Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WUS! Tanah yang basah oleh hidrokerosin itu meledak ketika M. Thoriq menyulutnya. Lidah api meloncat, menjilat tangannya. Rupanya, Direktur PT Macro Sistem Infokom ini tidak menyangka api bakal sebesar itu. ”Menyala, kan?” katanya kepada Tempo di Yogyakarta, Rabu pekan lalu. ”Ini yang disebut Banyugeni.”
Thoriq, yang didaulat untuk menyiapkan pasar Banyugeni, mendapatkan sampel itu tiga bulan lalu. Semuanya ada empat jenis: hidropremium sebagai pengganti bensin, hidrodiesel untuk mengganti solar, hidroavtur untuk menerbangkan pesawat, dan hidrokerosin—yang hampir membakar tangannya—sebagai pengganti minyak tanah.
Keempat jenis minyak dalam botol bekas vitamin UC1000 itu nyaris tak dapat dibedakan dari minyak bumi bikinan Pertamina. Warnanya sama—mungkin agak lebih bening. Tempo baru menemukan sedikit perbedaan ketika mengendusnya: bau Banyugeni lebih lembut daripada minyak Pertamina.
Padahal Banyugeni jauh lebih istimewa dari pada minyak Pertamina. Tak seperti minyak bumi yang terbuat dari fosil dan suatu saat bakal habis, Banyugeni berbahan dasar air, yang tersedia melimpah-murah. Maka, kata Thoriq, harganya miring. ”Untuk hidropremium, harganya tidak akan lebih dari Rp 2.000 per liter,” ujar bekas mahasiswa ekonomi Universitas Gadjah Mada itu. Ini setengah harga premium Pertamina atau setara dengan harga segalon air isi ulang.
Gara-gara harganya dijanjikan bakal murah-meriah, Banyugeni membikin banyak orang bermimpi bisa menyingkirkan minyak bumi, yang harganya terus meroket. ”Sepupunya”, energi biru, malah sudah masuk Istana Presiden. Tapi, tunggu dulu, bagaimana mungkin air bisa diubah jadi minyak?
”Secara teori, itu mungkin saja,” ujar Unggul Priyanto, Direktur Pengembangan Sumber Daya Energi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, kepada Tempo.
Sayangnya, Unggul belum ngeh mengenai proses pembuatan kedua minyak sintetis ini. Soalnya, meskipun proyek si biru sudah masuk Istana, Presiden tidak melibatkan lembaganya. Ia memang pernah meminta keterangan soal ini kepada pemilik si biru, ketika proyeknya diluncurkan dalam konferensi iklim internasional di Bali tahun lalu. ”Tapi tidak ada informasi yang transparan,” katanya.
Toh, ada sedikit keterangan dari mereka. Air ternyata hanya salah satu bahan dasar. Ini karena air terdiri atas senyawa hidrogen dan oksigen, sedangkan minyak bumi tersusun dari karbon dan hidrogen. Bensin, misalnya, merupakan persenyawaan 8 karbon dan 18 gas hidrogen. Nah, agar air bisa diubah menjadi bensin, perlu ada sumber karbon.
Seperti air, sumber karbon juga melimpah. Material ini tersimpan pada sisa kayu, arang, batu bara, cerobong pabrik, hingga dalam air formasi di sumur minyak yang sudah ditinggalkan.
Hidrogen diperoleh dari pemecahan air (H2O) menjadi gas hidrogen dan oksigen. Caranya dengan teknik elektrolisa dan penambahan pemercepat reaksi (katalisator).
Gas hidrogen yang dipanen kemudian dikawinkan dengan senyawa karbon rantai tak jenuh. Singkat cerita, jadilah minyak bumi sintetis.
Tapi beberapa persoalan muncul. Misalnya, untuk memisahkan unsur H dan O dalam H2O dibutuhkan listrik. Nah, listrik ini juga butuh bahan bakar. Lalu katalis apa yang dipakai, bagaimana rantai karbon disiapkan?
Setelah itu, kata Unggul, ”Untuk menggabungkan hidrogen itu dengan karbon juga perlu energi.” Jumlahnya belum jelas. Yang pasti, tak sedikit. ”Kalau si biru ini benar murah, negara di seluruh dunia akan tanya ke kita. Itu sangat revolusioner,” ujarnya.
Priyadi Iman Nurcahyo dalam blognya, priyadi.net, menulis harga listrik yang harus dibayarkan untuk mensintesis satu liter si biru diperkirakan Rp 4.448. Ini dengan asumsi sistem yang digunakan berjalan efisien dan harga listrik Rp 460 per kilowatt jam.
Hitungan itu belum termasuk pajak, biaya distribusi, dan sumber daya manusia. Jadi, harga produksinya pasti jauh di atas harga Banyugeni Rp 2.000, atau harga si biru yang Rp 3.000.
Kalkulasi Priyadi sudah ditanggapi Iswahyudi, salah satu pemrakarsa PT Sarana Harapan Indocorp, yang bakal memproduksi dan memasarkan si biru. Dia mengatakan, inti teknologi si biru justru pada efisiensi reaktor, selain pada kualitas katalis yang berperan mempercepat reaksi. Ia juga menyebutkan, kilangnya bahkan dilengkapi sumber energi yang tak bergantung pada PLN atau sumber energi konvensional.
Sayangnya, cuma ini informasi yang dibagikan Iswahyudi. Ia bahkan tak membagi resepnya kepada Rovicky, pengasuh blog ”Dongeng Geologi” dan rekan sealmamaternya di Jurusan Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada. Ketika keduanya bertemu dalam hajatah Asosiasi Perminyakan Indonesia di Jakarta pekan lalu, Iswahyudi hanya menyuguhinya si biru yang sudah jadi. ”Tidak bisa dibedakan lagi dengan bahan bakar biasa,” kata Rovicky, penasihat di Hess Oil & Gas Sdn. Bhd., Malaysia.
Toh, Rovicky bisa maklum jika sejawatnya menyembunyikan rahasia dapur perusahaan. ”Kalau memang benar ada, teka-tekinya ada pada pembangkit listrik itu. Tapi saya tidak mendapat penjelasan terperinci,” ujarnya.
Tempo juga mendapat jawaban yang sama ketika menanyakan soal reaktor ini kepada Iswahyudi via telepon. ”Sudahlah,” ujarnya. ”Polemiknya tidak usah diteruskan. Biarkan para peneliti ini terus bekerja.” Sampai kapan?
Tim si biru menjanjikan pada Agustus depan. Sedangkan tim Banyugeni main aman. ”Saya lebih baik menjawab masih lama, biar aman. Karena tidak sederhana,” ujar Khoiruddin Basyori, Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, kepada koresponden Tempo, M. Syaifullah.
Yandi M.R., Bagja Hidayat, Bernarda Rurit (Yogyakarta)
Cara Air Jadi Minyak
INDONESIA bukan yang pertama bermimpi meninggalkan minyak bumi. Ini mimpi Amerika 20 tahun lalu.
Stanley Meyer, warga Ohio, yang membawa mimpi itu ke sana. Dengan meyakinkan ia menunjukkan produknya hingga memikat banyak investor dan mendapat paten. Eh, enam tahun ditunggu, ia tak juga menjual produknya sehingga pemodal menyeretnya ke pengadilan.
Di pengadilan Ohio, Meyer tak dapat mendemonstrasikan bahan bakarnya. Ia juga tak bisa menunjukkan mobil peraga berbahan bakar minyak murah yang pernah membawanya dari Los Angeles di pantai timur ke New York. Akhir 1996, pengadilan menyatakan Meyer menipu. Tahun lalu patennya dicabut.
Metode Meyer dan teknologi energi biru sayangnya tak bisa disandingkan—pemilik energi biru merahasiakan resepnya. Tapi secara teoretis air memang bisa diubah menjadi bahan bakar karena memiliki unsur yang menjadi bahan baku minyak itu.
Air. Terdiri atas molekul hidrogen dan oksigen. Molekul hidrogen bermuatan positif, sedangkan oksigen bermuatan negatif. Sifat ini dipakai untuk mengurai air menjadi molekul penyusunnya. Caranya dengan elektrolisa. Untuk mempercepat reaksi ditambahkan katalis.
Elektrolisis. Menggunakan dua lempeng logam yang diberi aliran listrik positif (anoda) dan negatif (katoda) Atom hidrogen yang bermuatan positif ditarik ke kutub katoda dan oksigen yang negatif ke anoda.
Katalis. Berperan sebagai pemercepat reaksi, senyawa ini tidak menjadi bagian dari hasilnya.
Karbon. Diperoleh dari sumber karbon seperti batu bara, alga, karbon bebas. Sebelum dimasukkan ke dalam reaktor, karbon ini diubah dulu menjadi karbon tak jenuh rantai panjang. Tak jenuh artinya bisa menerima hidrogen.
Reaktor. Penggabungan hidrogen dan karbon dilakukan dalam reaktor. Energi biru diklaim memiliki teknologi reaktor dan senyawa katalis yang efisien, sehingga ongkos energinya lebih murah daripada ongkos mengilang minyak fosil.
Minyak Sintetis. Diubah menjadi bensin, minyak tanah, dan jenis minyak lainnya dengan mengubah panjang rantai karbon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo