Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Misteri Penadah Dana Jarahan Bulog

Fakta baru di seputar penjarahan dana Yayasan Bulog mulai terungkap. Para pelaku utama tiba-tiba menghilang.

21 Mei 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARAH para pegawai Badan Urusan Logistik (Bulog) lagi mendidih. Brankas Yayasan Bina Sejahtera (Yanatera)—nama yayasan karyawan Bulog—yang dikumpulkan dari potongan gaji mereka dibobol begitu saja. Nilainya tak tanggung-tanggung: Rp 35 miliar.

Maka, Rabu pekan lalu, mereka melayangkan surat protes. Tanda tangan 200 karyawan tertera di dalamnya. Isinya menghujat dua aktor utama di balik raibnya dana itu: Wakil Kepala Bulog Sapuan dan Ketua Yanatera. Selain itu, mereka mengajukan tuntutan: yayasan harus memberikan pinjaman senilai Rp 50 juta untuk tiap karyawan. ”Masa, orang luar boleh meminjam miliaran rupiah, sedangkan kita sendiri kalau mau pinjam susahnya bukan main?” seorang pegawai menggerutu.

Namun, kasus Bulog sebenarnya bukanlah sekadar perkara pinjam-meminjam. Kasus ini menunjukkan betapa tradisi kotor lama yang dibangun Soeharto ternyata masih enggan pergi. Di samping sebagai ”lumbung padi”, Bulog adalah lembaga dana taktis berisi ratusan miliar, yang uangnya bisa dipakai sewaktu-waktu oleh pemerintah dan oknum-oknumnya. Dana taktis, yang sering disembunyikan di bawah rekening yayasan karyawan, biasa pula disebut sebagai dana nonbujeter. Dana seperti ini tidak masuk dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sehingga sulit dipertanggungjawabkan—dan karena itu, rawan korupsi.

Pengungkapan kasus Bulog dipandang penting untuk melihat anatomi betapa sering oknum pemerintah menggunakan dana itu secara serampangan. Ini juga akan menjadi pelajaran berharga untuk mengembalikan banyak dana taktis di lembaga lain yang jumlahnya triliunan rupiah ke status sebenarnya, yakni sebagai dana publik yang pemakaiannya harus dipertanggungjawabkan.

Namun, Presiden Abdurrahman Wahid—lembaganya disangkut-pautkan dengan kasus itu—ataupun aparat hukum tampak tidak tertarik membuat masalah ini menjadi jelas. Sejak skandal memalukan ini terbongkar tiga pekan lalu, tak satu pun langkah tegas diambil untuk mengusutnya secara tuntas.

Hasil penelusuran TEMPO menunjukkan bahwa uang Rp 35 miliar sudah jelas keluar dari yayasan. TEMPO juga memperoleh informasi awal tentang siapa yang menerima uang itu, tapi hanya sebuah audit menyeluruh dan penyidikan aparat hukum yang bisa memastikannya.

Seperti telah diketahui, aib ini bermula pada Februari lalu ketika Sapuan didatangi Suwondo. Tionghoa muslim dan juru pijat Abdurrahman Wahid ini mengaku diutus sang Presiden untuk menyampaikan sebuah pesan penting. Bunyinya: istana perlu menarik Rp 20 miliar dari pos dana taktis Bulog.

Sapuan lalu mendatangi Kepala Bulog saat itu, Jusuf Kalla. Ia menyodorkan secarik memo internal plus dua lembar cek Bank Bukopin—tempat rekening Bulog berada—masing-masing senilai Rp 5 miliar. Curiga, Kalla lalu menolaknya. Ia minta surat tertulis dari Presiden Wahid. Dan surat itu tak pernah datang.

Tapi, gara-gara termakan iming-iming kursi Kepala Bulog, Sapuan rupanya sudah gelap mata. Saat Kalla berdinas ke luar negeri, ia nekat memerintahkan agar Deputi Penyaluran Bulog sekaligus Ketua Yanatera, Mulyono, mengucurkan uang.

Akhirnya, pada Februari itu juga dana sejumlah Rp 35 miliar dicairkan dalam dua tahap. Yang pertama, Rp 10 miliar, dalam bentuk dua lembar cek masing-masing senilai Rp 5 miliar. Berikutnya Rp 25 miliar. Ini diakui bendahara yayasan, Yacub Ishaq. Menurut dia, perintah pencairan datang dari Sapuan dan Mulyono. Cek dari Bank Bukopin—tempat rekening yayasan disimpan—lalu diteken Yakub dan Mulyono. ”Saya cuma menandatangani cek, bersama Pak Mulyono. Setelah itu, saya serahkan ke Pak Mulyono dan Pak Sapuan,” kata Yakub kepada TEMPO. Pembobolan ini kemudian juga dikonfirmasikan Kepala Bulog Rizal Ramli.

Menurut pengakuan Sapuan kepada seorang mantan petinggi Bulog, dana itu keluar atas dasar perjanjian pinjam-meminjam dengan Suwondo. Jangka waktu pengembaliannya satu tahun. Agunannya adalah sertifikat tanah milik Suwondo di Kecamatan Cidaun, Cianjur Selatan, seluas 200 hektare.

Tak jelas apakah keaslian sertifikat itu sudah dicek. Juga belum terang apakah soal pinjaman dan agunan itu memang benar adanya atau baru dimunculkan belakangan untuk memoles borok yang telanjur mumbul. Toh, kalaupun benar, tanah seluas itu paling banter cuma senilai Rp 20 miliar, jauh di bawah nilai ”pinjaman”.

Teka-teki yang tersisa: siapa saja gerangan penadah dana haram itu? Selain Suwondo, soal penting ini masih diselimuti kabut tebal.

Yang jelas, Suwondo saat itu memang membawa-bawa nama Presiden Wahid. Dan itu dipercayai Sapuan. ”Saya percaya bahwa itu permintaan Gus Dur, makanya dana itu saya keluarkan dan saya serahkan ke Suwondo,” kata Sapuan seperti ditirukan mantan petinggi Bulog itu. Ke mana selanjutnya Suwondo mengalirkan duit, Sapuan juga mengaku tak tahu.

Pertanyaannya: bagaimana mungkin Sapuan yang bergelar doktor itu sedemikian bodoh mempercayai Suwondo begitu saja, tanpa melakukan pengecekan? Dan mungkinkah seorang juru pijat sekelas Suwondo, tanpa dibekingi kalangan pejabat istana, mampu meyakinkan pemain kawakan seperti Sapuan bahwa ia bakal dihadiahi kursi Kepala Bulog?

Karena itulah spekulasi dan tudingan ke arah lingkaran dalam istana terus berhamburan. ”Dana Rp 10 miliar jatuh ke tangan Suwondo. Yang Rp 25 miliar saya dengar dibagi-bagi di kalangan istana,” kata seorang kalangan dalam Bulog.

Sejauh ini, ada tiga nama di lingkaran istana yang dikaitkan dengan skandal ini. Yang pertama adalah Penjabat Sekretaris Negara Bondan Gunawan. Sejumlah sumber TEMPO dan seorang petinggi Senayan menuding Bondan telah mengantongi bagian senilai Rp 5 miliar. Duit ini dipakainya untuk menjaring dukungan dari sejumlah utusan cabang untuk masuk ke jajaran pimpinan pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dalam kongres di Semarang, akhir Maret lalu.

Nama lainnya adalah Menteri Luar Negeri Alwi Shihab. Indikasi keterlibatannya diungkap seorang kalangan dalam Bulog dan petinggi Senayan itu. Alwi diketahui pernah mengontak Kalla untuk mengecek berapa jumlah dana yang telah dicairkan. Tudingan keterlibatan adik kandung Presiden, Hasyim Wahid, pun sempat disebut. Hasyim dikenal dekat dengan Suwondo.

Tapi semua tudingan ini dibantah para tersangka. Presiden Wahid telah menegaskan tak pernah memerintahkan pencairan dana itu. Ia juga menyatakan tak satu pun anggota keluarga dan orang dekatnya terlibat. ”Itu salahnya orang yang memberi uang,” katanya.

Begitu pula Bondan. ”Untuk apa saya jawab? Wong, saya sungguh tidak tahu. Saya juga kan tidak bisa melarang orang menuduh saya,” kata Bondan. Soal itu, katanya lagi, telah ia tanyakan langsung ke Abdurrahman. ”Dan Gus Dur pun tidak tahu-menahu.”

Jawaban Alwi senada. ”Sama sekali tidak benar. Mungkin saya menerimanya waktu tidur, ha-ha-ha…,” kata Alwi. Ia juga menyangkal pernah mengontak Kalla untuk mengecek apakah dana itu telah dikucurkan.

Gus Im—begitu Hasyim Wahid dipanggil—juga tegas membantah. Di matanya, kasus ini diembuskan untuk merontokkan kakaknya di sidang tahunan MPR, Agustus depan. Ia malah mengaku tengah memburu Suwondo dan menelusuri arus uang jarahan itu. Meski ia menolak mengungkapkan hasil penyelidikannya, ada sebuah fakta penting yang diungkapkannya. Setelah kasus ini meledak, katanya, Suwondo sempat mengontaknya dari sebuah kota di Jawa Tengah.

Karena itulah sebuah penyelidikan intensif—dengan skala pengusutan skandal Bank Bali—perlu digelar untuk bisa menelanjangi aib ini.

Cuma, sejauh ini, yang baru berjalan adalah penyelidikan yang dilakukan tim audit internal Bulog. Kepala Bulog Rizal Ramli menegaskan pihaknya telah menyelidiki ke mana saja dana menggerojok. Ia juga menyatakan telah meminta Sapuan mengembalikannya. Tenggatnya 1 Juni depan. Menurut seorang kalangan dalam Bulog, kini Sapuan sedang kelabakan mencari duit untuk menutupnya. Ini menarik: jika duit itu benar pinjaman belaka, kenapa begitu susah ditarik kembali?

Pekan ini, Rizal akan mengungkapkan hasil penyelidikan tim Bulog itu. ”Akan ada kejutan,” katanya. Kejutan tersebut adalah, menurut kalangan dekat Rizal dan sejumlah petinggi PDI-P, duit itu disinyalir telah meresap ke kantong sementara kalangan PDI-P. Tapi, ketika dikonfirmasikan, soal ini dibantah Wakil Sekretaris Jenderal PDI-P Pramono Anung Wibowo. ”Tidak benar sama sekali kalau PDI-P, sebagai institusi, menerima dana itu,” katanya.

Toh, penyelidikan itu masih menyisakan sejumlah kejanggalan dan tanda tanya. Salah satu di antaranya terungkap dari pemeriksaan Sapuan oleh Deputi Pengawasan Effendi Wahab, dua pekan lalu. Saat itu, Sapuan ternyata mengaku cuma pernah meminta Rp 10 miliar. Belakangan, ia kaget karena yang keluar ternyata Rp 35 miliar. Jika ini benar, artinya ada pemain lain yang langsung membuka jalur ke Mulyono.

Sejumlah penjelasan Rizal pun ternyata tak sinkron. Misalnya, Rizal mengungkapkan bahwa Presiden Wahid pernah didatangi Kalla untuk mengecek permohonan dana itu. Dan Abdurrahman telah menegaskan soal itu tak ada hubungan dengannya dan melarang pencairan dana itu. Kepada TEMPO, Jusuf Kalla menyangkalnya. ”Saya tidak pernah berkomunikasi dengan Gus Dur perihal dana itu,” katanya. Yang lain, Rizal menyatakan telah memeriksa para pengurus yayasan. Kenyataannya, bendahara Yanatera, Yakub Ishaq, yang ikut meneken cek, malah membantah telah dimintai keterangan.

Selain di Bulog, sebuah tim penyelidik juga dibentuk Partai Kebangkitan Bangsa, Rabu pekan lalu. Tapi, kata Ketua Fraksi PKB Taufikurrahman Saleh, tim itu belum bekerja. Bahkan, siapa saja anggotanya pun belum final ditetapkan. PKB sendiri telah lantang menyatakan sikap agar kasus ini tuntas diusut. ”Kalau perlu, tim memberlakukan sumpah pocong, agar kasus itu terungkap,” kata Wakil Ketua Dewan Syuro PKB K.H. Cholil Bisri.

Belum ada tanda bahwa aparat penyidik bertindak. Tiga pekan sudah kasus ini terbongkar. Tapi Kepala Dinas Penerangan Kepolisian RI Brigjen Dadang Garnida malah menyatakan pihaknya sama sekali belum bergerak. ”Sifatnya masih informasi. Kita tunggu untuk diolah sebelum melakukan penyelidikan,” katanya. Menurut seorang perwira menengah di Markas Besar Kepolisian RI, tim penyelidik baru dibentuk Jumat kemarin, sehari setelah PKB berteriak lantang agar kasus itu diusut. Kejaksaan sama parahnya. Jaksa Agung Marzuki Darusman sekadar menyatakan akan menunggu temuan tim Bulog sebelum mengambil tindakan lebih lanjut.

Sebelum bukti bisa dihilangkan, penyelidikan memang mesti disegerakan. Apalagi, kini, para aktor utama pemegang kunci kasus ini tiba-tiba bak lenyap ditelan bumi. Sejak tiga pekan lalu, Suwondo menghilang dari rumahnya di kawasan Kelapagading, Jakarta. Istrinya sendiri bahkan mengaku tak tahu ke mana harus mengontak suaminya. Tak sekali pun Suwondo menelepon. Ini tak biasa. Sebelumnya, tiap kali bepergian, Suwondo pasti tak lupa memberi kabar ke rumah.

Kediaman Sapuan pun kini melompong tak terawat. Rumah besar dengan tiga garasi itu, kata para tetangganya, telah ditinggalkan penghuninya sejak dua minggu lalu. Sejak saat itu pula ia tak lagi menampakkan batang hidungnya di kantor.

TEMPO kesulitan mencari Ketua Yanatera Mulyono. Sejak Selasa pekan lalu, kata dua bedindenya, tuannya itu pergi ke luar kota, tak jelas ke mana. Rumah mewahnya di kawasan elite Permata Hijau kosong meninggalkan dua sedan luks—salah satunya Mercedes. Terakhir, Mulyono terlihat di kantornya Rabu kemarin. ”Sejak kasus itu meledak, Bapak jarang ke kantor,” kata seorang stafnya.

Satu-satunya yang bisa ditemui, bendahara Yanatera, Yakub Ishaq, belakangan juga bersikap amat aneh. Entah mendapat tekanan dari mana, tiba-tiba ia meralat pernyataan sebelumnya kepada TEMPO bahwa ia telah meneken cek dan menyerahkannya ke Sapuan dan Mulyono. ”Saya dilarang bicara,” katanya ketakutan.

Bagaimanapun, kata orang bijak, pada akhirnya kebenaran akan selalu bicara.

Karaniya Dharmasaputra, Tomi Lebang, Setiyardi, Wenseslaus Manggut

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus