Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Superinduk di Ujung Tanduk

Rencana melahirkan superholding perusahaan negara terancam bubar lantaran dianggap bakal ruwet secara politik. Pembentukan induk sektoral pun dikaji ulang.

23 November 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Erick Thohir (kiri) dan Basoeki Hadimoeljono dalam acara pengecoran terakhir jembatan lengkung bentang panjang kereta ringan di Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejumlah bos perusahaan milik negara berkumpul di Mandiri Club, kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa, 19 November lalu. Siang itu, para direktur utama dan komisaris utama tersebut memenuhi undangan Erick Thohir, yang baru sebulan menjadi Menteri Badan Usaha Milik Negara. Mereka petinggi 32 perusahaan pelat merah yang mendominasi total aset BUMN, seperti PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), dan empat bank negara.

Agendanya awalnya sederhana: makan siang. Namun dalam forum itu pula sejumlah arahan dilontarkan Erick kepada para anak buahnya yang menguasai lebih dari separuh total aset BUMN tersebut. Satu yang paling penting berkaitan dengan rencana pembentukan induk perusahaan negara alias holding BUMN. “Seluruh kebijakan holding masih dalam tahap konsolidasi dan pengkajian ulang,” kata juru bicara Kementerian BUMN, Arya Sinulingga, sore hari seusai pertemuan.

Arya tak menjelaskan detail evaluasi yang dimaksud. Namun sejumlah pejabat BUMN mengungkapkan bahwa kelanjutan rencana pembentukan superinduk perusahaan alias superholding paling tidak jelas. “Finished,” ucap salah seorang petinggi tersebut.

Mantan Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN yang kini menjabat Direktur Utama PT Barata Indonesia (Persero), Fajar Harry Sampurno, hadir dalam pertemuan di Mandiri Club. Dia membenarkan kabar bahwa Menteri Erick tak akan melanjutkan konsep superholding warisan menteri sebelumnya, Rini Soemarno. “Kalau superholding, enggak mungkin. DPR enggak setuju dan lain-lain,” ujarnya.

GAGASAN membentuk superholding mengemuka dalam debat pemilihan presiden putaran kelima, 13 April lalu. Saat itu, Joko Widodo menyebutkan rencana ini ketika menjawab pertanyaan Sandiaga Salahuddin Uno, calon wakil presiden yang berpasangan dengan Prabowo Subianto, tentang strategi Jokowi membangun BUMN sebagai perusahaan tepercaya kelas dunia. “Akan ada superholding di atas induk-induk perusahaan,” tutur Jokowi.

Menteri BUMN saat itu, Rini Soemarno, pun bergerak cepat untuk mewujudkan janji Jokowi. Ia menerbitkan surat keputusan pembentukan tim pengkaji pendirian superholding pada 7 Mei 2019. Rini merekrut sejumlah akademikus dan praktisi untuk merampungkan konsepya. Dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, misalnya, ada guru besar hukum bisnis Nindyo Pramono, pakar hukum Zainal Arifin Mochtar, pakar ekonomi dan bisnis Rima-wan Pradiptyo, serta Ketua Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Revrisond Baswir. Dari Universitas Indonesia, ada guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Rhenald Kasali, serta Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Ari Kuncoro.

Struktur organisasi bakal lembaga tersebut telah disiapkan. Dewan komisaris, contohnya, maksimal diisi sembilan orang. Direksi diisi kalangan profesional yang berpengalaman internasional. Direktur utama mempunyai kedudukan sama dengan anggota kabinet. Di atas komisaris dan direktur, ada dewan pengarah yang dipimpin langsung oleh presiden.

Kepada Tempo, Rini pernah menjelaskan bahwa adanya superholding akan membuat perusahaan negara lebih leluasa bekerja sama dan berkompetisi di tingkat global. Masalahnya, konsep ini memerlukan revisi Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara. “Kami sedang mengkaji. Nanti kami tinjau juga dengan Menteri Sekretaris Negara,” ujarnya di sela jalan pagi bersama beberapa pejabat eselon I Kementerian BUMN beserta direktur utama perusahaan negara di Gelora Bung Karno, Jakarta, 19 Juli lalu.

Senada, Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata pernah mengatakan model ini akan meningkatkan kapasitas perusahaan pelat merah. Dengan begitu, BUMN bakal lebih lincah bermanuver dan mengambil peluang. “Idealnya, kalau sampai ke superholding, kita membayangkan satu korporasi besar yang menaungi, yang pengambilan keputusannya sangat luwes,” ucap Isa, 31 Juli lalu. Menurut dia, pemerintah masih mengkaji model yang pas untuk super-holding Indonesia.

Hingga Kamis, 21 November lalu, Isa meyakinkan bahwa pembahasan induk perusahaan masih berjalan. “Pada tataran teknis tetap berlangsung. Kajian strategis dilihat kembali satu per satu untuk memastikan prioritasnya.”

MENUJU misi pembentukan super-holding, Kementerian Badan Usaha Milik Negara terus menggeber pembentukan induk-induk perusahaan pelat merah berdasarkan sektor usaha. Konsep induk BUMN sebenarnya telah lama digagas. Sebelum Rini Soemarno menjabat, empat holding sudah berdiri, yakni di sektor semen, pupuk, perkebunan, dan kehutanan.

Semula empat induk BUMN ditargetkan lahir pada tahun ini, yakni di sektor infrastruktur, perumahan, sarana-prasarana penerbangan, dan farmasi. Keempatnya dijadwalkan menyusul induk perusahaan pertambangan serta minyak dan gas bumi, yang berturut-turut terbentuk dua tahun terakhir.

Gedung Kementerian BUMN./http://bumn.go.id

Induk perusahaan sektor farmasi sukses lahir dengan PT Bio Farma (Persero) sebagai holding yang memayungi PT Kimia Farma Tbk dan PT Indofarma Tbk. Induk BUMN farmasi ini resmi berdiri setelah Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2019 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke Dalam Perusahaan Perseroan Bio Farma pada 19 Oktober lalu.

Berbeda dengan di sektor farmasi, rencana membangun induk perusahaan di sektor infrastruktur belakangan justru terancam kandas seperti mimpi superholding. Kementerian BUMN merancang holding ini dengan menjadikan PT Hutama Karya (Persero) sebagai indung BUMN karya, seperti PT Waskita Karya (Persero) Tbk, PT Jasa Marga (Persero) Tbk, PT Adhi Karya (Persero) Tbk, dan PT Yodya Karya (Persero). Namun penolakan muncul dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Menteri Pekerjaan Umum Basoeki Hadimoeljono mengakui belum menandatangani dokumen pembentukan holding karya. “Memang harus ada persetujuan menteri. Beberapa menteri harus menandatangani, saya belum,” katanya di kantor Kementerian Pekerjaan Umum, Jakarta, Kamis, 21 November lalu.

Basoeki khawatir status baru sebagai induk perusahaan kelak membuat BUMN karya tidak lagi bisa bersaing dalam tender. Padahal pemerintah tengah merencanakan banyak proyek infrastruktur. “Hukumnya, kalau sudah holding kan enggak bisa ikut tender. Di atas Hutama Karya. Nanti yang di bawahnya, seperti Waskita, tidak bisa ikut tender, hanya satu,” ujarnya. Karena itu, ia memilih menunggu kebijakan Menteri BUMN yang baru, Erick Thohir.

Dia menyatakan akan mendukung pembentukan holding jika semua perusahaan karya di dalamnya tetap bisa mengikuti lelang proyek. Sebab, jika tidak, jumlah perusahaan pelat merah peserta tender bakal menyusut. “Jadi apa dulu tujuan holding-nya? Kan, tujuan holding agar besar dan kuat,” tutur Basoeki. “Kalau ini kan sudah besar, misalnya PP atau Waskita. Ke sana tujuannya apa? Bukan berarti saya tak setuju, lho.”

Arya Sinulingga memastikan Kementerian BUMN akan menggeber studi lanjutan tentang kebijakan holding infrastruktur dan dampaknya pada masa mendatang. “Kalau kecil kemungkinannya, ya, harus cepat diputuskan,” ucapnya, Rabu, 20 November lalu.

RETNO SULISTYOWATI, CAESAR AKBAR, FRANCISCA CHRISTY

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEKERJAAN RUMAH MENTERI ERICK

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Retno Sulistyowati

Retno Sulistyowati

Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo pada 2001 dengan meliput topik ekonomi, khususnya energi. Menjuarai pelbagai lomba penulisan artikel. Liputannya yang berdampak pada perubahan skema impor daging adalah investigasi "daging berjanggut" di Kementerian Pertanian.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus