Makanan berkuah, panas, dan segar dengan bola-bola daging dan mi mendadak menjadi jajanan teramat langka di Purwokerto, lebih dari dua minggu ini. Padahal, kota kecil di Jawa Tengah yang dikenal sebagai kota keripik itu tidak pernah sepi dari para pedagang bakso. Sejauh mata memandang dan kuping mendengar, orang bisa melihat gerobak bakso atau mendengar suara "tok, tok, tok".
Mereka bukan hanya penduduk Purwokerto, mereka datang dari mana-mana. Lihatlah, ada organisasi pedagang bakso bernama Paguyuban Keluarga Pedagang Bakso Solo (Pagangso), beranggotakan lebih dari 200 orang. Belum lagi organisasi bakso suku lainnya, atau pedagang bakso independen alias tidak ikut "partai bakso" mana pun. Tapi kini semuanya menghilang. Ke mana perginya para pedagang itu?
Ini bermula dari demonstrasi para pedagang bakso, 24 April lalu. Sekitar 200 pedagang bakso anggota Pagangso menggelar unjuk rasa di depan rumah pemotongan hewan Mersi, Purwokerto. Mereka memblokir rumah pemotongan itu, sehingga pihak-pihak yang ingin membeli daging dari Mersi dihalang-halangi oleh pedagang bakso yang berdemo.
Tuntutan mereka adalah agar harga daging diturunkan, dari Rp 31 ribu ke Rp 29 ribu per kilogram. Menurut "pak bakso", dengan harga daging yang mahal itu, mereka tidak mungkin berjualan bakso dengan rasa senikmat semula. Sebab, pilihannya hanya dua: bakso diperkecil atau tepungnya diperbanyak. "Kalau demikian, pembelinya protes," kata seorang penjual bakso. Sedangkan bila ukuran bakso tetap normal, penjual bakso sama sekali tidak untung, malah tekor.
Karena mereka percaya orang Purwokerto mau bakso yang enak, penjual bakso itu bertekad tidak berhenti memblokir rumah pemotongan Mersi dan mogok berjualan bakso hingga tuntutan menurunkan harga daging dipenuhi. Akibat demo itu, jumlah sapi yang dipotong di rumah jagal Mersi terus-menerus turun. Bahkan, selama pekan lalu sudah tidak tampak kegiatan berarti di Mersi. Selain itu, pendapatan daerah juga ikut menurun. Sebab, biasanya, tempat pemotongan Mersi menyumbang Rp 300 ribu setiap hari untuk pendapatan kota.
Bagi warga Purwokerto, ini masalah serius, sama seriusnya dengan memorandum kedua untuk Presiden. Kalau tidak ada respons, hanya ada dua kemungkinan yang terjadi. Kegiatan perekonomian kota lumpuh, dan yang kedua—ini yang lebih penting—orang Purwokerto tak bisa lagi menyantap bakso. Memangnya bakso bisa digantikan dengan tongseng atau pizza?
Bina Bektiati, Ecep Suwardi Yasa (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini