Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi begitulah. Sejak dikumpulkan pertama kali pada 1982 oleh Kepala Bulog (Kabulog) ketika itu, Bustanil Arifin, dana taktis Bulog ini praktis hanya diketahui dua pihak, yakni Kabulog dan Presiden Soeharto. Berapa dana yang masuk dan ke mana saja duit tersebut disalurkan, bisa dibilang, tak ada yang tahu kecuali dua pihak tadi. Namun, krisis ekonomi rupanya juga membawa berkah selain kesengsaraan. IMF sebagai dokter krisis Indonesia agaknya mencium ada praktek yang tidak beres di Bulog. Karena itulah IMF kemudian meminta agar Bulog diaudit bersama Pertamina dan PLN untuk kurun waktu 1994/1995-1998/1999. Masuklah kemudian Arthur Andersen pada awal 1999. Bersamaan dengan itu, BPKP pun ikut masuk.
Nah, dalam audit itulah kemudian ditemukan berbagai kejanggalan. Salah satu yang menghebohkan adalah adanya rekening nonbujeter sampai 116 buah. Kabarnya, rekening itu milik para pejabat Indonesia di luar Bulog. Nilainya kabarnya sangat besar. Menurut Kepala BPKP ketika itu, Soedarjono, penemuan itu bermula dari rekening-rekening misterius yang mestinya masuk ke kas nonbujeter tapi masuk ke neraca Bulog. "Kita telusuri dan ternyata banyak," kata Soedarjono. Tapi, ya, cuma sampai di situ. Ketika BPKP mengajukan permohonan kepada Presiden Habibie agar diizinkan menelusuri lebih jauh pembukuan nonbujeter tersebut, permintaan itu tak dijawab sama sekali. Permohonan itu bahkan sampai dua kali disampaikan dan dua-duanya tidak ditanggapi. Arthur Andersen pun mengajukan permintaan yang sama dan juga ditolak.
Namun, berdasarkan bocoran dari hasil audit Arthur Andersen yang dikutip berbagai media massa, dana tersebut banyak dipakai untuk keperluan di luar Bulog. Salah satu yang paling banyak adalah yang dipinjam Hokiarto, pemilik Bank Hokindo, yang kini sudah ditutup pemerintah. Dana itu dipakai untuk membebaskan tanah di Marunda sebagai ganti depot logistik (dolog) yang dipakai Goro (perusahaan milik Hutomo Mandala Putra bersama Ricardo Gelael). Ketika itu, Hokiarto meminjam Rp 32 miliar. Selain itu, Koperasi Pegawai Bulog dan Yayasan Bina Sejahtera (Yanatera)yayasan karyawan Bulogmendapatkan kucuran yang lumayan besar, yang totalnya hampir Rp 50 miliar. Tapi penyelidikan lebih lanjut ke arah sana sama sekali tertutup.
BPKP juga meminta agar rekening nonbujeter itu ditutup per 1 April 1999. Tapi permintaan ini lagi-lagi diabaikan Bulog. Bahkan, Kabulog ketika itu, Rahardi Ramelan, mengirim surat kepada Presiden Habibie agar Bulog diizinkan mengelola rekening tersebut. Ternyata Habibie setuju Bulog memiliki neraca ganda itu. Sekarang pun, upaya membuka rekening tersebut masih kandas. Dana itu sampai sekarang masih aman tersimpan di kas Bulog. Kabulog Rizal Ramli ketika ditanya soal berapa jumlah dana yang disimpan di rekening tersebut menolak memberi tahu. "Saya tidak hafal angkanya," katanya. Tapi, menurut seorang pejabat Bulog, nilainya sekarang diperkirakan mencapai Rp 400 miliar.
Banyak kalangan yang yakin jumlah dana taktis itu sudah susut sangat banyak. Indikasinya, ya, itu tadi, banyaknya dana taktis tersebut yang tersangkut di sejumlah rekening milik pejabat ataupun lembaga yang mendapatkan pinjaman dari Bulog. Bahkan, ada yang menyebut jumlah dana yang tersangkut di rekening pihak lain itu mencapai Rp 100 triliun. Angka ini boleh jadi salah, tapi nilainya pasti mencapai triliunan rupiah. Repotnya, ketertutupan Bulog membuat lalu-lintas dana yang keluar-masuk rekening tersebut sulit dilacak dan tak jelas pula bagaimana pertanggungjawabannya.
Padahal, ketika digagas pertama kali, dana taktis itu antara lain dipakai untuk kepentingan Bulog sendiri. Pos pengeluaran Bulog yang memerlukan dana besar antara lain impor komoditi ketika cadangan pangan nasional menipis atau operasi pasar saat harga beras anjlok. Sampai awal 1998, fungsi Bulog memang sangat banyak, dari menjamin persediaan pangan nasional sampai menjadi penyangga. Itu sebabnya diperlukan dana taktis yang besar. Kebutuhan Bulog memang sangat besar dan waktunya tak bisa diperkirakan sebelumnya.
Dari mana dana taktis itu berasal? Hampir seluruhnya dari impor komoditi, baik beras, terigu, maupun gula. Yang paling besar tentu saja beras karena Indonesia merupakan importir beras terbesar di dunia. Dua tahun lalu, misalnya, Indonesia mengimpor sekitar 5,8 juta ton atau lebih dari separuh persediaan beras di pasar internasional. Tapi Bulog tak mengimpor sendiri beras tersebut. Lembaga ini menyerahkannya kepada perusahaan-perusahaan yang ditunjuk tanpa tender. Nah, dari sinilah permainan dimulai.
Perusahaan yang ditunjuk tersebut kebanyakan merupakan anak perusahaan Salim dan beberapa rekanan tetap Bulog. Perusahaan Salim yang terlibat dalam impor beras antara lain Ginivy Trading, Graphical Mgt, dan Interlink Asia. Belakangan, muncul importir baru yang terkait dengan Keluarga Cendana, seperti Airlink Resources (Siti Hutami Endang Adiningsih) dan Data Nilam Latipson International Corp. (Siti Hediati Prabowo). Dengan posisi seperti itu, wajarlah jika Bulog bisa mempermainkan harga sesuai dengan keinginannya.
Itu misalnya terjadi pada 1997/1998, ketika Bulog masih menjadi penguasa tunggal impor beras. Ketika itu, Bulog mematok harga US$ 320 per ton. Padahal, di pasar internasional, harga beras hanya US$ 285-295 per ton. Dari selisih itu, perusahaan pelaksana impor mendapatkan fee US$ 10-15 per ton, sedangkan selebihnya masuk ke kas dana taktis Bulog. Jika impor beras Bulog rata-rata 2 juta ton saja per tahun, dana yang masuk ke kas dana taktis Bulog bisa mencapai US$ 400 juta atau sekitar Rp 2,8 triliun setahunjelas bukan jumlah yang sedikit. Ini belum menghitung impor gula dan gandum, yang juga banyak dilakukan Bulog bersama rekanan tetapnya.
Soedarjono bukannya tak mengendus praktek semacam itu. Tapi, karena semua jalur informasi tertutup, Soedarjono tak berani memastikan bagaimana sebetulnya modus operandi Bulog mengumpulkan dana taktis tersebut. "BPKP sebenarnya ingin mendapatkan kopi transaksi atau kopi rekening koran Bulog yang tak dilaporkan, tapi ya sulit," katanya. Yang pasti, hubungan patgulipat yang begitu erat dengan importir setidaknya membuat Bulog bisa menutup rapat masalah ini.
Semua itu sebetulnya bisa diatasi dengan mudah jika pemerintah memang mau membuka kasus ini selebar-lebarnya. Bagaimanapun, dana yang dipakai untuk membeli beras impor merupakan uang publik yang harus dipertanggungjawabkan oleh Bulog. Pada kenyataannya, Bulog toh tidak mau menggunakan dana taktis tersebut ketika rakyat benar-benar memerlukannya.
Salah satu bukti nyatanya adalah ketika harga gabah di tingkat petani jatuh hingga di bawah harga pokoknya pada Maret lalu. Mestinya, ketika itu, Bulog bisa langsung mengucurkan dana taktis untuk mengatasinya. Yang terjadi, Bulog malah menunggu pemerintah. Bahkan, ketika pemerintah mengeluarkan dana pembelian gabah Rp 500 miliar, Kabulog Rizal Ramli malah marah-marah kepada BRI, yang dianggapnya lamban mengucurkan pinjaman kepada petani. Akibat semua itu, lebih dari separuh gabah petani dibeli pada harga yang sangat rendah.
Dalam soal itu, pemerintah sebetulnya bisa mempertanyakan keengganan Bulog mengeluarkan dana taktisnya. Tapi lagi-lagi pemerintah bersikap lembek. Kali ini, Badan Pemeriksa Keuangan mestinya turun tangan mengatasi masalah tersebut. Sikap seenak sendiri Bulog tak bisa dibiarkan karena nyata-nyata sudah memakan korban, yakni masyarakat petani yang mestinya dilindunginya. Atau, jangan-jangan, dana taktis Bulog itu benar-benar sudah menjadi kas Soeharto dan pejabat Bulog terdahulu, sehingga pejabat yang sekarang tak bisa mengusiknya sama sekali.
M. Taufiqurohman, Hadriani Pudjiarti, Setiyardi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo