Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Golongan fungsional dan perlunya...

Untuk mengurangi perbedaan mencolok kaya-miskin, golongan fungsional perlu membuka dialog dengan lembaga-lembaga non pemerintah. penyelenggaraan dialog terbuka dan langsung dapat diatur bersama.

3 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SALAH satu fenomena sosial yang paling menarik dalam abad ini adalah munculnya golongan fungsionil, yang memiliki ketrampilan teknis sebagai kekuatan politik yang baru di negeri-negeri yang sedang berkembang. Banyak nama diberikan kepada mereka, baik yang menunjuk kepada keahlian teknis mereka (seperti sebutan "teknokrat" bagi kelompok ahli-ahli ekonomi yang turut memerintah negeri kita sekarang ini) maupun yang menunjuk pada fungsi mereka di pemerintahan (seperti "Gerakan Masyarakat Baru" di Pilipina). Salah satu perwatakan yang menonjol dari golongan fungsionil itu adalah pragmatisme yang mereka miliki, karena pendekatan yang mereka gunakan memang bersifat teknis, sehingga sedikit sekali pcrhatian yang mereka berikan kepada ideologi politik. Yang mereka ingin lakukan adalah perubahan teknis yang menyeluruh atas kehidupan, bukannya memenangkan suatu ideologi tertentu. Perwatakan tersebut dengan tepat sekali diungkapkan oleh wakil PM Cina Teng Hsiao Ping: "Tidak penting apakah kucing itu berbulu hitam atau putih, selama ia mampu menangkap tikus." Dengan demikian golongan fungsionil itu dapat dengan mudah berafiliasi dengan kelompok politik manapun, selama kelompok itu memiliki peluang besar untuk menerintah dan bersedia berbagi tempat dengan golongan fungsionil itu sendiri dalam pemerintahan, tanpa terlalu mempersoalkan ideologi politik sekutunya itu. BUSHIDO Contoh yang paling tepat tampak di depan mata saat ini adalah persekutuan ABRI dengan kelompok teknokrat untuk membentuk golongan karya di negeri kita, yang sudah berjalan lebih dari 10 tahun. Golongan fungsionil itu, dalam manifestasi berbentuk persekutuan politik dengan kelompok lain, sebenarnya tidak lain adalah pengganti dari kelas pamong praja, kaum ningrat, birokrat murni dan kelompok-kelompok istana dari abad-abad yang lampau. Karenanya, pemunculan mereka bukanlah sesuatu yang mengherankan dan tidak lepas dari kontinuitas bentuk pemerintahan di negara-negara yang bersangkutan. Dapat kita lihat ada negara yang telah lama memiliki golongan fungsionil seperti ini (seperti kelompok bankir Jepang yang berafiliasi dengan kaum bushido untuk mensukseskan restorasi Meiji lebih dari 100 tahun yang lampau), tetapi ada pula negara yang baru saja menyaksikan pemunculan mereka (seperti di Pilipina semenjak beberapa tahun belakangan ini saja). Apakah pemunculan golongan fungsionil dalam arena politik itu membawa kesejahteraan bagi masyarakat masing-masing? Jawabnya tergantung pada sudut dari mana kita memandang persoalannya. Kalau dilihat dari sudut kenaikan laju pertumbuhan rata-rata dalam pembangunan ekonomi, jelas bahwa munculnya golongan fungsionil di negara-negara berkembang merupakan rakhmat yang besar bagi masyarakat. Tetapi kalau dilihat dari sudut pandangan perataan kernakmuran, maka jawabnya menjadi lain. Karena pendekatannya yang bersifat teknis, golongan fungsionil kurang memiliki kepekaan yang biasanya ditempa oleh idiologi politik yang membara dalam meninjau ketimpangan-ketimpangan sosial yang diakibatkan oleh dislokasi kecepatan pertumbuhan antara sektor ekonomi yang berbeda-beda. Dengan demikian, golongan tersebut biasanya lalu terperosok ke dalam sikap harus menunjang dan membesarkan kekuatan kelompok ekonomi yang sudah kuat, dan sedikit sekali yang berhasil secara berarti menaikkan taraf kehidupan mayoritas bangsa. Kalaupun ada kenaikan taraf hidup mereka, hasil positif itu biasanya dibarengi, kalau tidak oleh pemusatan kekayaan yang semakin menghebat di tangan sekelompok kecil mereka yang bermodal kuat, atau oleh munculnya kekakuan birokratis yang semakin menjadi-jadi dalam proses pembangunan ekonomi itu sendiri. Akibatnya sedikit kenikmatan yang dirasakan oleh warga masyarakat sebagai hasil pembangunan, akhirnya dianulir oleh faktor negatif yang begitu besar ancamannya atas pembangunan ekonomi itu. PORTILLO Kelompok teknokrat di Mexiko, Mesir dan Pakistan dapat dijadikan contoh dalam hal ini. Golongan fungsionil yang tergabung dalam Partai Revolusi Konstitusionil di Mexiko semenjak beberapa puluh tahun yang lampau hingga hari ini belum mampu memperkecil jurang antara si kaya dan si miskin, bahkan mereka pun gagal unNk mendorong terjadinya demokratisasi politik yang diperlukan untuk menghilangkan ketimpangan sosial yang sedemikian besar itu. Ini terbukti dari ketidak-mampuan sistim pemerintahan di sana untuk menghindarkan cara pencalonan tunggal untuk jabatan presiden. Dari presiden-presiden yang lampau hingga kepada kedua presiden terakhir, Luis Eceferria dan Lopez Portillo (yang terpilih tahun lalu), tanpa kecuali, yang menjadi presiden berikutnya adalah menteri dalam negeri yang sekarang. Di Mesir, golongan fungsionil yang tergabung dalam Uni Sosialis Arab yang diciptakan oleh Almarhum Presiden Nasser hanya berkesudahan pada birokrat-birokrat kaku yang memakai baju pengurus koperasi. Kebutuhan material pokok di bidang sandang dan pangan bagi seluruh warga masyarakat memang terpenuhi tetapi hasil itu harus disertai dengan pengorbanan sangat besar di bidang ineffisiensi pembangunan ekonomi. Ini akan meratakan jalan bagi pemusatan kekayaan di tangan sekelompok kecil orang kaya baru. Di Pakistan, seperti diakui sendiri oleh para bekas teknokratnya, persekuNan golongan fungsionil dan kelompok militer yang berkuasa hanya menghasilkan terpusatnya kekayaan di tangan 22 keluarga besar industrialis belaka, dan makin lajunya proses pemiskinan di tingkat terbawah. Golongan fungsionil kita masih belum lagi sejauh itu terperosoknya untuk membesarkan ketimpangan sosial yang ada. Ia masih memiliki idealisme tinggi dan keberanian moral yang cukup untuk berpegang teguh kepada tujuan perataan hasil pembangunan. Tindakan-tindakan penertiban seperti yang dijalankan di Pertamina, tindakan preventif untuk melarang pejabat pemerintah menjadi pengurus koperasi dan banyak lagi hal-hal lain, menunjukkan masih adanya idealisme di atas. Tetapi idealisme seperti ini dalam jangka panjang bisa saja terkikis sedikit demi sedikit oleh apatisme, sinisme, dan kepentingan-kepentingan pribadi. Untuk mengimbangi kecenderungan tersebut, perlulah rasanya golongan fungsionil kita lebih banyak bergaul dan menimba kepekaan terhadap nasib si miskin, dengan jalan lebih banyak membuka diri kepada dialog terbuka dan langsung dengan lembaga-lembaga non pemerintah, baik itu berupa partai-partai politik, gerakan moral mahasiswa, lembaga-lembaga pengabdian masyarakat yang bergerak di pedesaan dan seterusnya. Kalau golongan fungsionil kita hanya mengandalkan diri kepada afiliasi politiknya yang ada sekarang, tidak banyak yang dapat diharapkan darinya, karena setiap persekutuan politik akan lebih mendahulukan eksistensinya sendiri dari pada kepentingan rakyat banyak. Terserahlah kepada mereka untuk mengatur bagaimana dialog terbuka dan langsung itu diselenggarakan, karena masalahnya hanya soal teknis belaka selama itu memang dimaui dan diingini. Bukankah justru kemahiran merekalah untuk meneatur soal-soal teknis?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus