Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TUBUH itu terbaring lemas di sofa. Kaki berselonjor, tangan kanannya menutup kening, mata tertutup rapat. Sosok pria separuh baya yang tengah lelap pada Kamis pekan lalu itu adalah Joko Suprapto, warga Desa Ngadiboyo, Kecamatan Rejoso, Nganjuk, Jawa Timur, penemu bahan bakar dari air alias blue energy, yang sedang heboh. Di sebelahnya, duduk sang istri, Winda Mirah, yang sibuk memencet telepon seluler, menulis pesan pendek.
Dari jarak sekitar tiga meter—Tempo tak diizinkan masuk dan hanya berdiri di pintu—wajah Joko tak terlihat jelas. ”Dia sedang sakit,” kata Komandan Distrik Militer Nganjuk Letnan Kolonel Christiono, yang mengantar Tempo ”mengintip” Joko. Christiono juga gesit mencegah ketika wartawan berusaha memotret pasangan itu. ”Jangan, kasihan dia,” katanya.
Pemandangan sekilas itulah yang muncul ke publik sepekan terakhir. Sejak berita raibnya Joko merebak dua pekan lalu, rumahnya yang jembar di atas tanah satu hektare di ujung Dusun Turi, Desa Ngadiboyo, dijaga puluhan orang dari tiga profesi: polisi, tentara, dan wartawan. Namun, di dalam rumah, Joko seperti ngumpet. Permintaan wawancara Tempo hanya ditanggapi dengan pesan pendek dari istri Joko. ”Nyuwun pangapunten sak meniko tasik dereng saged pinanggih margi bapak tasih gerah, wonten pengawasan dokter” (”maaf, saat ini Bapak belum bisa ditemui karena sakit, masih dalam pengawasan dokter”).
Dua pekan terakhir, hanya dua kali Joko ”keluar kandang” berbicara langsung kepada jurnalis. Jumat dua pekan lalu, dia memberikan wawancara kepada Metro TV. Dua hari kemudian, dia menggelar konferensi pers untuk semua wartawan. Sayangnya, baru 15 menit, Joko terkulai. Ketika wartawan bertanya apa formula rahasianya mengubah air jadi minyak, mulutnya terkatup erat, tangannya gemetaran, lalu bluk... pingsan.
TAK ada yang tahu persis apa latar belakang pendidikan penemu energi biru ini. Sempat muncul kabar, Joko Suprapto adalah alumnus Jurusan Teknik Elektro Universitas Gadjah Mada. Namun kabar ini dibantah. Kepala jurusan teknik elektro universitas itu, Tumiran, mengaku tak menemukan nama Joko di dalam daftar alumnus. Ada juga yang sempat mengira Joko alumnus Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Ini pun tak benar. Rektor universitas itu, Khoiruddin Basyori, juga membantah.
Sumber penghasilan dan mata pencarian tokoh ini juga kabur. ”Kami hanya tahu Pak Joko bekerja di Jakarta,” kata Kepala Desa Ngadiboyo, Wanuji. Menurut dia, Joko datang ke desanya pada 1980-an setelah memperistri Winda, warga Dusun Bangsri di desa itu. Tak ada yang janggal dari kehidupan Joko sampai setahun terakhir. ”Tiba-tiba dia jadi sangat kaya,” kata Wanuji.
Berlimpahnya harta Joko secara mendadak memang mencolok di desa kecil itu. Apalagi Joko sama sekali tak berusaha menyembunyikan perubahan peruntungannya. Setahun lalu, dia membeli tanah lebih dari satu hektare dan membangun rumah besar di sana. Rumah itu baru rampung enam bulan lalu. Dia juga mendirikan radio Jodhipati FM, yang isinya melulu gamelan dan gending Jawa. Kini sebuah menara pemancar radio berdiri di belakang rumahnya. Tak hanya itu, setiap pekan, Joko nanggap wayang kulit. ”Sekali menggelar wayang itu biayanya Rp 50-75 juta,” kata Wanuji.
Tokoh kegemaran Joko di dunia pewayangan adalah Werkudoro alias Bima. Putra kedua Pandawa dalam mitologi Mahabarata ini selalu digambarkan sebagai tokoh yang tegas, berani menghantam tata krama, dan sakti mandraguna. Saking kesengsemnya Joko kepada tokoh wayang ini, seluruh tembok yang mengelilingi rumah besarnya digambari kisah Werkudoro sejak lahir sampai puncak kejayaannya. Karena itulah kompleks rumahnya yang megah diberi nama Padepokan Jodhipati, sama dengan nama radio swastanya. Jodhipati adalah nama kerajaan Werkudoro di alam pewayangan.
Joko punya dua rumah lain di Desa Ngadiboyo. Rumah pertamanya, di Dusun Bangsri, kini ditempati kerabatnya. Satu lagi rumahnya dipergunakan sebagai ”laboratorium”. Warga desa menyebutnya ”bengkel Pak Joko” karena di sana ada sejumlah mobil rongsokan. Di rumah ketiga inilah penelitian energi biru dilakukan.
Letkol Christiono pernah menyaksikan demonstrasi pembuatan minyak ajaib di ”bengkel” ini dua bulan lalu. Saat itu, menurut Christiono, Joko mempersiapkan tong besar bekas aspal yang kemudian diisi air sampai penuh. Sebuah tungku kayu dinyalakan di bawah tong. Setelah itu, sejumlah barang dimasukkan ke dalam air. ”Yang saya lihat ada yang mirip kapur barus dan bubuk sabun cuci,” kata Christiono. Semuanya lalu diaduk sampai mendidih. ”Pembakaran berlangsung sampai air di tong tinggal separuh,” katanya. Air yang tersisa itulah yang diklaim sudah berubah menjadi bahan bakar. ”Satu jeriken dibawa pulang anak buah saya untuk memasak,” kata Christiono, tertawa.
PETUALANGAN Joko di ”dunia penelitian” diawali dengan penemuan pola tanam padi, dua tahun lalu. Joko mengaku bisa melipatgandakan produksi padi dari 6-7 ton menjadi 9-10 ton per hektare. Demonstrasi temuan Joko di Nganjuk dihadiri sejumlah dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Tak puas bergerak di bidang pangan, Joko merambah sektor lain: energi. Penemuan pertamanya adalah pembangkit listrik yang diklaim bisa membuat ”listrik mengalir selamanya”. Temuan ini kemudian dijajakan kepada sejumlah perusahaan di bawah bendera PT Dharma Brahmana. Selain ke kalangan bisnis, Joko aktif mempromosikan temuannya ke perguruan tinggi.
Desember 2005, Joko mendatangi Universitas Gadjah Mada, yang rektornya ketika itu Sofian Effendi. Dia menyodorkan proposal kerja sama dan meminta Gadjah Mada menyetor Rp 3 miliar untuk pengembangan teknologi ini. Di sampul fotokopi proposal 10 halaman ini tertulis ”Energi Alternatif dengan Teknologi Mata Hati”.
Universitas Gadjah Mada menolak tawaran kerja sama itu. ”Ini pembangkit listrik tenaga jin,” kata Kepala Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada Sudiartono. Menurut dia, staf peneliti Joko tak bisa menjelaskan dasar ilmiah pembangkit listrik itu.
Salah satu anggota tim Joko ketika itu adalah Purwanto. Kini dia bekerja sebagai konsultan tim penelitian Pusat Studi Pengelolaan Energi Regional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Saat dihubungi Tempo pekan lalu, dia mengaku sudah lama mengenal Joko. ”Awalnya, kami sama-sama suka wayang,” katanya. Sayangnya, dia menolak berkomentar soal kawan lamanya itu. ”Saya tak pernah lagi berhubungan dengan Pak Joko sejak setahun lalu,” katanya. Purwanto sekarang mengembangkan energi alternatif yang serupa dengan energi biru. Namanya Banyugeni. ”Kami masih dalam skala laboratorium, masih jauh,” kata Purwanto merendah.
Yang menarik, selain aktif sebagai penemu macam-macam, kiprah Joko melebar ke politik. Juni tahun lalu, dia mencalonkan diri menjadi Bupati Nganjuk. Dalam daftar calon kepala daerah dari Partai Kebangkitan Bangsa, namanya ada di urutan teratas.
Saat menjadi calon, Joko mengembangkan jejaring politiknya dengan mendirikan Dewan Nganjuk Bersatu. Kelompok itu berhasil menghimpun sejumlah aktivis politik dan tokoh masyarakat. Dua kandidat bupati pesaing Joko ketika itu, Taufiqurahman dan Pied Yudianto, dirangkulnya masuk forum. Selain itu, ada mantan Bupati Nganjuk Soetrisno, mantan Bupati Trenggalek, dan sejumlah anggota parlemen daerah.
Sampai awal tahun ini, Joko masih bersemangat ikut pemilihan kepala daerah. Namun belakangan dia mengundurkan diri. Kata Ali Wasi’in Abbas, Sekretaris Partai Kebangkitan Bangsa Nganjuk, ”Dia mengaku ingin berkonsentrasi pada penelitian bahan bakar air.”
Wahyu Dhyatmika, Dwidjo Utomo Maksum (Nganjuk), Muh. Syaifullah, Bernarda Rurit (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo