SEKALI-SEKALI kami kan ingin juga merasakan suasana hidup di
kota masak harus ke pinggir terus. Ini adalah keluhan Enteng Ali
(54 tahun) salah seorang penduduk Kelurahan Pondok Kelapa,
wilayah Jakarta Timur. Rasa tak nuas ini tentu saja karena sejak
3 tahun belakangan ini kawasan itu sudah dinyatakan melalui SK
Gubernur DKI sebagai perkaplingan karyawan DKI Jaya. Artinya
semua tanah berikul bangunan-bangunan harus dijual kepada
Perusahaan Tanah Dan Bangunan (PTB) DKI badan yang diserahi
kuasa membebaskan wilayah itu. Arealnya meliputi '58 hektar.
Sambil perlahan-lahan membebaskan jengkal demi jengkal tanah di
situ, fihak PTB juga kepada warga yang sudah herdiam di sana
dilarang menjual tanah membangun rumah kepada fihak lain,
memperbaiki rumah, bahkan jual beli bahan bangunan tak
diperkenankan. "Usaha saya terpaksa terhenti", keluh Enteng yang
sebelumnya berjual bahan bangunan, "bagaimana mau berjualan
kalau membawa semen satu sak saja sudah ditahan Hansip". Dan
memang di ujung gang masuk ke rumah-rumah di RW 03, Kelurahan
Pondok Kelapa itu, ada pos Hansip yang selalu tajam
memperhatikan barang bawaan penduduk.
Walaupun keuangan PTB agak tersendat-sendat, usaha pembebasan
itu berjalan terus. Hingga sekarang sudah hampir separo dari
areal itu berada dalam genggaman PTB. Selebihnya, para warga
agaknya hanya angkat tangan dan pasrah saja. Untuk menjual tanah
maurun rumah ke fihak lain sudah pasti tak mungkin, sedangkan
harga pembelian fihak PTB sudah terpaku antara Rp 2000 hingga Rp
3000 per mÿFD. Namun rupanya bukan soal harga itu saja yang
merisaukan warga Pondok Kelapa, juga kebun buah-buahan dan sawah
sebagai satu-satunya sumber hidup mereka selama ini harus
ditinggalkan. Menanggapi hal ini, Syamsir Iskandar SH, Pimpinan
PTB DKI, tak mau angkat bicara. "Biasa, setiap pembebasan tanah
itu menimbulkan korban", itu saja ucapnya. Tentu saja. Hanya
sampai kapan penduduk pinggiran Ibukota ini akan merasa tenteram
bila setiap kali harus didatangi hantu penggusuran? Enteng
mengakui "laju-lajunya pembangunan ini membawa kami makin ke
pinggir". Tapi, tambahnya, kapan giliran kami menikmatinya pula?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini