Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika memasuki ruangan, tak terlihat tanda lazim sebelum sebuah pertunjukan berlangsung. Di atas panggung tak ada set atau properti. Panggung itu, tak beda dengan bagian lain dalam keseluruhan ruang, dipenuhi kelimun pengunjung yang asyik berbincang sambil duduk atau berdiri. Suasananya serupa dengan pasar (minus pedagang) atau momen ramah-tamah dalam suatu pesta. Segalanya berlangsung wajar. Tak terasa ada ketegangan menunggu seperti pada detik-detik menjelang lakon digelar.
Hati ini menebak: pasti semua ini telah disiasati. Tampak sejumlah teman, termasuk Yudi Ahmad Tajudin, sang sutradara, dan para pemain. Di satu sudut kulihat Erythrina Baskorowati dan Citra Pratiwi, duduk di ruang tembus pandang, bersolek, tak acuh pada siapa pun yang berseliweran. Ah, mungkin mereka sudah menjadi orang lain. Mereka telah menjelma menjadi pribadi asing, mungkin dua perempuan dari entah yang tengah bersiap menjual tubuh. Saat itu kusadari: permainan sudah mulai.
Tak lama kemudian terdengar derap drum band. Sekelompok pemain, dipandu Sri Qadariatin sebagai mayoret, membelah kerumunan. Disusul Jamaludin Latif yang meminta orang-orang mengambil tempat di dua sisi ruang. Maka berubahlah keadaan di ruang itu, menyerupai jalan seruas, tempat karnaval sedang melintas.
Lalu peristiwa demi peristiwa pun beruntun, berpiuh, gegas dan riuh. Melibatkan pelacur, pengasong, pengamen, Satuan Polisi Pamong Praja, dan banyak figur jalanan lain yang saban hari kita temui. Ada juga orang berpeci yang kalap, menggasak dengan batu dan benci, seolah ia yang paling benar dan suci. Pinggiran jalan pun acap berubah fungsi. Menjadi pasar kaget, tempat bermain bulu tangkis, pidato, dan demonstrasi. Pentas seakan tak ada fokus, atau justru punya banyak fokus, sehingga tak semua detail dapat ditangkap, seperti segala yang terjadi di sepanjang jalan—banyak yang terekam, tak sedikit yang terabaikan.
Dengan tata artistik yang bersahaja, pemeranan lugas dan tak mengacu kepada tokoh tipikal, berarti bisa siapa saja atau tak sesiapa, Teater Garasi berhasil menghadirkan situasi jalanan—sesuatu yang amat dekat namun kerap terlupakan—sebagai persoalan yang intim dan menyentuh. Sebutan ”pertunjukan teater tari” yang dilekatkan pada Je.ja.l.an pun terasa sebagai kejujuran yang belum pernah mereka nyatakan dalam sejumlah repertoar terdahulu yang secara kalkulatif lebih banyak bertumpu pada gerak.
Ada banyak unsur dramatik pada Je.ja.l.an yang memang bukan kisah naratif dengan alur yang kronologis. Banyak hal seolah tak saling sangkut, tapi terhimpun dalam satu konteks yang menjadikan semuanya relevan. Bukankah fakta itu sebuah realitas? Toh Teater Garasi tak terperangkap dalam gaya realis. Setidaknya tak pernah kujumpai seorang pengamen berdiri di podium dan menggumamkan teks Catatan Pinggir Goenawan Mohamad tentang penjual gorengan yang bunuh diri setelah harga kedelai mundak, atau menguarkan bagian dari Die Hamletmaschine karya Heiner Müller. Juga seorang perempuan di dalam kotak, kubayangkan anjungan telepon umum, melafalkan sajak Aku Berkisar antara Mereka-nya Chairil Anwar.
Semua itu, kukira, menegaskan bahwa Je.ja.l.an masih membutuhkan teks (verbal) untuk menjelaskan kelas sosial dan ruang lingkup masyarakat yang hendak disuarakan. Begitupun voice over pidato Soekarno dan lagu Genjer-genjer, misalnya, diperlukan untuk memberikan indikasi kesinambungan waktu. Setiap ruas jalan bukanlah ruang yang terputus, lepas, dan berdiri sendiri; melainkan medan di mana lalu lintas bergerak menggeret masa lalu ke arah tujuan yang dibayangkan berada di depan.
Pertunjukan itu tak menawarkan kesegaran baru, pun jika dibandingkan dengan kebiasaan Teater Garasi sendiri. Dalam bagian awal memang masih terlihat sejumlah gerak yang mengingatkan kita pada King’s Witch, repertoar mereka sebelumnya, suatu yang lumrah dalam pendayagunaan perbendaharaan elemen artistik hasil galian mereka sendiri.
Lebih dari itu Je.ja.l.an adalah semacam paket komplet. Sebuah suguhan yang membuat tergelak lantaran unsur komedi yang tak kudapatkan pada gaya dagelan Teater Koma, mengajak merenung dan bersedih lebih hikmat daripada lakon sosial yang kritis-tragis ala Bengkel Teater Rendra, juga memberikan kekayaan koreografi dan plastisitas gerak melampaui eksplorasi tubuh Teater Mandiri.
Repertoar yang begitu bernas itu ternyata amat ringkas. Durasinya cuma satu jam. Aku merasa kurang, ingin menikmatinya lebih lama.
Sitok Srengenge (Penyair)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo