Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENGHADIRI rapat kerja dengan Komite I Dewan Perwakilan Daerah pada 18 November lalu, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian langsung meralat ucapannya tentang sistem pemilihan kepala daerah. Dalam pertemuan yang beragenda membahas otonomi dan perizinan di daerah itu, Tito menjelaskan tak pernah berniat mengubah sistem pencoblosan langsung. “Saya tak pernah bilang pemilihan lewat dewan perwakilan rakyat daerah,” katanya.
Sekitar dua pekan sebelumnya, seusai rapat dengan Komisi Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat, Tito mengungkapkan ingin mengevaluasi pelaksanaan pemilihan gubernur dan bupati. Tito menilai sistem pemilihan saat ini menimbulkan ongkos politik yang mahal. Dalam catatan mantan Kepala Kepolisian RI itu, kandidat bupati harus punya duit minimal Rp 30 miliar untuk pencalonan. Bahkan dia meyakini tak ada calon yang tak mengeluarkan duit sepeser pun.
Menurut Tito, pemilihan kepala daerah lewat voting di parlemen bukan satu-satunya opsi yang ditimbang pemerintah. Kementerian memastikan akan tetap mempertahankan model pencoblosan langsung di sejumlah daerah. Kemungkinan lain, pemerintah menerapkan pilkada asimetris. Yang dimaksud asimetris adalah sistem yang memungkinkan adanya perbedaan mekanisme pelaksanaan pilkada antardaerah karena sejumlah faktor, antara lain sejarah, budaya, dan kondisi geografis. “Saya tak mengatakan mana yang lebih baik dari ketiga pilihan itu, tapi kami akan melakukan kajian akademik,” ujar Tito.
Usul penerapan pilkada asimetris ini mendapat dukungan dari sejumlah partai politik pendukung pemerintah Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto mengatakan sistem asimetris bisa menekan potensi konflik dan biaya pilkada yang mahal di wilayah tertentu. Sedangkan Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani menilai gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah bisa dipilih DPRD. Adapun bupati dan wali kota dipilih rakyat karena memegang mandat otonomi. “Gagasan ini untuk mem-perkuat rezim otonomi,” ucap Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat ini.
Indonesia sebenarnya sudah menganut sistem pilkada asimetris, yakni di Aceh, DKI Jakarta, Yogyakarta, dan Papua. Di Serambi Mekah, calon kepala daerahnya berasal dari partai lokal. Sedangkan di Jakarta, wali kota dan bupati diusulkan gubernur dan disetujui DPRD. Berbeda halnya Yogyakarta. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta mengatur bahwa gubernur merupakan pemegang takhta kesultanan, yaitu Sultan Hamengku Buwono, dan wakilnya adalah Adipati Paku Alam. Adapun masyarakat Papua menggunakan sistem noken.
Di lingkup internal Kementerian Dalam Negeri, varian pemilihan secara asimetris dikaji secara serius. Menurut Direktur Jenderal Otonomi Daerah Akmal Malik Piliang, pilkada langsung tetap diterapkan di daerah yang memiliki indeks demokrasi yang tinggi. Indeks demokrasi dirilis Badan Pusat Statistik setiap tahun dengan tiga indikator utama, yakni kebebasan sipil, hak politik, dan lembaga demokrasi. Daerah seperti DKI Jakarta dan Bali, yang punya indeks di atas 75, dianggap layak menyelenggarakan pemilihan langsung.
Mengantongi sejumlah pilihan model pilkada secara asimetris, pemerintah tak akan menerapkannya dalam pilkada 2020 karena tahap pencalonan sudah dimulai. Menurut Akmal Malik, pilkada secara asimetris baru bisa dilaksanakan pada 2024.
Opsi lain adalah model asimetris berbasis kondisi geografis, seperti perbatasan dan pesisir. Di daerah yang situasi alamnya ekstrem, pemerintah berencana membedakan teknis pemungutan dan rekapitulasi suara. Sebab, biaya operasional pilkada di daerah itu sangat besar untuk calon kepala daerah serta penyelenggara pemilihan. Di daerah dengan karakteristik tersebut, pemerintah akan menerapkan sistem pemilihan elektronik (e-voting) dan rekapitulasi elektronik (e-recap). “Model ini diperkirakan menghemat ongkos penyelenggaraan dan menyederhanakan mekanisme pemilihan,” kata Akmal.
Mengantongi sejumlah pilihan model pilkada secara asimetris, pemerintah tak akan menerapkannya dalam pilkada 2020 karena tahap pencalonan sudah dimulai. Menurut Akmal, pilkada secara asimetris baru bisa dilaksanakan pada 2024.
Bukan kali ini saja Kementerian Dalam Negeri mengusulkan revisi model pemilihan kepala daerah. Pada akhir periode kedua pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, kementerian ini juga mengusulkan pergantian model pemilihan kepala daerah. Direktur Jenderal Otonomi Daerah 2010-2014, Djohermansyah Djohan, menceritakan saat itu pemerintah ingin mengubah pemilihan gubernur dari pencoblosan langsung menjadi voting di parlemen. Adapun pemilihan bupati dan wali kota tetap secara langsung. Usul itu tertuang dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Menurut Djohermansyah, alasan perubahan pemilihan gubernur adalah pemerintah provinsi hanya mengurus sebagian kecil tugas otonomi daerah, seperti sektor pariwisata dan transmigrasi. Sedangkan tugas pokok otonomi, seperti pendidikan dan kesehatan, digarap bupati dan wali kota. “Karena urusan bupati dan wali kota lebih banyak dan substansial, mereka harus mendapat legitimasi dari rakyat lewat pemilihan langsung,” ujar Djohermansyah, kini pengajar di Institut Pemerintahan Dalam Negeri.
Mendekati pengesahan rancangan undang-undang pada September 2014, pelaksanaan pilkada mengerucut menjadi dua opsi, yaitu pemilihan langsung atau lewat DPRD. Pemerintah mengusung opsi pemilihan langsung. Senayan pada waktu itu terbelah menjadi dua kubu: Koalisi Indonesia Hebat, yang mendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla, ngotot dengan pemilihan kepala daerah secara langsung, sedangkan Koalisi Merah Putih, pengusung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, ingin sebaliknya.
Rapat paripurna DPR akhirnya mengesahkan rancangan undang-undang dengan mekanisme pemilihan lewat DPRD. Saat itu, voting menghasilkan 226 berbanding 135 suara yang memilih pilkada langsung. Sebanyak 139 anggota fraksi Partai Demokrat—partai asal Yudhoyono—memutuskan walk out.
Belum sempat berlaku sehari, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota itu dianulir Yudhoyono dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014. Ketua Umum Partai Demokrat itu memutuskan pemilihan kepala daerah tetap dilaksanakan dengan sistem langsung, bukan voting di DPRD.
Djohermansyah mengatakan model pemilihan kepala daerah secara langsung sudah saatnya dikaji ulang. Ia sepakat dengan sistem pemilihan secara asimetris berdasarkan kekhasan dan karakter pemilih di suatu daerah. “Perlu ada sistem yang bisa mengakomodasi keberagaman budaya dan sistem sosial-politik masyarakat Indonesia,” ujarnya.
RAYMUNDUS RIKANG, BUDIARTI UTAMI PUTRI, DEWI NURITA
Mahal karena Mahar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo