Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menunda Eksplorasi Sambil Melirik Properti

Para pengusaha tambang bersiasat di tengah ambrolnya harga. Dari melakukan moratorium eksplorasi hingga belok menyasar bisnis sampingan.

2 November 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA dump truck hijau hilir-mudik di antara gundukan tanah terbuka di lahan tambang batu bara di Kelurahan Sei Siring, Samarinda, Kalimantan Timur, Jumat siang akhir Oktober lalu. Secara bergantian, truk-truk besar yang sudah kosong muatannya mendekati sebuah ekskavator untuk diisi lagi dengan kerukan tanah sisa galian tambang.

Pekerjaan penggalian di lahan PT Buana Rizky Armia kali ini boleh dibilang ala kadarnya. Menurut direktur utama perusahaan itu, Umar Vaturusi, untuk menggarap tambang seluas sepuluh hektare tersebut, biasanya ia butuh tiga ekskavator. "Sekarang kami gali secukupnya. Yang penting tetap beroperasi," katanya saat ditemui akhir Oktober lalu.

Umar mengakui operasi perusahaan tak lagi semasif pada masa kejayaan batu bara, dua-tiga tahun lalu, ketika harganya sempat berada di level US$ 150 per ton. Kini, dengan harga batu bara melorot ke level US$ 60 per ton, biaya produksi yang masih tinggi tak lagi ekonomis. "Mendapat keuntungan Rp 50 ribu per ton saja sudah sangat bagus," ujarnya. Agar tak jatuh merugi, sekarang ia pilih-pilih pembeli.

Bisnis pertambangan memang sedang muram. Dua tahun belakangan, harga komoditas nonmigas ini mengalami penurunan. Tahun ini, rata-rata harga emas hitam terjun ke level US$ 61,36 per ton, dari rata-rata harga 2014 sebesar US$ 72,62 per ton.

Pengamat ekonomi dari Samuel Sekuritas, Lana Soelistianingsih, mengatakan penurunan ini merupakan efek pelemahan ekonomi Cina, sebagai pembeli paling besar. Harga komoditas ikut terseret anjlok karena permintaan Tiongkok berkurang jauh.

Bukan hanya batu bara, harga semua komoditas pertambangan, termasuk mineral, ikut melorot. "Harga komoditas selama ini ditentukan pasar eksternal. Tapi, kalau kita hanya menunggu perbaikan Cina, ya susah," kata Lana. Ia menyarankan produsen segera mencari solusi karena perlambatan masih bakal terjadi tahun depan. "Harus menciptakan pasar tujuan baru atau memaksimalkan konsumsi di dalam negeri."

Tapi bukan pengusaha namanya kalau lekas menyerah pada kelesuan ini. Banyak penambang mencoba menyiasatinya. PT Timah Tbk, misalnya, mulai melirik bisnis lain yang bisa menopang perusahaan. Salah satunya mengoptimalkan lahan perusahaan yang terbengkalai untuk mengembangkan properti. Dalam waktu dekat, PT Timah akan membangun perumahan. "Itu bagian dari menjaga kinerja perusahaan di tengah kondisi seperti ini," ujar Sekretaris Perusahaan PT Timah, Agung Nugroho.

Agung mengatakan ada 176 hektare lahan yang belum dimanfaatkan di wilayah Bekasi. Tanpa merinci nilai investasinya, dia menyebutkan, sebagai tahap awal, PT Timah akan membangun 1.500 rumah di area 25 hektare. Kemudian, secara bertahap, bisnis properti akan dikembangkan dengan membangun gedung perkantoran di kawasan Gambir, Jakarta Pusat.

PT Timah memang harus bergegas menemukan jalan keluar. Sebab, hasil laporan kinerja keuangan sepanjang semester pertama 2015 menunjukkan kerugian Rp 58,72 miliar, meski pendapatan naik 16,96 persen menjadi Rp 3,22 triliun. Pada periode yang sama tahun lalu, pendapatan perseroan tercatat Rp 2,75 triliun. Beban pokok penjualan bertambah karena harga timah terus melorot.

Perusahaan itu juga terpaksa menahan rencana eksplorasi baru agar tak kian tekor. Menurut Agung, moratorium akan dilakukan sampai harga timah berada di level yang diharapkan.

Sayangnya, data Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi di Kementerian Perdagangan menunjukkan kondisi yang belum akan membaik. Akhir Mei lalu, harga timah sudah di level US$ 15.495 per ton. Padahal, pada April 2014, harganya sempat mencapai level tertinggi, US$ 23.728 per ton.

Harga nikel pun ikut terjungkal. Pada Oktober 2014, harganya di London Metal Exchange masih US$ 16.115 per ton, sedangkan sekarang tinggal sekitar US$ 9.935.

Bagi PT Aneka Tambang, melemahnya harga nikel tidak menghambat proyek yang sudah direncanakan. Sekretaris Perusahaan Tri Hartono mengatakan pembangunan pabrik feronikel di Halmahera Timur, proyek smelter grade alumina di Mempawah, Kalimantan Barat, dan proyek anode slime tetap berlangsung. Perusahaan ini bahkan sedang membangun pembangkit listrik tenaga uap, yang menjadi salah satu paket perluasan pabrik feronikel di Pomala sekaligus upaya efisiensi biaya produksi.

Namun, Tri melanjutkan, Aneka Tambang berusaha memastikan tingkat biaya produksi tetap terjaga dalam berbagai proyek itu. Sebab, pada semester pertama 2015, Aneka Tambang sudah mencetak rugi bersih Rp 240,2 miliar. Berkaca pada situasi tersebut, perseroan meminta para vendor meninjau ulang struktur biayanya. "Harapan kami, harga akan terus membaik."

Analis MNC Securities, Edwin Sebayang, mengatakan langkah efisiensi seperti yang dilakukan PT Timah dan Aneka Tambang itu sudah tepat, terutama dengan menahan eksplorasi. Ia memprediksi pelemahan harga komoditas ini masih akan berlanjut hingga tahun depan. Penyebabnya bukan hanya perekonomian Cina. Faktor ketidakpastian global akibat rencana kenaikan bunga oleh bank sentral Amerika Serikat turut berpengaruh.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) Ladjiman Damanik mendorong para pelaku usaha pertambangan tak berkecil hati dengan kondisi global yang masih tak jelas. Salah satu resolusi yang bisa dilakukan adalah meningkatkan proses nilai tambah hasil tambang. Dia juga mengusulkan para pengusaha bekerja sama memasok hasil produksi ke smelter yang sudah ada.

"Ada anggota Apemindo yang mengirim ore dari Maluku ke Sulawesi. Dari Sulawesi dipasok ke smelter di Jawa Barat. Itu trennya agak bagus. Mengoptimalkan produksi, juga mendukung kebijakan hilirisasi," ujar Ladjiman.

Pemerintah pun melihat sinyal tahun depan masih redup buat para penambang. Menurut Sekretaris Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Agus Triboesono, harga minyak dunia yang rendah dan suplai yang berlimpah tak akan mendorong penguatan harga batu bara. "Tidak ada tanda-tanda perbaikan harga batu bara," katanya.

Meski begitu, Agus tak khawatir. Ia menilai penggunaan batu bara di dalam negeri justru bisa optimal sebagai bahan baku energi. Sebab, proyek pembangkit 35 ribu megawatt yang dicanangkan pemerintah mulai berjalan. Adapun untuk hasil tambang mineral, kebijakan penghiliran dan peningkatan nilai tambah akan terus digenjot.

Buktinya, penambang seperti Umar Vaturusi masih mampu bertahan, walaupun tak bisa lagi jorjoran. Agus menganggap sektor ini masih akan menjanjikan pada waktunya, yakni saat proyek-proyek pembangkit listrik mulai beroperasi. Dan ia berharap kondisi tahun depan setidaknya stabil seperti tahun ini, bukannya makin ambles. "Syukur-syukur kalau kembali normal."


TahunProduksiEksporDomestik
2016**419308111
2015**425323102
201445838276
201347440272
201241234567

Produksi Mineral Utama

Komoditas201020112012201320142015*2016*
Tembaga (ribu ton)878543448450416310310
Emas (ton)104767559677575
Timah(ribu ton)48429588745050
Bijih nikel (juta ton)73241603,9413**651**
Bijih bauksit (juta ton)163030562,8 - -
Pasir besi (juta ton)41210191,2 - -

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus