. Wisatawan asal Jerman berusia 61 tahun ini tak menemukan apa yang ditawarkan agen perjalanan saat berwisata ke Tanjung Lesung, Banten. Promosi dari agen perjalanan itu di antaranya menyebutkan keindahan alam Tanjung Lesung tak kalah dibanding Bali atau Lombok, yang sudah populer di luar negeri. "Tapi ternyata berbeda. Di sini lebih mahal. Lautnya memang indah, tapi tak seperti yang kami harapkan," katanya kepada Tempo beberapa pekan lalu. Ruth datang dengan suaminya, Ottho Heldring.
Air laut di Tanjung Lesung memang berwarna biru bening. Ombak kecil ditambah pasir putih bersih di sana sangat ideal bagi liburan keluarga. Namun ikan kecil dan terumbu karang beragam warna sulit ditemukan. Rata-rata terumbu karang yang ada berwarna kelam karena sudah rusak dan mati.
Perjalanan dari Jakarta ke obyek wisata yang masuk Kawasan Ekonomi Khusus itu pun terasa sangat tak nyaman. Kondisi jalanan bergelombang, bahkan di sana-sini berlubang. Belum lagi polusi debu yang tinggi plus kemacetan—karena melewati kawasan pabrik petrokimia—yang seakan-akan jadi siksaan tambahan bagi pasangan wisatawan tersebut. Minimnya jumlah restoran dan toko cendera mata di area resor tersebut juga dikeluhkan wisatawan.
Infrastruktur jalan menuju Tanjung Lesung yang jauh dari memadai itu diakui Direktur Pengembangan Kerja Sama Pemerintah dan Swasta Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bastary Pandji. Ia berharap dana jumbo Rp 1 triliun dari pemerintah pusat untuk pembangunan jalan menuju salah satu lokasi proyek yang diandalkan dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) itu bisa segera menjadi obat mujarab investasi di sana.
Keluhan soal minimnya infrastruktur, dari kondisi jalan yang buruk, tersendatnya pasokan listrik, hingga sengketa lahan dan kurangnya sarana pendukung kawaÂsan, juga muncul dari berbagai lokasi proyek MP3EI lainnya. Padahal sejumlah lokasi sudah dicanangkan pemerintah sebagai kawasan andalan, bahkan sebelum konsep MP3EI dirilis dua tahun lalu. Dua pekan lalu, Presiden Susilo Bambang YuÂdhoyono kembali meletakkan batu pertama untuk sejumlah proyek MP3EI di Kalimantan Selatan.
HARAPAN tinggi yang digantungkan pemerintah terhadap pengembangan ekonomi berbasis wilayah sebetulnya bukan tanpa alasan. Sejumlah literatur juga menyebutkan konsep pengembangan ekonomi itu diharapkan menciptakan efek penggandaan ekonomi ke sekitar wilayah.
Apalagi belakangan ini kebutuhan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih merata di tiap wilayah terus menguat. "Di tengah kondisi ekonomi global yang tak menentu, perekonomian domestik memang harus digenjot. Terlebih bila pemerintah mematok target pertumbuhan ekonomi sekitar 6,3 persen," ujar Kepala Ekonom PT Bank Danamon Indonesia Tbk Anton Gunawan.
Di sisi lain, menurut Anton, kondisi logistik yang minim telah memperburuk daya saing dan konektivitas antarwilayah. Lihat saja, kinerja logistik Indonesia terus turun dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, dari posisi 43 pada 2007 menjadi 75 pada 2010. "Meskipun naik lagi ke posisi 59 tahun lalu," katanya. "Ini semua karena kekurangan infrastruktur."
Rendahnya kompetensi industri pengapalan dan logistik nasional juga membuat defisit neraca jasa sangat besar dan memicu pelemahan kurs rupiah. "Konektivitas yang sangat minim di tiap wilayah juga menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan risiko inflasi," ujar Anton. Padahal kenaikan harga menjadi salah satu indikator yang terus dijaga pemerintah selama ini.
Setelah menerima sejumlah pertimbangan tersebut, pemerintah pun merilis MP3EI pada pertengahan 2011. Agar lebih terfokus, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjelaskan, ada 8 program utama dan 22 kegiatan ekonomi utama yang akan dijalankan.
Selain itu, kata Presiden Yudhoyono, enam koridor ekonomi yang akan dijalankan sebagai pusat pertumbuhan diharapkan dapat mendorong perkembangan ekonomi nasional. "Dengan begitu, pelaku ekonomi dapat memilih bidang usaha secara jelas sesuai dengan minat dan keunggulan potensi wilayahnya," ujarnya.
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa menambahkan, ada perbedaan signifikan antara MP3EI dan konsep pengembangan wilayah terdahulu, seperti Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu di 13 kawasan, Free Trade Zone di Batam, Bintan, dan Karimun, serta Kawasan Ekonomi Khusus di sejumlah daerah. "Salah satu perbedaannya, pengembangan wilayah MP3EI bersifat tematik," ujar Hatta, yang juga Ketua Harian Pelaksana MP3EI.
Enam koridor ekonomi dalam MP3EI terdiri atas Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, dan Papua-Maluku. Masing-masing memiliki fokus pengembangan kawasan dan industri yang berbeda. Meski begitu, konsep tiap wilayah tetap terintegrasi dengan penguatan sistem konektivitas. "Indikator pengembangannya juga lebih jelas karena ada target produk domestik regional bruto harus naik tiga kali lipat dari sebelumnya," kata Hatta.
Hingga akhir Juli lalu, tercatat total 1.397 proyek di MP3EI dengan nilai investasi Rp 4.666 triliun. Sebanyak 1.004 proyek di antaranya berupa proyek infrastruktur dengan nilai Rp 2.489 triliun. Sisanya sebanyak 393 proyek dengan nilai investasi Rp 2.177 triliun.
Khusus untuk proyek infrastruktur utama, mayoritas didanai badan usaha milik negara, senilai Rp 512,9 triliun, lalu diikuti dana campuran (Rp 322 triliun), Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Rp 61,65 triliun), dan swasta (Rp 17,6 triliun). Komposisi serupa terjadi untuk pendanaan infrastruktur pendukung kawasan. Investasi terbesar berasal dari perusahaan pelat merah, senilai Rp 1.300 triliun.
Dari sejumlah data itu, Hatta optimistis MP3EI berjalan sesuai dengan harapan. Dia memprediksi, mulai tahun ini, proyek infrastruktur di Kawasan Timur Indonesia bakal lebih banyak dan arah investasi mulai bergeser, tak lagi di KawaÂsan Barat Indonesia. "Kita harapkan Jawa nanti hanya menyumbang 40 persen dari GDP (produk domestik bruto) atau turun dari posisi sekarang, 53 persen."
Tak hanya bergantung pada penanam modal dari dalam negeri, pemerintah berupaya menggandeng sejumlah investor asing. Hal tersebut terlihat saat Presiden Yudhoyono berpromosi di depan Presiden Cina Xi Jinping di sela Indonesia-China Business Luncheon, di Hotel Shangri-La, Jakarta, awal bulan ini.
Adanya berbagai proyek infrastruktur, dari pembangunan jalan dan jembatan, pelabuhan laut dan udara, hingga perangkat telekomunikasi tercanggih, menurut Presiden Yudhoyono, membuat kebutuhan investasi jadi sangat besar. Potensi pengembangan energi pun masih terbuka luas.
Yudhoyono menggambarkan, dalam kurun 2013-2030, akan terjadi lonjakan permintaan sumber daya energi dari sekitar US$ 270 miliar tahun ini. "Untuk itu, terbuka peluang pengembangan kerja sama di bidang energi, baik energi panas bumi, yang masih sangat potensial untuk digali, maupun energi terbarukan, dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia."
Toh, MP3EI yang digulirkan pemerintah tak kalis dari kritik. Ekonom dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, misalnya, menyayangkan keraguan pemerintah menggenjot penerimaan negara agar bisa leluasa mengalokasikan dana pembangunan infrastruktur. Padahal pemerintah bisa meningkatkan rasio pajak ataupun menambah porsi utang. "Jangan alergi dengan utang. Utang itu pun tidak harus dari pihak luar negeri."
Minimnya dana pemerintah ini akhirnya membuat kewajiban negara menyediakan infrastruktur dialihkan ke swasta. "Dengan MP3EI yang ternyata berisi daftar proyek besar, nantinya nasib bangsa ini akan ditentukan oleh swasta. Proyek yang ongkosnya semula bisa lebih murah menjadi mahal karena hitung-hitungannya berasal dari swasta murni," kata Faisal.
Ia juga menyentil proyek-proyek unggulan dari MP3EI yang tidak mencerminkan jati diri Indonesia, yang merupakan negara maritim. Hal itu antara lain terlihat dari bagaimana pemerintah begitu menggebu ingin membangun jalan tol lintas Sumatera dan Jembatan Selat Sunda. "Mendorong konektivitas di negara maritim, ya, harus dengan membangun infrastruktur pelabuhÂan, bukan dengan membangun jembatan," Faisal menambahkan.
Menanggapi hal tersebut, Hatta mengklaim, sebetulnya MP3EI sangat mengakomodasi kebutuhan Indonesia sebagai negara maritim. "Konektivitas justru meletakkan Indonesia sebagai benua maritim dengan memperkuat pelabuhan-pelabuhan dari gerbang barat hingga timur. Kemudian diletakkan beberapa feeder dan hub," ujarnya.
Pengamat kebijakan ekonomi, Andrinof Chaniago, juga menyentil proyek MP3EI yang dianggapnya lebih bertujuan menguras sumber daya alam Indonesia. "Rencana pembangunan rel kereta di Kalimantan itu hanya akan memuluskan ekspor batu bara ke luar negeri," katanya.
Adapun ekonom dari Institute for Development and Finance, Enny Sri Hartati, menyoroti masih rendahnya nilai modal yang bakal dibenamkan di kawasan Papua dalam konteks MP3EI ini. Hal tersebut lebih disebabkan oleh kualitas infrastruktur dasar yang buruk, seperti minimnya jaringan listrik, jalan, dan air. "Bagaimana investor mau datang kalau jaringan listrik, jalan, dan air saja belum ada? "
Hingga Juli 2013, satu-satunya proyek besar yang tercatat di Papua adalah pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Urumuka dengan kapasitas 300 megawatt senilai Rp 3,5 triliun. Bandingkan dengan nilai investasi tertinggi di koridor ekonomi Sumatera, khususnya untuk proyek jalan tol lintas Sumatera, yang mencapai Rp 298,5 triliun.
Enny mengusulkan perbaikan skema pengelolaan anggaran otonomi khusus Papua agar alokasi untuk infrastruktur bisa lebih besar. Jika kondisi seperti sekarang dibiarkan, wilayah Indonesia timur akan tetap tertinggal dibandingkan dengan wilayah lain.
Pentingnya pembangunan infrastruktur terutama di Kawasan Timur Indonesia juga disuarakan Ketua Persatuan Insinyur Indonesia Bobby Gafur. "Pemerintah harus mengambil langkah cepat karena momentum percepatan pembangunan hampir habis akibat krisis ekonomi," ujarnya beberapa waktu lalu di Makassar.
Ketertinggalan infrastruktur ini, menurut Bobby, membuat indeks daya saing global Indonesia versi World Economic Forum menurun dari peringkat 46 ke peringkat 50 dari 114 negara. "Di antara negara-negara ASEAN, posisi Indonesia di bawah Singapura, Malaysia, Brunei, dan Thailand," tuturnya.
Ia juga mengkritik anggaran pemerintah untuk membangun infrastruktur, yang angkanya selalu naik dari tahun ke tahun, tapi realisasinya rendah. Tahun ini, pemerintah mengalokasikan belanja infrastruktur sebesar Rp 240 triliun. Angka itu akan naik tahun depan menjadi Rp 264 triliun. "Angkanya memang besar, tapi penyerapannya masih lambat."
Kritik lain datang dari peneliti kebijakan perpajakan dari Perkumpulan Prakarsa, Yustinus Prastowo. Dia mempersoalkan insentif pajak yang ditawarkan pemerintah untuk menarik investor, misalnya upaya melakukan benchmarking penentuan besar tarif pajak dengan negara tetangga. "Artinya, tarif pajak bakal terus ditekan," ujarnya.
Toh, sejumlah kritik itu tak membuat pemerintah surut langkah. Hatta yakin target nilai investasi yang dipatok di proyek ini, sebesar Rp 4.000 triliun, bakal tercapai pada 2015. "Tak ada yang mudah seperti membalik tangan. Tapi lebih baik kita tetap berjalan," kata Hatta.
RR Ariyani, Gustidha Budiartie, Angga Sukma Wijaya, Prihandoko, Praga Utama, Linda Trianita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo