Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memanggil pihak Binus School Simprug dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) untuk memastikan langkah-langkah perlindungan terhadap anak yang terlibat dalam kasus perundungan di sekolah tersebut. KPAI meminta kedua pihak untuk lebih aktif dalam memonitor dan menyelesaikan kasus yang telah berlangsung sejak Januari 2024 itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah audiensi yang berlangsung mulai pukul 14.00 WIB hingga 16.30 WIB itu, Komisioner KPAI, Aris Adi Laksono, menyebut bahwa pihaknya menginstruksikan Binus School untuk memperkuat sistem perlindungan anak di lingkungan sekolah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami meminta sekolah untuk lebih responsif dan proaktif dalam mendeteksi serta menangani kasus-kasus perundungan. Ini harus jadi perhatian serius karena menyangkut hak-hak anak," kata Aris saat ditemui di Kantor KPAI, Jakarta Pusat pada Senin, 23 September 2024.
KPAI juga meminta Kemendikbudristek untuk lebih tegas dalam mengawasi kasus ini. Aris mengungkapkan, KPAI telah mengamanahkan Dinas Pendidikan DKI Jakarta untuk melakukan pengawasan intensif agar hak-hak anak tetap terjaga. “Kami amanahkan kepada Dinas Pendidikan untuk mengawal dan memastikan bahwa sistem perlindungan anak berjalan dengan baik,” ujarnya.
Komisioner KPAI, Diyah Puspitarini, pun mempertanyakan mengapa kasus ini baru terungkap belakangan, padahal laporan ke polisi telah dilakukan pada 31 Januari 2024. "Kasusnya sudah lama, tapi baru terungkap sekarang. Kenapa penanganannya begitu lambat?" tanya Diyah.
Ia juga menekankan pentingnya penerapan Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dalam penanganan kasus perundungan ini. Menurut dia, upaya mediasi yang dilakukan oleh pihak sekolah sebelumnya tidak dapat dianggap sebagai Restorative Justice (RJ) karena belum melalui proses yang benar. Sebab, lanjut Diyah, Diversi harus melalui gelar perkara terlebih dahulu, “Baru anak ditetapkan sebagai pelaku, baru kemudian dilakukan diversi.”
KPAI memastikan bahwa anak-anak yang terlibat dalam kasus ini, baik korban maupun saksi, tetap mendapatkan hak-hak mereka, termasuk pendampingan psikologis dan hak pendidikan. Diyah menegaskan, meski anak korban kini telah berusia dewasa, pendampingan psikologis tetap diperlukan mengingat potensi trauma yang masih ada. "Pendampingan harus tetap diberikan, karena trauma bisa berbeda-beda pada setiap orang," katanya.
KPAI juga berkoordinasi dengan berbagai lembaga, termasuk Asosiasi Psikologi Forensik (Apsifor) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA), untuk memastikan bahwa pendampingan terhadap anak-anak yang terlibat dalam kasus ini terpenuhi.
Pada kesempatan itu, KPAI berjanji akan terus memantau perkembangan kasus ini dan memastikan semua pihak, termasuk pihak sekolah dan kepolisian, mematuhi regulasi yang ada soal perlindungan anak. "Kami akan mengawasi jalannya kasus ini agar sesuai dengan prosedur SPPA dan semua hak-hak anak tetap terlindungi selama proses hukum berlangsung," ujar Aris.
KPAI berharap pemanggilan terhadap Binus School dan Kemendikbud diharapkan dapat menghasilkan langkah-langkah yang lebih konkret untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa mendatang.
Kasus perundungan yang dialami RE terjadi pada 30 dan 31 Januari 2024 di Binus School Simprug. RE mengaku digiring ke toilet dan dipukul oleh beberapa siswa. Pada hari berikutnya, kekerasan makin parah. Bahkan menyebabkan korban masuk rumah sakit dan mengalami trauma. Kuasa hukum korban menyatakan bahwa rekaman CCTV yang disajikan hanya cuplikan yang menguntungkan pihak sekolah dan terlapor.
Pihak sekolah membantah tuduhan tersebut, menyebutnya sebagai perselisihan antar siswa tanpa indikasi perundungan atau pelecehan. Mereka menegaskan telah melakukan investigasi berdasarkan bukti dan keterangan saksi. Namun, kuasa hukum korban menuding ada bukti penting yang sengaja tidak ditampilkan. Kepolisian yang menangani kasus ini memastikan tidak ada intervensi dalam penyelidikan dan telah memeriksa 18 saksi serta menyita CCTV dari beberapa lokasi.