Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Penonton Mau Apa, Kami Menyediakannya

Stock Teater menyuguhkan menu berbeda-beda. Siasat pemasaran yang boleh juga

21 Mei 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KONTRADIALOG
Lakon:Padusi di Tengah Balai & Biduanita Botak
Karya:Jefriandy Usman & Eugene Ionesco
Produksi:Stock Teater
Sutradara:Jefriandy Usman & Totok Sugiarto
Pemain:Jefri, Ningnung, Emi, Hendra, Norman, Devi, Renny, Anang
Tempat:Teater Utan Kayu, Jakarta Timur
Sepasang penari itu memadu cinta. Keduanya bertemu, lalu men-jauh, kemudian menyatu. Hanya, cara percintaan keduanya tidak diutarakan seperti gaya Sembadra dengan Arjuna, atau Roro Mendut dengan Pronocitro. Tidak dengan sentuhan "romantis", melainkan dengan gerakan-gerakan silat. Mereka jatuh-bangun bak pesilat yang menyerang dan bertahan, mereka memukul dan menangkis dalam posisi yang jauh dan saling membelakangi. Pasangan ini melantunkan pukulan yang sama dan seirama. Bagai gerakan-gerakan seseorang yang sedang becermin, bayangan dalam cermin itu menirukannya. Pada akhir pertunjukan Padusi di Tengah Balai, sang lelaki meloncat ke haribaan sang putri, yang cukup anggun membopongnya menuju peraduan. Sayang, sepasang kekasih ini—Jefriany Usman (koreografer) dan Aistya Ningnung—tidak tangkas bermain selama 45 menit di atas level yang sebenarnya tempat duduk penonton. Tempat yang sempit dan bertangga membuat gerakan kedua seniman itu sangat terbatas.

Pertunjukan kedua adalah lakon Biduanita Botak karya Eugene Ionesco. Lakon yang disutradarai Totok Sugiarto ini bercerita tentang kegagalan manusia modern menjalin komunikasi. Akibatnya, orang-orang kehilangan identitas. Sepasang suami-istri, Devi (Afriani Devi Susanti) dan Norman (Norman Akyuwen), yang selalu meleset dalam menghayati realitas sosial, selalu pula luput dalam mengenali tindakan yang baru dilakukannya. Keduanya cekcok untuk hal-hal sepele, tapi tak bereaksi untuk hal-hal prinsip. Begitu pula suami-istri yang lain, Emi (Emmirald Slqandi Sukma) dan Hendra (Hendra Jus), yang sedang melakukan perjalanan, tak mengenal satu sama lain. Sedangkan si pembantu, Renny (Renny Handayani), tak mengenal kedudukannya, dan aparat pemadam kebakaran, Anang (Anang Khowil), yang tak punya waktu untuk bersantai, selalu menghabiskan waktunya untuk bersantai. Hidup dalam dunia yang absurd, siapa pencipta dan siapa persoalan jalin-menjalin dengan pekat.

Naskah ini pernah dipentaskan oleh STB pada permulaan 1960-an, disutradarai Jim Lim, dan oleh Teater Kecil pada sekitar 1970, disutradarai Arifin C. Noer. Keduanya mementaskannya dengan "nada tinggi". STB mampu membuat penonton tertawa terus sepanjang pertunjukan, sedangkan Teater Kecil mementaskannya dengan menunjukkan perenungan. Sementara itu, Stock Teater mencoba membanyol. Lakon yang sulit ini seperti memiliki dua wajah. Ketika penyutradaraannya serius, penonton terbahak-bahak. Sedangkan ketika penyutradaraannya melucu, penonton tidak tertawa.

Lakon ini sudah dibawa berkeliling oleh grup teater dari Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ke Surabaya, Surakarta, dan Yogyakarta. Boleh jadi, naluri "dagang" mereka muncul ketika menyadari kelompok itu akan mengembara. Maka, dipentaskannya dua pertunjukan, tari dan teater. Sikap begini menguntungkan para pemain yang berbeda bidangnya dan penonton yang ingin merasakan lebih dari satu macam pertunjukan. Mereka pun dapat dengan mudah menyesuaikan pementasannya dengan panggung yang ada. Juga, tak mau repot-repot, mereka menggelinding seadanya, khas sebuah grup yang berpentas dari kota ke kota. Sebagai sutradara, Totok Sugiarto dapat menampilkan pemain-pemain yang mampu menafsirkan naskah. Dari pertunjukan ini, dominasi "teater sutradara" dapat diramaikan dengan "teater aktor", sambil menunggu munculnya para pemain baru yang melengkapi Slamet Rahardjo, Niniek L. Karim, Dedy Mizwar, Adi Kurdi, dan Rendra.

Biduanita Botak adalah satu dari sejumlah karya Eugene Ionesco yang penting. Setiap kali pertunjukan berakhir, selalu ada penonton yang menanyakan, seperti itukah lakon ini harus dipentaskan? Dalam situasi krisis yang berkepanjangan (boleh jadi kita membutuhkan 5 sampai 7 tahun untuk mengatasinya), kita seperti becermin pada lakon ini. Situasi nyata yang begitu absurd akhirnya terpancar pada sebuah lakon yang absurd.

Danarto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus