Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Mengarak penghuni pura bingin

Desa selat-karangasem, meskipun terletak di lereng gunung agung terhindar dari amukan lahar. sebagai ungkapan rasa syukur pada dewa, penduduk mengadakan upacara bethara sakti ngerata bumi. (ils)

3 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DESA Selat termasuk wilayah Kabupaten Karangasem. Letaknya di lereng selatan Gunung Agung. Ketika gunung keramat ini murka di tahun 1963, Selat bebas dari aliran lahar panas. Dia adalah satu-satunya desa yang selamat dari amukan lahar. Penduduk setempat percaya, bahwa itu berkat jasa besar "Bethara Sakti Ngerata Bumi", dewa yang bermukim di Pura Bingin, Pura yang dikeramatkan penduduk setempat dan juga oleh banyak orang Bali ini terletak di bagian utara Desa Selat. Diceritakan oleh penduduk Selat bahwa waktu itu, di kala lahar telah mengalir dari mulut Gunung Agung, yang enggan mengungsi ke desa lain ramai-ramai bersembahyang di Pura Bingin. Sungguh ajaib. Mereka semuanya selamat. Pura tidak lebur karena lahar panas, demikian juga Desa Selat. Padahal letak desa itu sama rendah seperti desa kanan kirinya dan tidak masuk akal kalau tidak disenggol lahar. Entah karena apa, lahar di jarak 50 meter dari Pura Bingin membelokkan arahnya dan ke bagian selatan, kemudian menyatu lagi. 950 Bakul Nasi Desa Selat terdiri dari 14 Banjar Adat dan mempunyai 1500 KK (kepala keluarga). Untuk menyatakan rasa syukur dan terimakasih pada dewa tertinggi yang telah menyelamatkan desa, penduduk mengadakan upacara adat. Upacara adat ini cukup unik dan rasanya tidak ada dilakukan di desa lain di Bali. Yaitu sethara Sakti Ngerata Bumi diarak dari Pura Bingin ke balai desa. Letak balai desa ini ada di penghujung desa sebelah lain sekitar 800 meter, dihubungkan jalan aspal yang membelah desa. Penduduk setempat nampaknya enggan mempublikasikan upacara adat yang langka ini. Artinya tidak dikomersiilkan dengan menjual karcis kepada turis. Tidak seperti upacara adat di Tenganan Pegringsingan yang memperhitungkan "pihak luar" untuk "memeriahkan" upacara adat di desanya. Sehingga upacara "perjalanan" Bethara Sakti Ngerata Bumi dari Pura Bingin ke balai desa berlangsung dengan polos dan murni. Persiapan upacara berjalan dengan tertib dalam suasana gotong royong. Jalan aspal tunggal tersebut ditutup tikar putih yang masih baru. Di atas tikar, di sepanjang jalan, digelar pula kain putih terbentang menutup aspal dan tikar. Di atas kain putih ini, ditebarkan nasi putih dari beras yang tidak pecah yang disebut "beras galih". Di atas nasi dipajang tebaran lauk pauk (lawar, sate) dan buah-buahan. Untuk menutupi kain putih tersebut diperlukan 9 50 bakul nasi. Duaratus bakul telah disediakan oleh panitya adat, yang diambil dari hasil tanah desa yang lazim disebut "laba" Pura. Jumlah tanah milik Desa Selat ada 40 hektar, terdiri dari sawah dan ladang. Sisa nasi yang 750 bakul dipikul oleh penduduk desa dengan pembagian tugas yang cukup adil. Separuh dari 1500 KK diwajibkan menyumbangkan nasi dan separuhnya lagi harus memasak lauk-pauk. Sebenarnya, demikian Koresponden TEMPO Putu Setia, bagi penduduk tidak ada keharusan untuk mempersembahkan nasi dan lauk, karena desa toh mempunyai biaya untuk upacara ini. Tapi rasa syukur penduduk karena desanya masih selamat dari senggolan lahar itulah, sebakul nasi "tidak apa-apa". Seorang pemangku (pemuka agama) ditugaskan untuk menolak hujan. Jam 14.00 siang hari, Sang Bethara Sakti Ngerata Bumi siap untuk diusung ke luar Pura. Yang mengusung Sang Bethara antara lain para pemuka agama, Bupati Karangasem Anak Agung Gde Karang, yang saat mengusung itu menjabat wakil dari Puri Karangasem. Sang Bethara harus melewati hamparan nasi tersebut. Begitu Sang Bethara lewat, di belakangnya penduduk desa turut mengiring, juga harus menginjak hamparan nasi dan lauk-paukrya. Nasi yang putih, beralih ke warna sebaliknya. Begitu Sang Bethara sampai di Balai Desa, ribuan penduduk berebutan untuk mendapatkan nasi yang telah lumat dan berwarna gelap. Tua muda, laki perempuan saling berlomba untuk mendapatkan nasi sebanyak mungkin. Nyaris terjadi pergumulan. Puluhan Hansip dan petugas kepolisian tidak berdaya menghadapi serbuan masyarakat memperebutkan nasi tersebut. Mereka percaya, bahwa nasi yang telah "diinjak-injak" Sang Bethara dianggap membawa tuah. Karenanya, tidak kurang yang langsung memakannya di situ juga. Sedangkan yang memperhitungkan segi kesehatan, membersihkan lebih dahulu dengan cara dijemur, digoreng dan baru dimakan. Sebagian nasi yang dapat mereka sisihkan untuk dibawa ke ladang, ditabur di bawah pohon cengkeh dan di sawah. Mereka percaya ini membawa berkah dan kesuburan. Sang Bethara berada di balai desa selama satu bulan orang Bali. Yaitu 35 hari. Ini sekaligus memberi kesempatan bagi mereka yang belum bisa pulang pada puncak upacara, yaitu ketika Sang Bethara mengadakan "perjalanan" dari Pura Bingin ke balai desa. Kesempatan ini dipergunakan mereka untuk bersembahyang di hadapan Sang Bethara. Misalnya Golda Utami, anak perempuan Idayu Utami Pidada -- anggota DPR RI dari Fraksi Karya -- yang berhalangan datang, mewakili sang ibu untuk mengadakan sembahyangan. Masyarakat dari desa tetangga, juga datang dengan membawa buah-buahan dan kuwe-kuwe. Selama 35 hari, Desa Selat dibanjiri berbagai ragam manusia dengan aneka warna permintaan kepada Bethara Sakti. Setelah 35 hari usai di balai desa, Sang Bethara dipindahkan lagi ke Pura Puseh. Perjalanan yang kedua ini dilakukan dengan upacara tersendiri lagi, yang biasanya makan waktu seminggu. Porno, Menggelikan Di balai desa, juga di Pura Puseh, beberapa hari sebelum Sang Bethara tiba, telah diadakan berbagai macam keramaian sebagai rangkaian dari upacara. Tiga minggu sebelum Sang Bethara Sakti tiba di Pura Puseh, diadakan upacara Ngusaba Sari atau disebut juga Ngusaba Emping. Tokoh dalam upacara ini Bethara Sanga. Sang Bethara yang satu ini disimbolkan sebagai patung yang bertopeng, lucu, menggelikan dan porno. Dia digambarkan sebagai laki-laki yang kocak kelakuannya dan dipercaya, mempunyai alat kemaluan yang besar. Yang hadir sering tertawa kalau melihat Bethara Sanga diarak dan oleh pengaraknya kain sang Bethara ditarik, sehingga anu-nya tersembul. Bethara Sakti Ngerata Bumi tidak akan diperlakukan demikian sembrononya, bahkan untuk mengiringi perjalanannya ke Pura Puseh dikidungkan dengan gamelan yang menyeramkan bulu kuduk. Ada lagi kelucuan yang ditimpakan kepada Bethara Sanga. Anu-nya yang besar itu diikat dan ditarik dari dua jurusan, utara dan selatan. Jika kelompok selatan yang menang, berarti sawah Desa Selat bagian selatan yang akan subur, tetapi ladangnya akan kering. Atau sebaliknya. Nyoman Yasa, pemuda Selat menuturkan kejadian tarik tambang ini pada upacara yang lalu. Sebagian besar penduduk menginginkan agar kali ini bagian ladanglah yang menang, di mana pohon cengkeh sedang menuju besar dan dewasa. Agar pihak utara menang, dibuatlah kelompok utara dengan 50 orang dan selatan 25 orang saja. Pemangku menyalakan dupa, pertanda upacara tarik tambang dimulai. Bethara Sanga siap di tengah dan kedua tali berpangkal pada anu-nya. Tapi aneh, tarikan dimenangkan oleh bagian selatan juga. Artinya, sawah mereka yang akan subur dan panen yang baik. Walhasil, yang punya akal curang buru-buru menghadap Pemangku, untuk minta maaf. Takut kutukan Sang Bethara Sanga akan berjalan lebih cepat ketimbang permintaan maaf. Ternyata, kemenangan yang nampaknya remeh, tak juga bisa diatur oleh akal manusia. Satu hal lagi yang tak bisa dikendalikan akal manusia ialah gamelan Selonding. Alat tabuh ini milik Desa Tenganan dan ditabuh ketika ada upacara Perang Pandan. Di Desa Selat, gamelan ini ditabuh ketika Bethara Sakti mngadakan perjalanan. Celakanya, kalau gamelan Selonding rusak, atau suaranya sumbang, tidak seorangpun yang sanggup mereparasikannya. Caranya mudah saja. Angkut saja itu gamelan ke pura induk, Pura Besakih. Tinggalkan di sana barang dua hari, ambil dan jemput dia kembali, gamelan sudah merdu dan rapi nada lagunya. Masih kurang percaya? Ya, silakan saja datang ke sana. Sekalian menyaksikan pesta arak-arakan Sang Bethara Sakti Ngerata sumi. Kapan? Nanti, 10 Maret, 1988. Sepuluh tahun lagi, barulah upacara demikian ini diadakan lagi. Dan akan berlangsung sekitar dua bulan lamanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus