SALAH satu fenomena sosial yang paling menarik dalam abad ini
adalah munculnya golongan fungsionil, yang memiliki ketrampilan
teknis sebagai kekuatan politik yang baru di negeri-negeri yang
sedang berkembang. Banyak nama diberikan kepada mereka, baik
yang menunjuk kepada keahlian teknis mereka (seperti sebutan
"teknokrat" bagi kelompok ahli-ahli ekonomi yang turut
memerintah negeri kita sekarang ini) maupun yang menunjuk pada
fungsi mereka di pemerintahan (seperti "Gerakan Masyarakat Baru"
di Pilipina).
Salah satu perwatakan yang menonjol dari golongan fungsionil itu
adalah pragmatisme yang mereka miliki, karena pendekatan yang
mereka gunakan memang bersifat teknis, sehingga sedikit sekali
pcrhatian yang mereka berikan kepada ideologi politik. Yang
mereka ingin lakukan adalah perubahan teknis yang menyeluruh
atas kehidupan, bukannya memenangkan suatu ideologi tertentu.
Perwatakan tersebut dengan tepat sekali diungkapkan oleh wakil
PM Cina Teng Hsiao Ping: "Tidak penting apakah kucing itu
berbulu hitam atau putih, selama ia mampu menangkap tikus."
Dengan demikian golongan fungsionil itu dapat dengan mudah
berafiliasi dengan kelompok politik manapun, selama kelompok itu
memiliki peluang besar untuk menerintah dan bersedia berbagi
tempat dengan golongan fungsionil itu sendiri dalam
pemerintahan, tanpa terlalu mempersoalkan ideologi politik
sekutunya itu.
BUSHIDO
Contoh yang paling tepat tampak di depan mata saat ini adalah
persekutuan ABRI dengan kelompok teknokrat untuk membentuk
golongan karya di negeri kita, yang sudah berjalan lebih dari 10
tahun. Golongan fungsionil itu, dalam manifestasi berbentuk
persekutuan politik dengan kelompok lain, sebenarnya tidak lain
adalah pengganti dari kelas pamong praja, kaum ningrat, birokrat
murni dan kelompok-kelompok istana dari abad-abad yang lampau.
Karenanya, pemunculan mereka bukanlah sesuatu yang mengherankan
dan tidak lepas dari kontinuitas bentuk pemerintahan di
negara-negara yang bersangkutan.
Dapat kita lihat ada negara yang telah lama memiliki golongan
fungsionil seperti ini (seperti kelompok bankir Jepang yang
berafiliasi dengan kaum bushido untuk mensukseskan restorasi
Meiji lebih dari 100 tahun yang lampau), tetapi ada pula negara
yang baru saja menyaksikan pemunculan mereka (seperti di
Pilipina semenjak beberapa tahun belakangan ini saja).
Apakah pemunculan golongan fungsionil dalam arena politik itu
membawa kesejahteraan bagi masyarakat masing-masing? Jawabnya
tergantung pada sudut dari mana kita memandang persoalannya.
Kalau dilihat dari sudut kenaikan laju pertumbuhan rata-rata
dalam pembangunan ekonomi, jelas bahwa munculnya golongan
fungsionil di negara-negara berkembang merupakan rakhmat yang
besar bagi masyarakat. Tetapi kalau dilihat dari sudut pandangan
perataan kernakmuran, maka jawabnya menjadi lain.
Karena pendekatannya yang bersifat teknis, golongan fungsionil
kurang memiliki kepekaan yang biasanya ditempa oleh idiologi
politik yang membara dalam meninjau ketimpangan-ketimpangan
sosial yang diakibatkan oleh dislokasi kecepatan pertumbuhan
antara sektor ekonomi yang berbeda-beda. Dengan demikian,
golongan tersebut biasanya lalu terperosok ke dalam sikap harus
menunjang dan membesarkan kekuatan kelompok ekonomi yang sudah
kuat, dan sedikit sekali yang berhasil secara berarti menaikkan
taraf kehidupan mayoritas bangsa. Kalaupun ada kenaikan taraf
hidup mereka, hasil positif itu biasanya dibarengi, kalau tidak
oleh pemusatan kekayaan yang semakin menghebat di tangan
sekelompok kecil mereka yang bermodal kuat, atau oleh munculnya
kekakuan birokratis yang semakin menjadi-jadi dalam proses
pembangunan ekonomi itu sendiri. Akibatnya sedikit kenikmatan
yang dirasakan oleh warga masyarakat sebagai hasil pembangunan,
akhirnya dianulir oleh faktor negatif yang begitu besar
ancamannya atas pembangunan ekonomi itu.
PORTILLO
Kelompok teknokrat di Mexiko, Mesir dan Pakistan dapat dijadikan
contoh dalam hal ini. Golongan fungsionil yang tergabung dalam
Partai Revolusi Konstitusionil di Mexiko semenjak beberapa puluh
tahun yang lampau hingga hari ini belum mampu memperkecil jurang
antara si kaya dan si miskin, bahkan mereka pun gagal unNk
mendorong terjadinya demokratisasi politik yang diperlukan untuk
menghilangkan ketimpangan sosial yang sedemikian besar itu. Ini
terbukti dari ketidak-mampuan sistim pemerintahan di sana untuk
menghindarkan cara pencalonan tunggal untuk jabatan presiden.
Dari presiden-presiden yang lampau hingga kepada kedua presiden
terakhir, Luis Eceferria dan Lopez Portillo (yang terpilih tahun
lalu), tanpa kecuali, yang menjadi presiden berikutnya adalah
menteri dalam negeri yang sekarang.
Di Mesir, golongan fungsionil yang tergabung dalam Uni Sosialis
Arab yang diciptakan oleh Almarhum Presiden Nasser hanya
berkesudahan pada birokrat-birokrat kaku yang memakai baju
pengurus koperasi. Kebutuhan material pokok di bidang sandang
dan pangan bagi seluruh warga masyarakat memang terpenuhi tetapi
hasil itu harus disertai dengan pengorbanan sangat besar di
bidang ineffisiensi pembangunan ekonomi. Ini akan meratakan
jalan bagi pemusatan kekayaan di tangan sekelompok kecil orang
kaya baru.
Di Pakistan, seperti diakui sendiri oleh para bekas
teknokratnya, persekuNan golongan fungsionil dan kelompok
militer yang berkuasa hanya menghasilkan terpusatnya kekayaan di
tangan 22 keluarga besar industrialis belaka, dan makin lajunya
proses pemiskinan di tingkat terbawah.
Golongan fungsionil kita masih belum lagi sejauh itu
terperosoknya untuk membesarkan ketimpangan sosial yang ada. Ia
masih memiliki idealisme tinggi dan keberanian moral yang cukup
untuk berpegang teguh kepada tujuan perataan hasil pembangunan.
Tindakan-tindakan penertiban seperti yang dijalankan di
Pertamina, tindakan preventif untuk melarang pejabat pemerintah
menjadi pengurus koperasi dan banyak lagi hal-hal lain,
menunjukkan masih adanya idealisme di atas. Tetapi idealisme
seperti ini dalam jangka panjang bisa saja terkikis sedikit demi
sedikit oleh apatisme, sinisme, dan kepentingan-kepentingan
pribadi.
Untuk mengimbangi kecenderungan tersebut, perlulah rasanya
golongan fungsionil kita lebih banyak bergaul dan menimba
kepekaan terhadap nasib si miskin, dengan jalan lebih banyak
membuka diri kepada dialog terbuka dan langsung dengan
lembaga-lembaga non pemerintah, baik itu berupa partai-partai
politik, gerakan moral mahasiswa, lembaga-lembaga pengabdian
masyarakat yang bergerak di pedesaan dan seterusnya. Kalau
golongan fungsionil kita hanya mengandalkan diri kepada afiliasi
politiknya yang ada sekarang, tidak banyak yang dapat diharapkan
darinya, karena setiap persekutuan politik akan lebih
mendahulukan eksistensinya sendiri dari pada kepentingan rakyat
banyak.
Terserahlah kepada mereka untuk mengatur bagaimana dialog
terbuka dan langsung itu diselenggarakan, karena masalahnya
hanya soal teknis belaka selama itu memang dimaui dan diingini.
Bukankah justru kemahiran merekalah untuk meneatur soal-soal
teknis?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini