Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Misi Menjerat Sang Wali

Meski dibidik dengan isu terorisme, sulit menangkap Hasan Tiro di Swedia.

8 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI rumah berlantai dua di kawasan Alby, sebelah selatan Stockholm, tiga tokoh Gerakan Aceh Merdeka di Swedia menyimak siaran televisi dengan takzim. Berkali-kali wajah Perdana Menteri Malik Mahmud, Menteri Luar Negeri Zaini Abdullah, dan juru bicara Bakhtiar Abdullah, tampil dalam siaran berita di layar kaca itu. Mereka kini sibuk melayani wartawan, tepatnya sejak hubungan politik Indonesia dan Swedia meruncing pekan silam. Hasan Tiro, kini 78 tahun, tak begitu dikenal, juga warga negara tanpa status khusus. Tapi sekarang tokoh yang dianggap Jakarta sebagai pentolan gerakan perlawanan bersenjata di Aceh itu sering tampil sebagai berita utama di sana. Tak putus-putusnya wartawan mengalir ke Alby. Mereka ingin tahu siapa Hasan Tiro, yang sudah membuat Indonesia begitu marah kepada Swedia. Perkembangan sikap Jakarta ini selalu diikuti Hasan Tiro dkk. dari rumah di Alby tadi. "Omong kosong," tiba-tiba Bakhtiar memekik keras. Air muka lelaki berperawakan tegap itu sontak mengeras. Di televisi, seorang reporter menyebut Indonesia menuding pemimpin GAM, Teungku Hasan di Tiro, beserta para pembantunya di Swedia menjadi otak di belakang rangkaian aksi teror. Jakarta memang sedang membidik Presiden Gerakan Aceh Merdeka atau sang Wali Nanggroe itu dengan tuduhan terlibat serangkaian aksi terorisme di Indonesia. Ini upaya kesekian kalinya menjerat Tiro setelah ia berdiam di Swedia sejak 1984. Hasan Tiro diyakini aparat Indonesia bertanggung jawab atas perlawanan bersenjata GAM di Aceh—suatu tempat yang terpisah sekitar sepuluh ribu kilometer dari Alby di Stockholm itu. Dari Jakarta, upaya menjerat sang Wali telah lama disiapkan. Pemerintah Indonesia, kata juru bicara Departemen Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa, berulang kali melakukan kontak dengan Swedia. Bukan hanya mengirim orang, tapi, kata Marty, "Berkali-kali melayangkan surat permintaan ke Swedia agar mengambil tindakan atas Hasan Tiro." Puncaknya terjadi sepanjang pekan lalu. Meski mendukung secara politik keutuhan wilayah Republik Indonesia, Swedia sendiri tampak bingung ketika datang lagi surat dari Jakarta yang meminta Stockholm mengambil tindakan tegas atas Hasan Tiro. "Tapi tindakan macam apa?" ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri Swedia, Lars Lundberg, kepada Tempo News Room. Stockholm menilai Indonesia tak memberi bukti cukup bagi mereka untuk mencokok Hasan Tiro dan kawan-kawan. Gawatnya, Jakarta menafsirkan reaksi Swedia itu sebagai penolakan. Lalu, sejumlah tokoh politik nasional tampil dengan pernyataan tajam. Dengarlah suara Ketua MPR Amien Rais. "Putuskan saja hubungan diplomatik dengan Swedia," ujar bekas guru besar ilmu hubungan internasional di Universitas Gadjah Mada itu, Selasa pekan silam. Amien menyimpulkan, perlindungan Swedia kepada Hasan Tiro menyalahi akal sehat hubungan antarbangsa. Kantor Kedutaan Besar Swedia di Mega Kuningan pun tak luput dari sasaran. Sekitar 150 orang pemuda dari Karang Taruna Indonesia melakukan demonstrasi ke kantor itu, Jumat pekan lalu. Mereka mengusung poster bertuliskan "Putuskan Hubungan dengan Swedia". Untunglah, aksi itu berlangsung damai. Tekanan bahkan merembet ke soal dagang. Gabungan Importir Nasional Indonesia menyatakan memboikot impor dari Swedia sejak Kamis pekan silam. Di bawah organ itu bergabung sekitar 7.800 importir. Alasannya, Swedia tak mau menindak tegas Hasan Tiro. Selama ini Indonesia memang mengimpor barang Swedia senilai US$ 265,5 juta setahun, sementara ekspor barang Indonesia ke Swedia hanya 48 persen dari nilai impor tadi. Toh, Amiruddin Saud, Ketua Umum Gabungan importir itu, merasa Indonesia tidak bakal dirugikan, meskipun, "Separuh keuntungan dagang itu selama ini diambil Swedia," ujar Saud. Politik rupanya dianggap lebih penting daripada dagang. Merasa reaksi Stockholm tak memadai, Jakarta sempat mengancam akan mempertimbangkan kembali hubungan diplomatik dengan Swedia apabila negara pemberi hadiah Nobel itu tak mau bekerja sama. Keputusan berat ini memang belum lagi dibahas di Jakarta. Tampaknya, Jakarta menunggu tim perunding yang telah berada di Swedia sejak Minggu lalu. Tim perunding itu adalah tim khusus lintas departemen. Yang memimpin tim adalah Ali Alatas, bekas Menteri Luar Negeri dan diplomat paling kaya pengalaman di Indonesia saat ini. Alatas bertugas kembali berembuk dengan pemerintah Swedia. Tentu topik utamanya adalah Hasan Tiro. Tim Alatas ini cukup lengkap. Di dalamnya ada anggota dari Markas Besar Polri, Badan Intelijen Negara, dan pakar hukum. Meski timnya lengkap, Alatas mengakui adanya kesulitan menyeret Hasan Tiro ke meja hijau di Swedia. Untuk tujuan menyidangkan Tiro, Indonesia harus berusaha keras membuktikan bahwa GAM pimpinan Tiro telah melakukan sejumlah aksi teror dan karenanya bisa dicap sebagai organisasi teroris. Tanpa bukti yang sangat kuat, pemerintah Swedia tak bisa berbuat apa-apa di depan perangkat hukumnya. Adakah bukti kuat itu ada di saku Alatas? Mungkin saja. Tapi jelas misi Alatas ini tidak mudah, jika tidak bisa dikatakan sebagai mission impossible. Seandainya gagal, Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda telah menyiapkan sejumlah pilihan, dari aksi menurunkan tingkat hubungan, membekukan hubungan sementara, hingga pemutusan total hubungan politik dengan Swedia. Seakan membaca tanda-tanda "kurang bersahabat" dari Jakarta, Swedia pun balik mengirimkan pesan politiknya. Misalnya, Senin pekan lalu, mereka mendadak menghentikan kegiatan kantornya selama sehari, kendati tak ada ancaman fisik yang nyata. Ada apa di balik penutupan itu? Sebuah dokumen laporan diplomasi tim yang sempat diketahui TEMPO, Kamis pekan lalu, menunjukkan betapa sulitnya posisi Swedia. Menteri Luar Negeri Swedia, Anna Lindh, menjelaskan pihaknya repot memenuhi keinginan Indonesia. Swedia, dikatakan dalam dokumen, sangat paham pendirian Indonesia dan menghargai hubungan diplomatik kedua negara. Tapi persoalan masalah hukum dan hak asasi manusia sangat peka di Swedia. "Kami terbantu jika diberi bukti konkret," begitu Lindh dikutip dalam dokumen. Kementerian Kehakiman Swedia mengatakan para pemimpin GAM itu tak bisa diekstradisi karena mereka adalah warga negara Swedia. Selama 20 tahun menetap di Swedia, para pemimpin GAM itu memilih sikap low profile. Hasan Tiro dan Zaini Abdullah mengantongi surat tanda warga negara Swedia sejak 15 tahun silam. Malik Mahmud sudah tiga tahun di Stockholm, meskipun belum menjadi warga negara. Meski begitu, Malik juga tak bisa diekstradisi. Mengapa? Hukum Swedia melarang ekstradisi seseorang jika keselamatan jiwanya terancam. Apalagi Malik bisa diancam hukuman mati di Indonesia. "Itu berlawanan dengan hukum kami. Akta ekstradisi sangat jelas mengatur soal ini," ujar Cecilia Bergman, deputi direktur jenderal di Kementerian Kehakiman Swedia. Pemerintahan di negara monarki konstitusional itu bagai makan buah simalakama. Jika mengabulkan permintaan Indonesia, Swedia harus menabrak hukum nasionalnya sendiri. Jika menolak Jakarta, negara sahabat di belahan timur dunia itu—yang selama ini menjadi pasar barang produksi Swedia—yang berang. Secara politik, ada risiko bagi pemerintah Perdana Menteri Goran Persson bila ia harus mengekstradisi para pemimpin GAM ke Jakarta. Pemerintah Partai Sosial Demokrat yang sedang berkuasa harus berhadapan dengan opini publik, yang pasti akan meminta Stockholm mati-matian mempertahankan warga negaranya—yang dituduh sebagai pemberontak sekalipun. Singkatnya, ekstradisi akan dikritik tak sah secara hukum. Saingan politik Goran, Partai Moderat dan Liberal, pastilah ramai-ramai mengutuk tindakan itu. Dalam pemilihan umum September 2002 lalu, Partai Sosial Demokrat mengumpulkan 40 persen suara, sementara dua partai pesaingnya memiliki hampir 30 persen suara. Jika partai lain bergabung dengan Moderat dan Liberal, posisi Goran Persson bisa terancam. Tapi bukan berarti tidak ada jalan untuk menangguk Hasan Tiro. Jika Jakarta mampu menyodorkan bukti meyakinkan bahwa Hasan Tiro telah melakukan tindak kriminal serius, "Mungkin opini publik akan mendukung tindakan hukum atas para pemimpin GAM itu," ujar Erik Ullenhag, anggota parlemen dari Partai Liberal. Jadi, misi Alatas menjadi sangat menentukan. Jika dia mampu meyakinkan Jaksa Agung Swedia—lembaga yang sangat terpisah dari eksekutif—mungkin ada harapan. "Makanya Swedia meminta kami menyertakan bukti hukum yang kuat," ujar Alatas. Jika tim Alatas bisa memberi bukti kuat pemimpin GAM terlibat langsung dalam aksi kriminal di Indonesia, penguasa hukum Swedia dapat menyeret mereka ke pengadilan. Secara teori, ujar Direktur Kementerian Luar Negeri Swedia, Orjan Landelius, begitulah aturan mainnya. Jadi, mereka bisa dihukum di Swedia. Segepok dokumen berisi "bukti tindak kriminal dan teror" di balik map kerja Ali Alatas akhirnya sangat menentukan. Hanya dengan cara itulah pemerintah Indonesia bisa berharap tokoh gaek yang kini rajin duduk di depan televisi di kawasan Alby itu bisa disidangkan. Nezar Patria, Adi Prasetya, David Hulth (Stockholm)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus