Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua pekan setelah dilantik sebagai Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian mengundang Monica Tanuhandaru ke kantornya di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat. Memenuhi undangan tersebut, Direktur Eksekutif Partnership for Governance Reform atau Kemitraan—lembaga pemerhati reformasi pemerintahan di berbagai bidang—itu mengajak semua direktur dan penelitinya bertemu dengan Tito.
Menurut Monica, Tito sebagai pejabat baru di kementerian itu ingin mendengarkan masukan tentang pelaksanaan demokrasi, termasuk mengenai model kepemiluan. “Mungkin karena kami yang dulu mendorong desentralisasi dan reformasi sistem pemilu,” ujar Monica kepada Tempo pada Jumat, 22 November lalu.
Ia bercerita, salah satu topik pembahasan dalam pertemuan yang digelar pada awal November itu adalah biaya pemilihan kepala daerah yang tinggi. Kemitraan menyebutkan soal perlunya kajian terhadap dampak biaya tinggi yang dibutuhkan kepala daerah. Bisa saja, kata Monica, terjadi transaksi berupa kebijakan yang menguntungkan donatur calon kepala daerah yang terpilih.
Tito, menurut Monica, ingin mengetahui dampak positif dan negatif pemilihan kepala daerah yang berlangsung sejak 2005. Tito pun meminta Kemitraan mengevaluasi pemilihan kepala daerah secara langsung dengan basis akademik. Kemitraan menyanggupi permintaan ini dengan syarat penelitiannya tidak diintervensi. “Kami tak mau menjadi pembenar atau stempel atas sebuah kebijakan,” kata Monica.
Setelah pertemuan tersebut, Tito memunculkan wacana perlunya evaluasi terhadap sistem pemilihan kepala daerah sesuai dengan rapat bersama Komisi Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat pada Rabu, 6 November lalu. Menurut Tito, meskipun mampu meningkatkan partisipasi masyarakat dalam demokrasi, pemilihan kepala daerah secara langsung memiliki dampak negatif. Salah satunya terkait dengan biaya yang sangat tinggi.
Tito menyebutkan calon kepala daerah umumnya harus memiliki duit Rp 30 miliar untuk berlaga. “Bupati, kalau enggak punya Rp 30 miliar, enggak akan berani. Wali kota dan gubernur lebih tinggi lagi,” ujar mantan Kepala Kepolisian RI ini. “Kalau dia bilang enggak bayar, nol persen, saya mau ketemu orangnya.”
“Untuk yang indeks kedewasaan berdemokrasinya rendah, kita lakukan mekanisme lain, misalnya dipilih lewat DPRD.”
— Tito Karnavian, Menteri Dalam Negeri
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik Piliang juga mempersoalkan biaya tersebut. Akmal mengatakan riset lembaganya pada 2012 menunjukkan calon bupati atau wali kota membutuhkan duit Rp 20-50 miliar untuk berkompetisi dalam pilkada. Ongkos tersebut dinilai tak sebanding dengan penghasilan mereka jika terpilih sebagai kepala daerah. Menurut Akmal, penghasilan bersih seorang kepala daerah di tingkat kabupaten atau kota hanya sekitar Rp 50 juta per bulan atau Rp 600 juta per tahun atau Rp 3 miliar selama lima tahun masa jabatan. “Ada yang tidak rasional dari sisi pasangan calon,” ucap Akmal.
Tito Karnavian meminta Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri membuat indeks kedewasaan berdemokrasi, yang akan menentukan kluster suatu daerah. Salah satu cara meng-ukurnya adalah dengan melihat, misalnya, seberapa permisif suatu kelompok masyarakat terhadap politik uang. Tito mencontohkan, ada masyarakat di daerah terpencil yang tidak peduli terhadap program kerja calon kepala daerah. Mereka biasanya memilih berdasarkan “logistik” yang dibawa si calon untuk daerah tersebut.
Evaluasi pilkada, kata Tito, akan menentukan nasib pemilihan kepala daerah. Jika evaluasi menunjukkan pemilihan secara langsung memiliki lebih banyak sisi positif, Tito tak berkeberatan sistem tersebut dilanjutkan. Tapi dia menegaskan pemerintah tetap akan mencari solusi untuk menekan tingginya ongkos dalam pilkada.
Menurut Tito, daerah yang memiliki tingkat kedewasaan berpolitik tinggi bisa tetap menggunakan sistem pemilihan langsung. Tito menyatakan pemilihan kepala daerah di negeri ini bisa menggunakan sistem asimetris, yang memungkinkan sistem pemilu di satu daerah berbeda dengan daerah lain. “Untuk yang indeks kedewasaan berdemokrasinya rendah, kita lakukan mekanisme lain, misalnya dipilih lewat DPRD,” tutur Tito.
Niat Tito menerapkan sistem pilkada asimetris didukung sejumlah partai pendukung pemerintah Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto mengatakan partainya mendukung penuh usul Tito. Hasto menekankan perlu adanya sistem berbeda untuk daerah yang memiliki potensi konflik tinggi. “Maka di daerah tersebut kita galakkan pemilu asimetris,” ujar Hasto.
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto di kediaman Megawati Soekarnoputri di Jakarta, 24 Oktober 2019./TEMPO/Hilman Fathurrahman W.
Wakil Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya Sufmi Dasco Ahmad juga mendukung pemilihan oleh DPRD. Menurut dia, pemilihan lewat anggota Dewan justru lebih efektif dan efisien. Ia menegaskan, konstitusi tak menyebutkan dengan tegas bahwa kepala daerah mesti dipilih langsung oleh rakyat. Mengutip Pasal 18 ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945, Wakil Ketua DPR ini mengatakan kepala daerah dipilih secara demokratis.
Politikus Golkar yang juga Ketua Komisi Pemerintahan DPR, Ahmad Doli Kurnia, mengatakan belum ada pembahasan resmi terkait dengan usul pemerintah. Namun ia menilai ada sejumlah opsi untuk sistem pemilihan. Doli berujar, pemilihan bupati dan wali kota sebaiknya tetap melalui pilkada. Sedangkan gubernur, yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat, bisa dipilih DPRD. “Atau bisa juga gubernur ditunjuk sebagai perwakilan pemerintah pusat,” ujar Doli. Sistem serupa disampaikan Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani.
Namun Partai NasDem, yang juga pendukung Jokowi-Ma’ruf, menolak rencana tersebut. Wakil Ketua Komisi Pemerintahan DPR dari Partai NasDem, Saan Mustopa, mengatakan pemilihan tak langsung berpotensi menghambat lahirnya pemimpin berkualitas dan melanggengkan oligarki politik. “Nanti tak lahir pemimpin bagus seperti Pak Jokowi dan Bu Risma (Wali Kota Surabaya),” tutur Saan.
Presiden Partai Keadilan Sejahtera Muhammad Sohibul Iman mengatakan pemilihan tak langsung akan memudahkan politikus mengelola oligarki. “Pemilihan langsung lebih baik ketimbang pemilihan oleh DPRD.” Sedangkan Ketua Fraksi Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono melalui akun Twitternya menyatakan pemilihan oleh DPRD bisa diselenggarakan setelah 2024. Syaratnya, usul itu harus didukung pemerintah, parlemen, dan rakyat.
Upaya mengembalikan pemilihan kepala daerah ke tangan dewan perwakilan rakyat daerah pernah muncul pada September 2014. Saat itu, Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang menyebutkan kepala daerah dipilih DPRD. Menuai kritik dari publik, presiden saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono, mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang isinya mengembalikan lagi pilkada langsung.
Para penentang pemilihan kepala daerah oleh DPRD menilai rencana Tito Karnavian sebagai langkah mundur demokrasi. Politikus Partai NasDem, Effendy Choirie, mengatakan usul tersebut hanya akan menguntungkan segelintir partai yang berkoalisi untuk menempatkan calon pilihan mereka di daerah.
Namun Wakil Ketua Komisi Pemerintahan DPR dari PDI Perjuangan, Arif Wibowo, membantah anggapan bahwa partainya, yang menjadi pemenang pemilu, diuntungkan dengan sistem pemilihan oleh DPRD. “Hitung-hitungan politis tidak sama dengan hitungan matematis,” ujarnya. Arif pun membantah kabar bahwa ide itu merupakan gagasan partainya. “Kajiannya saja belum ada.” Ia mendesak pemerintah segera mengeluarkan kajian tersebut.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini pun menilai berbagai alasan yang dikemukakan Menteri Dalam Negeri tak tepat. Dia mencontohkan, kajian lembaganya menunjukkan biaya kampanye yang dilaporkan calon kepala daerah ke Komisi Pemilihan Umum. “Tidak ada di atas Rp 30 miliar untuk kabupaten atau kota dan ratusan miliar untuk gubernur. Itu hanya klaim,” tuturnya.
Titi dan Effendy Choirie menduga rencana ini bisa berlanjut ke pemilihan presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Belakangan, muncul gagasan mengamendemen Undang-Undang Dasar 1945, yang dikhawatirkan menjadi pintu masuk pemilihan presiden oleh MPR. Apalagi, kata Titi, saat ini narasi sejumlah partai, seperti PDIP dan Gerindra, sudah satu napas mendukung amendemen dan perubahan sistem pemilu. “Kalau mereka bergabung, tinggal mengkondisikan siapa yang akan menguasai suatu daerah,” ujar Titi.
Pemerintah pun tak satu kata dengan usul Tito Karnavian. Presiden Joko Widodo masih memilih sistem pemilihan seca-ra langsung dengan alasan sejalan dengan semangat reformasi. Juru bicara Istana, Fa-djroel Rachman, mengatakan evaluasi yang dimaksud oleh Kementerian Dalam Negeri adalah soal teknis penyelenggaraannya. Adapun mengenai sistem pemilihan, “Presiden Jokowi mengatakan pilkada provinsi dan kabupaten atau kota tetap melalui mekanisme pemilihan langsung,” ujar Fadjroel.
WAYAN AGUS PURNOMO, DEWI NURITA, BUDIARTI UTAMI PUTRI, AHMAD FAIZ
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo