PENGHEMATAN devisa mungkin bisa dimulai dari garam. Selama ini, garam untuk keperluan medis, misalnya pada infus, diimpor total. Padahal, Indonesia membutuhkan garam medis sekitar 1.000 ton setahun. Bila garam medis berharga US$ 0,6 per kilogram, dibutuhkan dana sekitar Rp 6,6 miliar per tahun.
Ironisnya, Indonesia sebagai negara kepulauan dilimpahi garam laut. Biasanya garam yang disebut garam krosok ini diproduksi oleh petani garam atau industri garam dapur. Jenis krosok dapat dijual langsung ke masyarakat atau ditambahkan proses iodisasi untuk dipasarkan sebagai garam beryodium.
Tapi garam krosok tak bisa dijadikan garam medis. Sebab, kandungan natrium klorida (NaCl) bahan dasar garamnya sebesar 94 persen. Bahkan, garam yang diproduksi langsung oleh petani garam hanya mengandung 88 persen NaCl. Padahal, garam medis membutuhkan kandungan murni NaCl setidaknya 99 persen.
Kini, tim peneliti bidang farmasi dan medika di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menemukan teknologi pemurnian garam krosok menjadi garam medis. Dalam proses pemurniannya, garam krosok dilarutkan dulu sehingga menjadi larutan jenuh yang mengandung 30 persen NaCl. Larutan itu lantas dialirkan ke dalam tangki sedimentasi untuk dicampurkan reagent (sejenis pembersih) agar pengotornya mengendap.
Endapan lalu dipisahkan, sehingga tinggal larutan garam yang siap dikristalisasi. Larutan kemudian diputar dengan kecepatan tertentu agar cairan terpisah dari kristal garam. Begitu semua larutan terpisah dengan kristal, diperolehlah garam murni, berkandungan NaCl 99 persen dan kadar besi sepersejuta bagian.
Menurut Imam Paryanto, ketua tim peneliti itu, garam medis hasil penelitian selama empat tahun ini telah lulus standar uji untuk Jepang dan Inggris. Hasil pengujian di pabrik infus Otsuka di Lawang, Jawa Timur, dan Biofarma di Bandung juga menyatakan layak. Demikian pula pengujian standar di Sucofindo.
BPPT sudah bisa menghasilkan 500 ton garam medis di laboratoriumnya di Bogor. Ongkos produksi garam medis itu sekitar Rp 2.000 per kilogram. Sayang, BPPT belum bisa memproduksi lebih banyak lantaran belum ada investornya.
Dwi Wiyana dan I G.G. Maha Adi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini