Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Luka tanpa Imajinasi

Ratna Sarumpaet mementaskan Luka Serambi Mekah. Didukung oleh puluhan pemain teater Satu Merah Panggung, Ratna merefleksikan kepedihan Aceh.


21 Mei 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TALI-TEMALI itu menjulur bak sumbu kompor. Mereka melambai tegak lurus dari langit-langit sampai lantai, dari panggung sampai sela-sela kursi penonton. Memasuki ruang pertunjukan Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki malam itu, penonton disergap sesuatu yang sugestif. Tapi, selama hampir dua jam pementasan, sugesti yang ditunggu-tunggu itu tak kunjung tiba, padahal "kejutan awal" itu sudah berhasil menyita pandangan karena penataan Rudjito yang memang selalu bagus itu.

Apa boleh buat, bentangan tali-tali itu cuma aksesori. Drama ini berkisah tentang seorang perempuan yang berjuang untuk menguburkan kembali tulang-belulang korban daerah operasi militer, dan sayang sekali kisah yang dramatis itu sama sekali tak mendayagunakan imajinasi yang luas. Itulah penampilan Satu Merah Panggung. Sungguh terasa bagaimana naskah Luka Serambi Mekah bukan naskah yang tercipta dari kemungkinan-kemungkinan panggung. Mobilisasi aktor-aktor dan konstruksi pementasannya lahir lebih dari pergumulan literer ketimbang dari perhitungan situasi dan interaksi elemen-elemen kekayaan panggung.

Sebagaimana sebuah teater politik, penonjolan sikap adalah segalanya. Mudah ditebak seperti naskah-naskah Ratna Sarumpaet sebelumnya, kekukuhan prinsip sang hero menjadi topik utama pengejawantahan. Dan sekarang, plot drama Alia ini diatur demikian: seorang perempuan bekas korban pemerkosaan tetap pantang menyerah dan menggali jenazah walau diintimidasi penguasa. Ia rela meninggalkan percintaan dan menolak perlindungan senjata sang bapak. Dia siap menjumput kematian.

Pada setiap adegan yang mempertontonkan nyali itu, Ratna tidak mengurangi kegemaran menggunakan kata-kata perlawanan dengan dosis tinggi. "Dengan bahasa yang tidak kami pahami, kalian bicara tentang rehabilitasi dan rekonsiliasi," tutur Alia dengan nada sinis kepada Farhan, sang pacar, yang berada di pihak status quo. Terkadang dialog-dialog terasa tekstual sekali. Berkali-kali kata "Serambi Mekah" muncul dalam dialog Alia. "Ini hanya satu dari ribuan tengkorak yang membisu di Serambi Mekah ini, Komandan," tutur Alia tegas. Padahal, kita tahu adegan telah mengandaikan lokasi Aceh.

Memasang Nani Widjaya sebagai Cut Nyak di awal, dengan durasi yang cukup lama untuk sebuah pertunjukan yang disadari akan penuh dengan kalimat-kalimat panjang, agaknya merupakan awal "malapetaka". Di depan sebuah tatakan Quran, Cut Nyak duduk bersimpuh dengan para santrinya. Sang ibunda Alia ini prihatin akan nasib putrinya yang hilang. Gesture Nani Widjaya statis, dan intonasinya yang monoton mengesankan ia membaca. Bahkan, ketika berdialog dengan Panglima Rayoek—pemimpin operasi—Nani tak mengubah gerak tangan, kepala, dan ekspresi wajah. Lebih gawat lagi, gaya bicaranya bak orang membaca. Tak aneh jika irama selanjutnya terseret menjadi datar, seolah tak ada tanjakan saat pergantian adegan meski musik bak dentuman granat, terus-menerus mengagetkan penonton.

Ratna tampaknya gemar mengorganisasi pemain dengan deret baris-baris. Perpindahan bloking pemainnya terlihat dengan alasan-alasan terencana. Di tengah ketertiban itu, Ratna menghadirkan diri sebagai pusat monolog. Bila Ratna memfokuskan diri untuk mengeksplorasi gagasan soal penguburan dan tidak tergoda ke wilayah lain, bukan tak mungkin pertunjukan ini akan lebih intens dan cantik. Adegan penguburan karung-karung tulang-belulang itu paling memikat. Ditingkah lantunan zikir pedih, satu per satu perempuan berkerudung itu menumpukkan karung-karung. Terbukti di sini suasana simbolis jadi lebih mengena ketimbang kata-kata verbal. Itu seperti saat Alia tanpa sengaja menyenggol tali tatkala mengucapkan "Kita akan berpegang pada tali Allah"—dan lalu kita menyaksikan goyangan tali lamat-lamat. Ini terasa lebih meletupkan imaji tentang keperihan pemerkosaan.

Naskah yang masih tetap memilih stereotip tentara yang berjalannya prok-prok-prok, lalu menembak membabi buta ini ditulis tanpa observasi ke Aceh. "Saya ingin obyektif," tutur Ratna. Kekerasan bisa datang dari kedua belah pihak, pihak GAM atau TNI. Karena itulah, untuk menjaga kenetralan saat menyusun naskah, ia menolak tawaran ke Aceh. Ia bekerja berdasarkan kontemplasi kliping-kliping semata. Apa pun harus diakui—meskipun tak lebih mencapekkan—pementasan ini lebih berhasil daripada serial pementasan Marsinah. Teater Satu Merah Panggung dan Ratna Sarumpaet memang tak bisa dilepaskan dari konsistensi aktivitas politiknya.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum