Ruang sidang Pengadilan Negeri Lhokseumawe, Nanggroe Aceh Darussalam, penuh sesak oleh tentara berbaju loreng pada Selasa pekan lalu. Mereka bukan menyerbu gedung di Jalan Iskandar Muda itu, melainkan menjadi pengunjung kasus yang menimpa rekan-rekan sesama anggota Batalion Infanteri 144 Jaya Yudha, Bengkulu. Siang itu, tiga kolega mereka sedang diadili Mahkamah Militer Banda Aceh di Lhokseumawe.
Prajurit Satu Saiful Bahri, Prajurit Dua Tony Haryanto, dan Prajurit Dua Agus Widayat, yang juga berseragam loreng, duduk di kursi terdakwa. Mereka dituduh sebagai pelaku penganiayaan warga Dusun Meunasah Raya, Desa Lawang, Kecamatan Peudada, Kabupaten Bireuen, pada 27 Mei lalu dan tak menaati perintah atasan. Status terdakwa juga terpasang pada empat anggota lain dari batalion ini, yang menunggu giliran persidangan berikutnya.
Inilah pengadilan pertama bagi anggota TNI setelah darurat militer berlaku di Aceh. Para petinggi TNI seperti sedang membuktikan janji mereka sebelumnya untuk menangani pelanggaran yang dilakukan anak buahnya di lapangan dengan serius. Panglima Komando Operasi TNI, Brigjen Bambang Darmono, memang sudah menyatakan akan menggelar pengadilan lapangan dalam upaya penegakan hukum, tak lama setelah menduduki jabatannya.
Pengadilan lapangan ini adalah pengadilan singkat, berbeda dengan pengadilan sipil yang berbelit-belit dan memakan waktu lama. Prosesnya, jika ada pelanggaran yang dilakukan prajurit, baik dalam disiplin maupun tindak pidana, kasusnya akan terlebih dahulu ditangani oleh Satuan Tugas Polisi Militer. Setelah pemeriksaan selesai dan bukti pelanggaran telah didapat, kasusnya akan dilimpahkan ke Satgas Hukum Koops dan proses pengadilan militer pun di gelar.
”Saya rasa, dalam sejarah proses pemeriksaan, penyelidikan, sampai peradilan, ini yang tercepat,” kata Bambang Darmono. Pernyataan Bambang memang terbukti di ruang sidang. Pada pengadilan pertama Selasa lalu, Hakim Mayor CHK Hulwani, S.H. hanya memberi waktu satu hari kepada penasihat hukum untuk memberikan tanggapan atas dakwaan yang disampaikan oditur militer. Padahal waktu itu penasihat terdakwa, Mayor Weni Okianto dan Kapten Kurniadi, meminta waktu tiga hari untuk membuat tanggapan atas dakwaan oditur.
Serba kilat juga terasa ketika oditur militer meminta waktu tiga hari untuk memberikan tanggapan atas tanggapan penasihat hukum dan hakim memutuskan waktu satu jam. Bahkan, untuk membuat putusan sela, majelis hakim hanya butuh jeda setengah jam guna memberi putusan, yakni menolak eksepsi terdakwa dan meminta sidang dilanjutkan.
Kisah pelanggaran pidana oleh tujuh prajurit pelaksana operasi keamanan di Aceh itu memang tak rumit. Para pelaku mengakui perbuatan mereka dan kesaksian korban pun cukup lengkap. Para prajurit itu diberi kesempatan oleh mahkamah militer untuk menjelaskan mengapa pelanggaran itu mereka lakukan.
Tekanan mental selama operasi rupanya membuat mereka tak mampu mengendalikan emosi. Di depan sidang, ketiganya mengaku tak mampu menahan amarah. Menurut pengakuan mereka, korban dinilai berbohong saat ditanya soal posisi dan nama-nama anggota GAM yang ada di daerah tersebut.
Menurut cerita salah satu saksi korban, Hamdani, pada Selasa pagi 27 Mei lalu, warga desa kedatangan aparat Batalion Jaya Yudha. Hamdani mengaku baru saja selesai salat subuh ketika pintu rumahnya digedor tentara.
Setelah pintu terbuka, dia mendapati tiga prajurit menunggu di depan pintu. Mereka sempat bertanya, ”Apakah benar kamu Pak Keciek (kepala desa)? Dijawab oleh Hamdani, ”Saya bukan Pak Keciek. Saya hanya pejabat sementara selama tiga bulan.” Saat itu dia diminta mengumpulkan warga di meunasah.
Hamdani kemudian digelandang ke perbatasan desa. Di tengah perjalanan, Hamdani mengaku dipukul mukanya oleh tentara. Pukulan itu sebagai ganjaran lantaran ia mengaku tidak tahu saat ditanya di mana letak markas GAM. Jawaban ”tidak tahu’’ juga membuatnya dihadiahi tendangan.
Setibanya di rawa-rawa perbatasan desa, didapati ada gubuk. Tentara kemudian melakukan pengepungan ke arah gubuk. Penggerebekan pun sukses karena tak ada anggota GAM di sana. Namun, tentara menemukan ratusan kartu tanda penduduk yang dimasukkan dalam satu plastik.
Menurut Hamdani, KTP itu milik masyarakat sekitar yang diambil seseorang beberapa hari sebelumnya. Pada saat itu, aparat TNI juga menemukan baterai air—biasanya dijadikan sebagai sumber listrik untuk pemantik dalam meledakkan bom.
Setelah sekitar 30 menit di daerah itu, Hamdani bersama puluhan anggota TNI menuju meunasah. Di sana sudah berkumpul warga yang menunggu. Sekitar 20 meter sebelum tiba di lokasi, kembali ia dihadiahi bogem mentah mengenai muka. Pukulan itu rupanya membuat lelaki setengah baya itu oleng. Di meunasah, ia jatuh pingsan. Oleh keluarganya, ia dibawa berobat ke puskesmas di koramil setempat.
Rupanya, luka-lukanya serius. Hamdani pun harus menjalani rawat inap di Rumah Sakit Dr. Fauziah, Bireuen, selama sekitar empat hari. Hasil visum dokter menyatakan dia luka pada kelopak mata hingga mengeluarkan darah. Tendangan ke arah muka itu yang membuatnya tak sadarkan diri.
Hamdani bukan satu-satunya saksi korban dalam persidangan tersebut. Ada Maimun dan Rajali bin Abdurrahman yang senasib dengan Hamdani dan dihadirkan dalam persidangan.
Kesaksian mereka diakui kebenarannya oleh para terdakwa dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Ketua Mayor CHK Hulwani, S.H., dengan anggota Mayor CHK Adil Karo-Karo, S.H., dan Mayor CHK Trias Kowara, S.H.
Pratu Saiful Bahri saat diperiksa hakim mengungkapkan dirinya mendapat perintah dari komandan peletonnya, Letda Fuad, agar melakukan penyisiran dan pembersihan terhadap GAM yang berada di Desa Meunasah Lawang, Peudada, Bireuen. Perintah diberikan pada 26 Mei, sekitar pukul 20.00 WIB. Saiful masuk dalam tim satu dari empat tim yang diturunkan.
Menjelang pagi, dua tim bergerak ke Desa Meunasah Lawang. Tim Saiful bergerak melambung untuk menutup jalan bila GAM melarikan diri. Karena itu, dia bergerak masuk lewat belakang kampung. Sedangkan Tim III dan IV masuk dari depan. Setelah dirinya masuk sekitar 400 meter, anggota timnya melihat ada anggota GAM mandi. Setelah itu terjadilah kontak selama lebih-kurang 30 menit.
Lalu, ia mendapat kabar dari tim yang bergerak dari depan kampung, menyatakan keadaan aman. Maka semua tim menuju kampung. Sesampainya di meunasah, sekitar pukul tujuh pagi masyarakat sudah berkumpul. Setelah itu Komandan Peleton memberikan pengarahan. Ketika itulah ia melihat Pratu Alfian (juga tersangka) membawa keluar Hamdani.
Saat itu Alfian dilihatnya sempat bertanya pada Hamdani, apakah ada orang GAM di sini. Hamdani menjawab tidak tahu. Tak lama kemudian, saksi Maimun keluar sendiri dari meunasah. Sesampainya di luar, dia sempat ditanya anggota, mana warga desa yang anggota GAM. Dia pun menjawab, ”Tidak tahu. Tidak ada.”
Pada saat itulah keluar Abu Bakar dari meunasah diam-diam. Tak lama berselang, terdengar dua kali tembakan. Tembakan itu yang ternyata menewaskan Abu Bakar. Menurut Alfian, seperti ditirukan Saiful, Abu Bakar adalah anggota GAM. Informasi A1 (informasinya valid). ”Saya merasa dibohongi. Berarti omongan Maimun bohong, dia melindungi GAM, maka saya pukul,” katanya.
Cerita yang sama disampaikan Prada Tony Haryanto. Dia mengaku bertemu dengan Hamdani di tengah jalan. Hidung dan bibirnya berdarah. Tony pun mendekati Hamdani. Salah seorang dari temannya mengatakan, Hamdani tak mengakui sebagai Pak Keciek. ”Saya emosi dan ikut memukul,” katanya.
Masih menurut Tony, pada saat pengarahan berlangsung, ia melihat Maimun keluar dari meunasah. Dia bilang mau keluar sebentar. Menurut Tony, sikap Maimun itu keterlaluan, tidak menghargai komandannya yang sedang memberikan pengarahan. ”Saya emosi. Saya pukul dia. Saya emosi, Komandan,” katanya kepada hakim yang menanyainya.
Agus Widayat pun memberikan keterangan yang sama, ia mengaku kesal dengan Hamdani, yang telah memberikan keterangan palsu. Ketika diminta sebagai petunjuk jalan malah menyesatkan, kata Agus Widayat.
Atas perbuatan tersebut, oditur militer Mayor Laut Maryanto, S.H. dan Kapten CHK B. Siregar, S.H. menjerat ketiga terdakwa ini dengan dua dakwaan. Pertama, terdakwa dianggap bersalah telah melakukan tindak pidana secara bersama-sama karena ketidaktaatan yang disengaja. Dan kedua, secara bersama-sama melakukan penganiayaan. Karenanya, oditur pada sidang Jumat lalu membacakan tuntutan agar para terdakwa diganjar delapan bulan penjara. Sidang-sidang berikutnya masih akan berlanjut pada pekan ini.
Kasus Lawang adalah kasus pertama yang sampai ke meja hijau. Menurut pengamat militer Dr. Salim Said, proses peradilan kasus ini, yang dilakukan secara terbuka, memang menunjukkan keseriusan TNI dalam menegakkan aturan. Dalam percakapannya dengan para petinggi TNI, ia merasa mereka betul-betul ingin menunjukkan bukti bahwa tentara sudah mengalami reformasi mental, katanya. Hanya, Salim mengingatkan, ”Jangan sampai terlalu banyak pengadilan militer. Bisa menurunkan moril pasukan,” katanya.
Memang tak semua laporan pelanggaran oleh anggota TNI bermuara di pengadilan. Dua kasus sebelum peristiwa Lawang yang sempat masuk meja pemeriksaan Polisi Militer, yaitu laporan adanya pemerasan anggota TNI terhadap warga sebesar Rp 2 juta dan perhiasan warga, juga kasus penembakan di Peusangan, Bireuen, tak akan disidangkan. Pihak Satgas Polisi Militer menyatakan tak terdapat bukti pelanggaran yang memadai pada kedua peristiwa itu.
Soal penembakan di Peusangan, yang sempat menimbulkan kontroversi lantaran korban diduga warga sipil, dianggap selesai karena pihak TNI yakin semua korban adalah anggota GAM. Menurut Salim, GAM memang telah memakai anak-anak sebagai mata-mata dan umpan peluru TNI. Seharusnya anak-anak yang tidak bersenjata tidak perlu ditembak. ”TNI bisa masuk jebakan GAM, yang akan mengeksploitasi penembakan itu lewat media internasional,” ujarnya. Hal yang sama pernah dilakukan Fretilin dalam kasus Timor Timur.
GAM tahu betul, berperang dengan TNI tak akan menang. Karena itu, ia akan membuat banyak jebakan untuk memperpanjang perang. Jika itu terjadi, prajurit TNI akan mengalami kelelahan dan bisa tak terkontrol. Saat itulah mereka memakai jaringan internasional untuk mendiskreditkan tentara yang membabi-buta. ”Inilah tugas petinggi TNI. Mereka harus mencari langkah yang lebih cerdas, karena merekalah yang tahu medan pertempuran sesungguhnya,” ujar Salim Said.
Seorang pejabat senior sebuah kedutaan negara Barat malah punya usulan yang lebih tegas. ”Orang tak bersenjata tak boleh ditembak,” tuturnya. Diplomat yang dikenal banyak membantu TNI dalam menjalankan reformasi ini mengingatkan, ”Jangan lupa, setiap kali jatuh korban salah tembak, sedikitnya sepuluh gerilya separatis baru akan lahir.”
Edy Budiyarso, Abdul Manan (Lhokseumawe)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini