Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pasar Domestik Terbuka Lebar

EKSPOR Indonesia akan menghadapi tantangan berat tahun depan. Krisis keuangan di zona euro dan resesi panjang di Amerika Serikat bisa membuat penerimaan ekspor Indonesia menurun. Turunnya nilai ekspor yang berkepanjangan akan merugikan karena bisa membuat risiko defisit neraca pembayaran semakin meningkat. Tapi ekspor tetap punya harapan. Beberapa produk unggulan Indonesia seperti minyak sawit, batu bara, emas, dan logam lainnya, masih bisa eksis di pasar di Asia-Pasifik, Timur Tengah, dan Afrika, yang relatif tak terkena dampak krisis Eropa dan Amerika. Barang ekspor ke pasar global juga bisa dialihkan ke pasar domestik, yang potensinya sangat besar.

12 Desember 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masih Moncer di Tengah Krisis

Permintaan minyak sawit dunia masih tinggi. Hanya karet yang mulai menurun.


ABSENNYA para menteri dalam perhelatan tahunan Konferensi Minyak Sawit Indonesia (IPOC) di Nusa Dua, Bali, awal Desember lalu, membuat pengusaha komoditas itu kecewa. Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan, dan Menteri Pertanian Suswono diundang. Tapi mereka sama sekali tak hadir.

Dalam persamuhan bertema "Sustainable Palm Oil: Driver of Change" yang dihadiri lebih dari seribu delegasi dari 23 negara ini, para petani sawit ingin menyampaikan sikap penolakan terhadap bea keluar minyak kelapa sawit (CPO) yang diterapkan pemerintah. "Kami sebenarnya ingin menyampaikan unek-unek," kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Asmar Arsjad.

Asmar, yang juga pengusaha sawit dari Deli Serdang, menjelaskan, harga minyak kelapa sawit diperkirakan akan bertahan di level US$ 1.200 per ton pada kuartal pertama 2012. Tapi para petani, pengusaha sawit, dan eksportir terancam tak bisa ­menikmati keuntungan lantaran ada bea keluar tadi. Semakin tinggi harga sawit, tarif bea keluar (ekspor) akan semakin mahal.

Wakil Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia Derom Bangun mencontohkan, pemerintah mengenakan bea keluar 15 persen bila harga sawit di pasar dunia US$ 1.000 per ton. Tarif bea keluar akan naik menjadi 20 persen bila harga komoditas itu menjadi US$ 1.200 per ton. Artinya, kata dia, pengusaha harus menyetor US$ 240 ke kas negara setiap kali menjual ke luar negeri. Tentu saja pengusaha tak mau rugi juga. Buntutnya, pengusaha memotong harga tandan sawit segar di tingkat petani.

Kelapa sawit ini unik. Di tengah krisis utang di Eropa dan resesi di Amerika Serikat, prospek komoditas ini masih kinclong. Tahun depan, kata Derom, permintaan minyak kelapa sawit dunia masih cukup tinggi, 24-25 juta ton. Jumlah ini mendekati produksi sawit dalam negeri sekitar 26 juta ton. Produksi sawit Indonesia diprediksi masih akan lebih banyak dibanding Malaysia—produsen sawit terbesar kedua di dunia, setelah Indonesia—sebanyak 17-19 juta ton.

Saking tingginya permintaan sawit, ujar Derom, harganya di pasar dunia masih cukup stabil dan menggiurkan. Sampai akhir 2012, harga minyak sawit dunia diperkirakan bisa bertahan di level US$ 1.050 per ton meski perekonomian dunia mengalami resesi. Harga tahun depan masih kompetitif dibanding harga selama lima tahun terakhir (lihat tabel). Tentu saja, tingginya harga sawit akan membuat ekspor "minyak emas" dari perkebunan Indonesia masih tinggi. Tahun lalu, ekspor minyak sawit Indonesia 20,6 juta ton dengan nilai sekitar US$ 12,6 miliar. Tahun depan, ekspor minyak sawit akan naik sekitar 16 persen. "Ekspor masih menggiurkan. Tinggal bagaimana pengusaha memikirkan pembebanan bea keluarnya."

Selama ini, minyak sawit Indonesia diekspor ke India (30 persen), Cina (12 persen), Eropa (17 persen), dan sisanya ke negara lain. Kini tak ada pilihan lain, menurut Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi, eksportir kudu melakukan diversifikasi negara tujuan ekspor. Pemerintah menyarankan pengusaha mendiversifikasi pasar CPO dari Eropa Barat ke Eropa Tengah dan Timur, seperti Turki atau negara bekas pecahan Yugoslavia dan Uni Soviet. "Eropa Barat cerewet karena banyak lembaga swadaya masyarakat yang anti-minyak sawit," ujarnya. "Eropa Timur dari Yugoslavia hingga Turkmenistan lebih akomodatif dan memberi fasilitas."

Sawit bukan tanpa masalah. Meski peluang ekspor sangat terbuka lebar, bisnis komoditas ini menyimpan persoalan serius. Masalah itu, menurut Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Joko Supriyono, tak lain penghentian (moratorium) pembukaan lahan sawit baru di hutan primer dan lahan gambut selama dua tahun. Aturan yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 itu mendudukkan pengusaha pada posisi yang dilematis.

Di satu sisi, pengusaha harus memacu produksi kebun sawit buat memanfaatkan peluang pasar. Tapi, di sisi lain, pengusaha juga tidak mungkin menabrak aturan. "Seharusnya pemerintah tidak membatasi ekspansi perusahaan untuk membuka lahan kebun sawit baru," ujar Joko. Pemerintah, kata Joko, justru harus mendorong pertumbuhan industri minyak kelapa sawit dalam negeri. Salah satunya menyediakan lahan buat ekspansi perkebunan kelapa sawit. "Industri sawit ini komoditas unggulan, tidak perlu diberi subsidi pemerintah."

Toh, pemerintah bergeming dengan moratorium pembukaan lahan baru di lahan gambut. Sebagai solusinya, pemerintah punya strategi lain buat menggenjot produksi sawit tanpa membuka lahan baru. Direktur Budi Daya Tanaman Tahunan Kementerian Pertanian Rismansyah Danasaputra menyatakan petani bisa melakukan penanaman ulang (replanting) ketika usia pohon sawit sudah tidak produktif lagi—rata-rata 25 tahun.

Strategi itu, ujarnya, bisa mendorong produktivitas tanaman dua kali lipat menjadi 28-an ton per hektare. Saat ini, produktivitas tanaman sawit di perusahaan besar mencapai 22,5-23 ton per hektare.


Ekspor Kelapa Sawit Indonesia
TahunEkspor*Nilai**
200611,84.139
200615,29.078
200718,114.110
200921,211.605
201020,612.627

Pangsa Pasar Kelapa Sawit Dunia 2009-2010 (Juta Ton)

  • India: 6,65            
  • Cina: 5,8
  • Eropa: 5,1
  • Pakistan: 2,2
  • Bangladesh: 1
  • Amerika Serikat: 1
  • Lainnya: 4,9

    Harga Karet Lentur ke Bawah

    TANTANGAN menghadang komoditas karet pada 2012. Harga karet diperkirakan belum bisa kembali naik hingga kuartal kedua tahun depan, lantaran resesi, tingginya stok karet Cina, dan adanya gejala negara-negara tujuan ekspor karet mengurangi permintaan. ”Buntutnya menyeret penurunan volume dan nilai ekspor,” kata Ketua Dewan Karet Indonesia Aziz Pane.

    Akibat krisis yang melanda Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa, harga karet di pasar internasional terus mengkeret mencapai titik mengkhawatirkan hingga US$ 3,3 per kilogram—dibanding sebelumnya US$ 6 per kilogram. Harga itu hampir menyentuh ambang batas toleransi yang ditetapkan International Tripartite Rubber Council alias tiga negara pengekspor karet terbesar di dunia: Indonesia, Thailand, dan Malaysia. Jika harga terus menurun hingga di bawah US$ 3 per kilogram, ketiga negara itu sepakat menghentikan ekspor karet sementara. ”Kondisi ini juga menyebabkan petani cenderung menahan penjualan karet dengan harapan harga bisa kembali naik,” ujarnya.

    Penggunaan karet untuk industri hilir dalam negeri seperti ban juga belum bisa dioptimalkan karena industri hulu—antara lain pengolahan karet menjadi produk setengah jadi dan bahan baku industri hilir karet—masih minim. Akibatnya, kata Aziz, meskipun Indonesia salah satu eksportir karet terbesar, industri bannya harus mengimpor untuk memenuhi kebutuhan bahan bakunya.

    Ekspor Karet
    TahunVolume*Nilai**
    20052,032.583
    20062,294.322
    20072,414.879
    20082,286.023
    20091,993.242
    20102,019.373
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus