Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam dua hari, jabatan berbeda diemban Fajar Harry Sampurno. Pada Senin pagi, 18 November lalu, pria 53 tahun ini masih mengikuti rapat di Kementerian Koordinator Perekonomian sebagai Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian Badan Usaha Milik Negara. Esok harinya, dia duduk di meja jajaran direksi perusahaan pelat merah yang dikumpulkan Menteri BUMN Erick Thohir di Mandiri Club, Jakarta Selatan.
Siang itu, Selasa, 19 November lalu, Fajar telah dicopot dari jabatan deputi kementerian dan beralih menjadi Direktur Utama PT Barata Indonesia (Persero). Fajar menanggapi santai soal kedudukannya yang “melorot” itu. “Aku ini sudah 17 kali pindah, jadi direktur juga pernah. Jadi sudah biasa,” katanya saat ditemui di sebuah kafe di kawasan Mega Kuningan, Jakarta, Kamis malam, 21 November lalu.
Posisi baru Fajar memang tak begitu buruk. Empat tahun terakhir, Barata Indonesia lepas dari kubang kerugian. Laba perseroan tercatat merangkak naik saban tahun hingga mencapai Rp 67,5 miliar pada 2018. Dengan aset hanya senilai Rp 4,57 triliun, Barata juga digadang-gadang menjadi korporasi besar yang akan menaungi rencana pembentukan induk perusahaan (holding) BUMN industri alat berat. Itu sebabnya bos perusahaan ini turut dipanggil Menteri Erick dalam persamuhan di Mandiri Club, yang hanya mengundang 32 BUMN jumbo.
Namun perombakan di tubuh Kementerian BUMN ini tak biasa lantaran tujuh pejabat eselon I dipangkas habis secara bersamaan. Enam pejabat lain yang terpental adalah Sekretaris Kementerian Imam Apriyanto Putro, Deputi Bidang Infrastruktur Bisnis Hambra Samal, Deputi Bidang Usaha Industri Agro dan Farmasi Wahyu Kuncoro, Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Aloysius Kiik Ro, Deputi Bidang Usaha Jasa Keuangan, Jasa Survei, dan Konsultan Gatot Tri Hargo, serta Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik, Kawasan, dan Pariwisata Edwin Hidayat Abdullah. Mereka “dilempar” ke enam BUMN sebagai wakil direktur utama.
Lewat keterangan tertulis yang diedarkan pada Senin malam, 18 November lalu, Menteri Erick menyatakan telah menemui semua pejabat eselon I Kementerian BUMN yang dicopot. Dia menyebut keputusan ini hanya bagian dari tour of duty. Tapi mantan Ketua Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma’ruf Amin ini menyebut kebijakannya sebagai restrukturisasi kementerian untuk menciptakan birokrasi yang efektif dan efisien seperti diamanatkan Presiden Jokowi.
Erick menjelaskan, dia telah memiliki dua wakil menteri, yakni Budi Gunadi Sadikin dan Kartika Wirjoatmodjo. Mantan bos PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk itu akan mengawasi semua BUMN yang selama ini dipegang lima deputi. Kelak hanya ada tiga deputi di tubuh kementerian, yakni bidang sumber daya manusia, bidang hukum, dan bidang keuangan. Tugasnya tak berhubungan langsung dengan perusahaan negara. Pendek kata, menurut Erick, dia mengkorporasikan birokrasi. “Birokrasi harus me-ngerti permasalahan di korporasi.”
Menteri BUMN Erick Thohir bersama Wakil Menteri dan Deputi Kementerian BUMN lama di Jakarta, awal November 2019./bumn.go.id
SIANG sebelum Erick Thohir melansir jawaban tertulis itu, Budi Gunadi Sadikin dan Kartika Wirjoatmodjo mengumpulkan semua pejabat eselon II dan III kementerian di lantai 21 gedung Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Jakarta Pusat. Posisi itu diisi asisten deputi dan kepala bidang.
Dalam pertemuan itu, kata dua pejabat kementerian, Budi dan Tiko—panggilan Kartika—menyatakan akan ada perubahan struktur organisasi. Namun kedua Wakil Menteri BUMN tersebut tak menyinggung soal pemangkasan jajaran eselon I.
Keputusan presiden tentang pemberhentian tujuh pejabat eselon I Kementerian BUMN sebetulnya sudah tiba di Medan Merdeka Selatan—kantor Kementerian BUMN—pada Kamis malam, 14 November lalu. Pada hari yang sama, keputusan presiden itu diteken. Isinya berasal dari rapat tim penilai akhir (TPA) yang berlangsung dua hari sebelumnya, Selasa, 12 November. Tim tersebut antara lain beranggotakan Presiden, Wakil Presiden, dan Menteri Erick.
Menerima keputusan presiden, tim administrasi di bawah Wakil Menteri Budi Gunadi menyiapkan surat keputusan pemberhentian pada Jumat, 15 November. Hendak disimpan rapat dari publik agar tak timbul kegaduhan, rencana perombakan justru dilontarkan Wakil Presiden Ma’ruf Amin pada hari yang sama. “Yang khusus di TPA baru tentang pemberhentian tujuh pejabat di lingkungan BUMN. Tapi penggantiannya belum,” ucap Ma’ruf kepada awak media.
Kala itu, Ma’ruf tak menjelaskan detail lingkungan BUMN yang dimaksud adalah kementerian atau perusahaan milik negara. Meski demikian, bocoran tersebut sudah cukup membuat Fajar Harry segera mengemasi barangnya di kantor pada Sabtu, 16 November lalu.
Tiga pejabat kementerian yang ditemui Tempo secara terpisah menjelaskan, restu Jokowi terhadap perombakan ini tak semata untuk merampingkan birokrasi. Pemicu utamanya, kata mereka dalam bahasa serupa, adalah Jokowi telah lama mendengar adanya praktik jual-beli jabatan direksi BUMN yang diduga melibatkan pejabat eselon I. Topik ini menjadi salah satu isi pembicaraan di Istana Negara, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat.
Dua sumber Tempo mengungkapkan, praktik jual-beli jabatan itu antara lain berupa setoran berjemaah para direktur untuk pejabat teras Kementerian BUMN. Setor-an ini biasanya memanfaatkan masa pencairan tantiem direksi. Mereka memberikan petunjuk untuk menyoroti para direktur yang “naik kelas” alias dipindahkan ke BUMN yang lebih besar kendati tak berprestasi di perusahaan sebelumnya. Itu sebabnya pula, selepas membereskan administrasi perubahan struktur kementerian, Menteri Erick bersiap merombak manajemen perusahaan pelat merah.
Juru bicara Presiden, Fadjroel Rachman, enggan menjawab ketika ditanyai tentang sikap Jokowi yang merestui perombakan di tubuh Kementerian BUMN. “Tanya ke Arya Sinulingga,” ujar Fadjroel saat dihubungi Ahmad Faiz dari Tempo, Jumat, 22 November lalu.
Arya Sinulingga yang dimaksud adalah anggota staf khusus Menteri BUMN yang baru diangkat Erick pada awal November lalu. Kepada Putri Adityowati dari Tempo, bekas Ketua Bidang Media dan Komunikasi Massa Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Indonesia itu menegaskan bahwa keputusan tersebut berasal dari Menteri Erick. “Ini langsung dari Pak Erick saja, bukan Presiden,” kata Arya di kantor Kementerian BUMN, Jumat, 22 November lalu.
KEMENTERIAN Badan Usaha Milik Negara merupakan salah satu kementerian yang paling banyak disorot. Membawahkan 113 perusahaan milik negara—belum termasuk anak dan cucunya—dengan aset senilai hampir Rp 8.200 triliun, kementerian ini dianggap sebagai lembaga pemerintah yang paling basah. Tahun ini, pemerintah menargetkan perolehan dividen senilai Rp 49 triliun dari perusahaan negara. Angka ini belum mencakup setoran pajak penghasilan perseroan.
Namun, selama periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, BUMN juga banyak menorehkan ponten merah. Banyak pejabat BUMN dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi. Pada Rabu, 31 Juli lalu, misalnya, komisi antirasuah menangkap Andra Y. Agussalam, yang kala itu menjabat Direktur Keuangan PT Angkasa Pura II (Persero), dalam dugaan suap proyek anak perusahaan yang juga melibatkan Direktur Utama PT Industri Telekomunikasi Indonesia (Persero) Darman Mappangara. Selain itu, korupsi terungkap dalam sejumlah proyek perusahaan pelat merah lintas sektor, dari asuransi, energi, hingga sarana transportasi.
Neraca keuangan perusahaan negara belakangan juga dihadapkan pada tren meningkatnya rasio utang terhadap ekuitas. Meski tak setinggi era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, debt-to-equity ratio yang membengkak mulai membawa sejumlah perseroan ke ambang krisis, seperti PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. Utang juga menggunung di sejumlah BUMN konstruksi yang mendapat banyak tugas menggarap proyek infrastruktur pada periode pertama kepemimpinan Jokowi.
Kasus rekayasa laporan keuangan PT Garuda Indonesia Tbk tahun buku 2018 menambah suram wajah perusahaan pelat merah. Klaim GIAA—kode emiten Garuda—meraup laba Rp 70,02 miliar pada tahun lalu terbukti polesan sehingga Otoritas Jasa Keuangan menghukum perseroan menyajikan ulang laporan keuangannya. Dalam revisi laporan keuangan, maskapai penerbangan nasional tersebut ternyata merugi Rp 2,45 triliun.
Pada periode pertama Jokowi pula skandal PT Asuransi Jiwasraya (Persero) meletup. Jiwasraya gagal membayar polis bancassurance (bank-asuransi) yang jatuh tempo. Belakangan, diketahui perusahaan juga menaruh investasinya ke portofolio secara serampangan. Kementerian BUMN telah meminta kejaksaan menelusuri dugaan fraud dalam perkara ini.
Pada sisi lain, sejumlah proyek strategis nasional tak berjalan sesuai dengan rencana. Janji Jokowi mempercepat pembangunan dan pengembangan kilang bahan bakar minyak untuk memperkuat ketahanan energi dan meredam tingginya tingkat impor tak kunjung terealisasi. PT Pertamina (Persero), yang ditugasi melaksanakan proyek Refinery Development Master Plan, tak pernah stabil berbisnis. Selama lima tahun, BUMN terbesar dan paling strategis ini harus tiga kali berganti nakhoda.
Setumpuk masalah BUMN itu menjadi bagian dari pekerjaan rumah Menteri Erick Thohir. Walhasil, alih-alih ekspansif, Erick mengawali kerjanya dengan membenahi tata kelola kementerian dan perseroan. Dia menyatakan butuh orang-orang yang tidak hanya cerdas, tapi juga berakhlak baik. “Memiliki integritas tinggi dan komitmen yang kuat,” tutur Erick dalam keterangan tertulis mengenai perombakan jajaran eselon I Kementerian BUMN, Senin, 18 November lalu.
Pesan senada dilontarkan Erick dalam pertemuan di Mandiri Club. Di depan para direktur utama dan komisaris utama 32 BUMN, dia mewanti-wanti manajemen perseroan agar tidak lagi menggeber lobi demi mempertahankan jabatan. Seorang direktur utama perusahaan pelat merah yang ikut dalam pertemuan itu mengungkapkan, Menteri Erick menyatakan sudah tahu ada pejabat eselon I yang punya kuasa menempatkan orang di direksi BUMN.
Arya Sinulingga membenarkan pesan bosnya. “Mereka enggak perlu lobi-lobi. Kalau bottom line bagus (untung), enggak usah khawatir,” ujarnya.
Menurut Fajar Harry, bos barunya itu memang menekankan kepada direksi agar berakhlak baik, loyal, berfokus pada pembenahan kinerja, dan bisa bekerja secara tim. Namun, sebagai bagian dari barisan pejabat lama Kementerian BUMN, Fajar menyatakan tidak mengerti soal lobi-lobi yang dimaksud Erick. “Dulu itu memang banyak kasak-kusuk, banyak apalah. Tapi, sejak Ibu Rini (Soemarno) jadi menteri, betul-betul dirapikan,” katanya.
KHAIRUL ANAM, RETNO SULISTYOWATI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo