Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Paket Ekonomi Pendorong Properti

Kebutuhan hunian pertama meningkat. Kebijakan deregulasi menjadi harapan untuk membangun rumah murah tahun depan.

2 November 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGI Taufik Hendra Kusuma, paket kebijakan ekonomi jilid kelima memberi napas baru yang telah lama dinanti. Diumumkan pemerintah pada Kamis dua pekan lalu, kebijakan itu diharapkan bisa menggairahkan bisnis properti yang sempat berdarah-darah. "Banyak peluang yang bisa digali bila kebijakan tersebut benar-benar dijalankan," kata Taufik, Jumat dua pekan lalu.

Menurut Direktur Keuangan dan Sumber Daya PT Hutama Karya Realtindo itu, ada dua kebijakan dalam paket kelima yang bisa berkontribusi membangkitkan bisnis properti. Pertama, kebijakan mengenai revaluasi aset yang diberikan kepada badan usaha milik negara ataupun swasta. Pemerintah berjanji memberi fasilitas penurunan tarif pajak 3-6 persen bagi perusahaan yang mengajukan proposal revaluasi sampai akhir tahun depan. Kebijakan kedua tentang penghapusan pajak berganda untuk dana investasi real estate atau REITs.

Kebijakan tentang properti sebenarnya sudah disinggung dalam paket kebijakan ekonomi pertama pada September lalu. Dalam paket itu, pemerintah berjanji menerbitkan aturan tentang pembangunan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah demi meningkatkan investasi di sektor properti. Namun kebijakan tersebut dinilai terlalu umum. Kementerian Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akhirnya berkolaborasi membuat kebijakan jilid terakhir.

Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman Hadad menyebutkan salah satu pertimbangan pemerintah mengeluarkan kebijakan itu adalah sejak delapan tahun lalu hanya ada satu perusahaan yang menerbitkan REITs di Indonesia. Itu pun nilainya tak seberapa. Perusahaan-perusahaan properti Indonesia selama ini lebih suka menerbitkan REITs di Singapura, yang jumlahnya saat ini mencapai Rp 30 triliun.

Itu sebabnya Taufik memprediksi paket kebijakan jilid terakhir bisa menjadi solusi untuk menjawab masalah properti. Terutama untuk mengatasi kurangnya pasokan (backlog) 15 juta rumah yang dicoba diatasi pemerintah. Caranya, mendorong perusahaan pelat merah bekerja sama dengan pengembang untuk membangun properti yang terjangkau masyarakat.

Kebijakan revaluasi aset juga bisa digunakan untuk mendorong BUMN meningkatkan nilai tambah aset tahun depan. Sebab, perusahaan pelat merah memiliki aset tanah yang sangat luas dan strategis. Aset ini, kata Taufik, bisa disatukan dan dikelola dalam satu badan. Kumpulan aset ini bisa dimanfaatkan untuk membangun properti bagi masyarakat, tanpa harus menjadi hak milik.

Langkah inilah yang dilakukan oleh Cina dan Singapura. Pemerintah bisa menyediakan permukiman murah, baik apartemen maupun rumah, dengan skema cicilan terjangkau dan hak guna bangunan selama puluhan tahun. Program ini sukses karena pemerintah menggunakan aset perusahaan pelat merah, yang harganya lebih murah ketimbang swasta. Kepemilikan aset tersebut tidak beralih dan tetap dikuasai pemerintah.

Taufik saat ini sudah mengambil ancang-ancang membentuk tim untuk mengkaji tindak lanjut kebijakan ekonomi tersebut. Gagasan utilisasi aset akan ia ajukan ke PT Hutama Karya, induk Hutama Karya Realtindo. "Kami sedang membuat kajian plus-minusnya karena ini kesempatan yang harus diambil," katanya.

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro memastikan fasilitas penghapusan pajak berganda ini berlaku untuk perusahaan pelat merah dan swasta. "Dalam waktu dekat akan diterbitkan aturannya," kata Bambang. Dengan begitu, ia berharap para pengembang properti yang selama ini suka membeli aset di luar negeri kembali meramaikan pasar Indonesia.

BISNIS properti sepanjang tahun ini memang sedang loyo. Salah satunya dipicu oleh naiknya ongkos produksi. Menurut Wakil Ketua DPP Realestat Indonesia (REI) Arthur Batubara, kenaikan itu akibat melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar. Walhasil, "Jumlah pembeli menurun, terutama di kelas menengah dan atas," kata Arhur. REI mencatat, hingga kuartal tiga tahun ini saja, penjualan properti kelas tersebut baru mencapai 40 persen dari target. Pencapaian ini jauh dibanding tahun-tahun sebelumnya, yang biasanya sudah lebih dari separuh target.

Masalah tak hanya menimpa di bisnis perumahan. Kepala riset konsultan properti internasional Jones Lang Lasalle (JLL) James Taylor mengatakan perlambatan juga terjadi pada pasar penyewaan gedung perkantoran, tingkat hunian ruang retail, dan penjualan kondominium mewah. Akibatnya, harga sewa cenderung negatif dan jumlah pasokan baru terbatas.

Harga sewa gedung perkantoran di sentra bisnis selama triwulan ketiga tahun ini bahkan banyak mengalami koreksi karena beberapa gedung terpaksa mengkonversi tarifnya dari dolar menjadi rupiah. Ini dilakukan demi menjaga tingkat hunian agar para penyewa memperpanjang kontrak.

Lesunya daya beli konsumen kelas menengah dan atas membuat para pengembang berbondong-bondong hijrah ke menengah-bawah. "Sebab, hanya sektor ini yang masih menggeliat," kata Arthur.

Meski begitu, tingginya permintaan dan banyaknya penawaran rumah murah bukan jaminan proyek berjalan lancar. "Ada ekspektasi yang tidak ketemu di tengah-tengah antara penjual dan pembeli," kata Taufik. Pembeli, misalnya, disediakan rumah murah, tapi lokasinya jauh dan tidak strategis. Sedangkan pengembang tertekan oleh margin yang kecil. Berbeda dengan margin penjualan rumah kelas menengah ke atas yang bisa mencapai 20 persen lebih, margin rumah murah maksimal cuma 9 persen.

Margin sekecil itu pun kadang dikeluhkan terlalu tinggi. Padahal, kata Taufik, rumah yang dibangun para pengembang memakai dana pinjaman tanpa keringanan bunga. "Keringanan bunga hanya untuk pembeli," kata Taufik.

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono mengakui aturan birokrasi yang berbelit selama ini menjadi salah satu faktor yang menghambat pemerintah mengatasi backlog rumah sejumlah 15 juta unit per 2015. Untuk membangun perumahan, setidaknya ada 42 izin dengan jangka waktu 26 bulan yang harus diurus pengembang. Itu pun jika berjalan normal. "Izin ini akan kami sederhanakan menjadi delapan saja," kata Basuki.

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menambahkan, pemerintah sudah berupaya agar proses pembangunan bisa berjalan cepat dan lancar. "Namun kami khawatir pemerintah pusat sudah menjalankan tapi pemerintah daerah tidak memiliki semangat yang sama," ujar Bambang.

Tak sedikit pemerintah daerah yang belum sejalan mengenai pengurusan izin. Buktinya, masih banyak investor yang mengeluhkan proses tersebut terganjal di daerah. Ditambah masih maraknya pungutan liar. "Berbagai pungutan yang tidak perlu itu dihapus karena masih banyak yang tidak pas," kata Bambang.

Demi membantu sumber pembiayaan murah, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan mulai tahun ini melirik investasi ke sektor properti. Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Elvyn G. Massasya mengatakan lembanganya berencana bekerja sama dengan sejumlah bank untuk menyediakan kredit pembiayaan rumah bersubsidi. Harga tanah yang terus meningkat salah satu yang menjadi landasan kebijakan tersebut. "Kami sadar backlog rumah masih tinggi, terutama untuk peserta BPJS," kata Elvyn.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus