DESA Selat termasuk wilayah Kabupaten Karangasem. Letaknya di
lereng selatan Gunung Agung. Ketika gunung keramat ini murka di
tahun 1963, Selat bebas dari aliran lahar panas. Dia adalah
satu-satunya desa yang selamat dari amukan lahar. Penduduk
setempat percaya, bahwa itu berkat jasa besar "Bethara Sakti
Ngerata Bumi", dewa yang bermukim di Pura Bingin, Pura yang
dikeramatkan penduduk setempat dan juga oleh banyak orang Bali
ini terletak di bagian utara Desa Selat.
Diceritakan oleh penduduk Selat bahwa waktu itu, di kala lahar
telah mengalir dari mulut Gunung Agung, yang enggan mengungsi ke
desa lain ramai-ramai bersembahyang di Pura Bingin. Sungguh
ajaib. Mereka semuanya selamat. Pura tidak lebur karena lahar
panas, demikian juga Desa Selat. Padahal letak desa itu sama
rendah seperti desa kanan kirinya dan tidak masuk akal kalau
tidak disenggol lahar. Entah karena apa, lahar di jarak 50 meter
dari Pura Bingin membelokkan arahnya dan ke bagian selatan,
kemudian menyatu lagi.
950 Bakul Nasi
Desa Selat terdiri dari 14 Banjar Adat dan mempunyai 1500 KK
(kepala keluarga). Untuk menyatakan rasa syukur dan terimakasih
pada dewa tertinggi yang telah menyelamatkan desa, penduduk
mengadakan upacara adat. Upacara adat ini cukup unik dan rasanya
tidak ada dilakukan di desa lain di Bali. Yaitu sethara Sakti
Ngerata Bumi diarak dari Pura Bingin ke balai desa. Letak balai
desa ini ada di penghujung desa sebelah lain sekitar 800 meter,
dihubungkan jalan aspal yang membelah desa.
Penduduk setempat nampaknya enggan mempublikasikan upacara adat
yang langka ini. Artinya tidak dikomersiilkan dengan menjual
karcis kepada turis. Tidak seperti upacara adat di Tenganan
Pegringsingan yang memperhitungkan "pihak luar" untuk
"memeriahkan" upacara adat di desanya. Sehingga upacara
"perjalanan" Bethara Sakti Ngerata Bumi dari Pura Bingin ke
balai desa berlangsung dengan polos dan murni.
Persiapan upacara berjalan dengan tertib dalam suasana gotong
royong. Jalan aspal tunggal tersebut ditutup tikar putih yang
masih baru. Di atas tikar, di sepanjang jalan, digelar pula kain
putih terbentang menutup aspal dan tikar. Di atas kain putih
ini, ditebarkan nasi putih dari beras yang tidak pecah yang
disebut "beras galih". Di atas nasi dipajang tebaran lauk pauk
(lawar, sate) dan buah-buahan.
Untuk menutupi kain putih tersebut diperlukan 9 50 bakul nasi.
Duaratus bakul telah disediakan oleh panitya adat, yang diambil
dari hasil tanah desa yang lazim disebut "laba" Pura. Jumlah
tanah milik Desa Selat ada 40 hektar, terdiri dari sawah dan
ladang. Sisa nasi yang 750 bakul dipikul oleh penduduk desa
dengan pembagian tugas yang cukup adil. Separuh dari 1500 KK
diwajibkan menyumbangkan nasi dan separuhnya lagi harus memasak
lauk-pauk.
Sebenarnya, demikian Koresponden TEMPO Putu Setia, bagi penduduk
tidak ada keharusan untuk mempersembahkan nasi dan lauk, karena
desa toh mempunyai biaya untuk upacara ini. Tapi rasa syukur
penduduk karena desanya masih selamat dari senggolan lahar
itulah, sebakul nasi "tidak apa-apa".
Seorang pemangku (pemuka agama) ditugaskan untuk menolak
hujan. Jam 14.00 siang hari, Sang Bethara Sakti Ngerata Bumi
siap untuk diusung ke luar Pura. Yang mengusung Sang Bethara
antara lain para pemuka agama, Bupati Karangasem Anak Agung Gde
Karang, yang saat mengusung itu menjabat wakil dari Puri
Karangasem. Sang Bethara harus melewati hamparan nasi tersebut.
Begitu Sang Bethara lewat, di belakangnya penduduk desa turut
mengiring, juga harus menginjak hamparan nasi dan lauk-paukrya.
Nasi yang putih, beralih ke warna sebaliknya.
Begitu Sang Bethara sampai di Balai Desa, ribuan penduduk
berebutan untuk mendapatkan nasi yang telah lumat dan berwarna
gelap. Tua muda, laki perempuan saling berlomba untuk
mendapatkan nasi sebanyak mungkin. Nyaris terjadi pergumulan.
Puluhan Hansip dan petugas kepolisian tidak berdaya menghadapi
serbuan masyarakat memperebutkan nasi tersebut.
Mereka percaya, bahwa nasi yang telah "diinjak-injak" Sang
Bethara dianggap membawa tuah. Karenanya, tidak kurang yang
langsung memakannya di situ juga. Sedangkan yang
memperhitungkan segi kesehatan, membersihkan lebih dahulu
dengan cara dijemur, digoreng dan baru dimakan. Sebagian nasi
yang dapat mereka sisihkan untuk dibawa ke ladang, ditabur di
bawah pohon cengkeh dan di sawah. Mereka percaya ini membawa
berkah dan kesuburan.
Sang Bethara berada di balai desa selama satu bulan orang Bali.
Yaitu 35 hari. Ini sekaligus memberi kesempatan bagi mereka yang
belum bisa pulang pada puncak upacara, yaitu ketika Sang Bethara
mengadakan "perjalanan" dari Pura Bingin ke balai desa.
Kesempatan ini dipergunakan mereka untuk bersembahyang di
hadapan Sang Bethara. Misalnya Golda Utami, anak perempuan
Idayu Utami Pidada -- anggota DPR RI dari Fraksi Karya -- yang
berhalangan datang, mewakili sang ibu untuk mengadakan
sembahyangan. Masyarakat dari desa tetangga, juga datang dengan
membawa buah-buahan dan kuwe-kuwe. Selama 35 hari, Desa Selat
dibanjiri berbagai ragam manusia dengan aneka warna permintaan
kepada Bethara Sakti. Setelah 35 hari usai di balai desa, Sang
Bethara dipindahkan lagi ke Pura Puseh. Perjalanan yang kedua
ini dilakukan dengan upacara tersendiri lagi, yang biasanya
makan waktu seminggu.
Porno, Menggelikan
Di balai desa, juga di Pura Puseh, beberapa hari sebelum Sang
Bethara tiba, telah diadakan berbagai macam keramaian sebagai
rangkaian dari upacara. Tiga minggu sebelum Sang Bethara Sakti
tiba di Pura Puseh, diadakan upacara Ngusaba Sari atau disebut
juga Ngusaba Emping. Tokoh dalam upacara ini Bethara Sanga. Sang
Bethara yang satu ini disimbolkan sebagai patung yang bertopeng,
lucu, menggelikan dan porno. Dia digambarkan sebagai laki-laki
yang kocak kelakuannya dan dipercaya, mempunyai alat kemaluan
yang besar. Yang hadir sering tertawa kalau melihat Bethara
Sanga diarak dan oleh pengaraknya kain sang Bethara ditarik,
sehingga anu-nya tersembul. Bethara Sakti Ngerata Bumi tidak
akan diperlakukan demikian sembrononya, bahkan untuk mengiringi
perjalanannya ke Pura Puseh dikidungkan dengan gamelan yang
menyeramkan bulu kuduk.
Ada lagi kelucuan yang ditimpakan kepada Bethara Sanga. Anu-nya
yang besar itu diikat dan ditarik dari dua jurusan, utara dan
selatan. Jika kelompok selatan yang menang, berarti sawah Desa
Selat bagian selatan yang akan subur, tetapi ladangnya akan
kering. Atau sebaliknya. Nyoman Yasa, pemuda Selat menuturkan
kejadian tarik tambang ini pada upacara yang lalu. Sebagian
besar penduduk menginginkan agar kali ini bagian ladanglah yang
menang, di mana pohon cengkeh sedang menuju besar dan dewasa.
Agar pihak utara menang, dibuatlah kelompok utara dengan 50
orang dan selatan 25 orang saja. Pemangku menyalakan dupa,
pertanda upacara tarik tambang dimulai. Bethara Sanga siap di
tengah dan kedua tali berpangkal pada anu-nya.
Tapi aneh, tarikan dimenangkan oleh bagian selatan juga.
Artinya, sawah mereka yang akan subur dan panen yang baik.
Walhasil, yang punya akal curang buru-buru menghadap Pemangku,
untuk minta maaf. Takut kutukan Sang Bethara Sanga akan berjalan
lebih cepat ketimbang permintaan maaf. Ternyata, kemenangan yang
nampaknya remeh, tak juga bisa diatur oleh akal manusia.
Satu hal lagi yang tak bisa dikendalikan akal manusia ialah
gamelan Selonding. Alat tabuh ini milik Desa Tenganan dan
ditabuh ketika ada upacara Perang Pandan. Di Desa Selat, gamelan
ini ditabuh ketika Bethara Sakti mngadakan perjalanan.
Celakanya, kalau gamelan Selonding rusak, atau suaranya sumbang,
tidak seorangpun yang sanggup mereparasikannya. Caranya mudah
saja. Angkut saja itu gamelan ke pura induk, Pura Besakih.
Tinggalkan di sana barang dua hari, ambil dan jemput dia
kembali, gamelan sudah merdu dan rapi nada lagunya. Masih kurang
percaya? Ya, silakan saja datang ke sana. Sekalian menyaksikan
pesta arak-arakan Sang Bethara Sakti Ngerata sumi. Kapan? Nanti,
10 Maret, 1988. Sepuluh tahun lagi, barulah upacara demikian ini
diadakan lagi. Dan akan berlangsung sekitar dua bulan lamanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini