Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJUMLAH resep untuk mendorong pengembangan ekonomi wilayah sudah pernah dijajal dengan sejumlah nama sesuai dengan selera pemerintah ketika itu. Dulu ada yang disebut KawaÂsan Pengembangan Ekonomi Terpadu di 13 kawasan, ada pula Free ÂTrade Zone di Batam, Bintan, dan Karimun, kemudian ada Kawasan Ekonomi Khusus di sejumlah daerah.
Konsep teranyar adalah Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), yang digadang-gadang menjadi motor pertumbuhan ekonomi dan menghilangkan disparitas antarwilayah. Ada enam koridor ekonomi yang didorong, yakni Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, dan Papua-Maluku.
Dibandingkan dengan program-program terdahulu, salah satu indikator pengembangan MP3EI ini diklaim lebih jelas, yaitu target produk domestik regional bruto harus naik tiga kali lipat dari sebelumnya. Menteri Koordinator Perekonomian yang juga Ketua Harian Pelaksana MP3EI Hatta Rajasa menjelaskan konsep itu kepada Tomi Aryanto, RR Ariyani, Angga Sukma Wijaya, Praga Utama, dan Imam Sukanto dari Tempo pertengahan Juli lalu—dilengkapi sejumlah wawancara susulan setelah itu.
Apa perbedaan MP3EI dibandingkan dengan konsep pengembangan wilayah sebelumnya?
Melalui kajian panjang, didapat temuan bahwa konektivitas kita belum menimbulkan value added, sehingga muncul kesenjangan antarwilayah. Kian rendahnya kualitas sumber daya manusia di daerah pun terjadi karena mereka tersedot ke pusat-pusat pertumbuhan, seperti Pulau Jawa. Di sisi lain, tantangan ASEAN Economic Community sudah di depan mata, dan pada 2020 kita akan masuk ke liberalisasi APEC. Integrasi ekonomi global tak terhindarkan. Gagasan konektivitas ini diupayakan tak lagi hanya memakai dana utang yang di masa lalu selalu lambat pertumbuhannya. Undang-undang pun diliberalisasi, (infrastruktur) bisa dibangun swasta. Dulu lingkup wilayah Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu kecil, tak terintegrasi, karena tak bicara konektivitas. Kini kita bangun Kawasan Ekonomi Khusus, di Kalimantan, Sumatera, dan Papua. Kita bebaskan tax holiday dan tax allowance.
Apa ukuran bahwa MP3EI bisa disebut berhasil?
Ukuran perkembangan daerah harus jelas, seperti produk domestik regional bruto daerah harus naik tiga kali lipat. Caranya dengan mengembangkan koridor secara tematik. Misalnya, di Jawa dipertahankan sektor jasa dan smart industry. Tak bisa lagi high polluted industry di sini.
Mengapa pemerintah tidak membiayai MP3EI?
MP3EI tidak didesain dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Kalau kita lihat, dari Rp 4.000 triliun investasi sejak 2011 sampai 2015, sebanyak Rp 1.000 triliun di antaranya dari badan usaha milik negara. Selebihnya adalah swasta nasional dan foreign direct investment.
Bukannya lebih mahal pembiayaan dari swasta? Itu yang dikritik sejumlah pihak….
No. Contohnya ketika kami memutuskan membangun bandar udara Bali dan jalan tol di atas laut di Bali. Kalau business as usual, APEC tak bisa memakai jalan tol baru. Karena itu, kita pakai penugasan, BUMN bersinergi, lalu dibuat peraturan presiden. Hasilnya lebih cepat, lebih murah, lebih baik. Coba kalau ditenderkan, berantem saja. Ruwet.
Apa saja hambatan legal yang dihadapi?
Kita sadar bahwa banyak hambatan regulasi. Maka kita punya Kelompok Kerja Regulasi, dipimpin Sofjan Wanandi. Begitu banyak regulasi diubah, termasuk Undang-Undang Pengadaan Lahan yang berlaku pada 2014. Peraturan-peraturan daerah yang menghambat juga di-review.
Kenapa proyek MP3EI di Sumatera tidak menghubungkan koridor-koridornya dengan pelabuhan? Padahal Indonesia negara maritim.
Di mananya MP3EI ini tidak maritim? Konektivitas justru meletakkan Indonesia sebagai benua maritim dengan memperkuat pelabuhan-pelabuhan dari gerbang barat hingga timur. Kemudian diletakkan beberapa feeder dan hub. Sangat maritim itu jiwanya.
Pembangunan Jembatan Selat Sunda banyak menuai kritik?
Sepintas anggaran Rp 200 triliun sangat besar hanya untuk menghubungkan dua pulau, sementara di Indonesia ini kan ada banyak sekali. Orang Flores bikin pelabuhan satu saja susahnya setengah mati. Mau menyeberang ke pulau sebelah saja susah, kenapa kawasan ini diperhatikan dengan spending uang besar? Maka saya tidak setuju pakai APBN. Tidak adil. Kalau tidak mau membebani pemerintah, swasta yang membangun.
Rencana investasi MP3EI hingga Juli lalu masih didominasi koridor Sumatera sebesar Rp 298,5 triliun, jauh di atas koridor Papua sebesar Rp 3,5 triliun?
Tahun ini Papua, Papua Barat, Maluku, dan Maluku Utara akan mencatat investasi tertinggi, terutama dari sektor hilirisasi pertambangan. Hingga Juli, nilai investasi yang sudah groundbreaking Rp 647 triliun untuk 250-an proyek, terdiri atas 94 proyek sektor riil dan 164 proyek infrastruktur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo