Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KORAN bisnis Austria, Wirtschaftsblatt, yang terbit 3 Agustus 1998 bikin heboh: Soeharto, mantan Presiden Republik Indonesia, dikabarkan telah memindahkan miliaran dolar Amerika miliknya ke sejumlah bank di Austria sesaat sebelum lengser pada 21 Mei 1998.
Berita itu seolah mengkonfirmasikan laporan majalah bisnis Amerika Serikat, Barrons, sebelumnya, yang mengutip pernyataan David Hale. Menurut Kepala Ekonom Zurich Insurance, Swiss, ini, kekayaan sekitar US$ 8 miliar milik penguasa Indonesia selama lebih dari tiga dekade itu telah dipindahkan ke Austria.
Benar-tidaknya kabar ini tak ada yang bisa memastikan. Yang jelas, menurut taksiran majalah Forbes edisi Juli 1997, kekayaan Soeharto saat itu mencapai US$ 16 miliar (sekitar Rp 40 triliun dengan kurs Rp 2.500 per dolar), yang menjadikannya salah satu orang terkaya di dunia (lihat ”Ini Dia Superkaya Indonesia”).
Celakanya, hampir semua konglomerat papan atas Indonesia saat itu mengambil jurus serupa. Disebut-sebut sedikitnya US$ 20 miliar modal yang langsung kabur ke luar negeri setelah tragedi berdarah di berbagai kota meletup pada Mei 1998.
Akibat kerusuhan itu, kalangan bisnis memang rugi tak kepalang. Di Jakarta saja, 4.940 gedung rusak, dibakar, atau dijarah, termasuk pertokoan, pusat perbelanjaan, restoran, dan lebih dari 500 kantor bank. Pemerintah memperkirakan kerugian akibat kerusakan bangunan mencapai Rp 2,5 triliun, sementara Asosiasi Pedagang Retail Indonesia menaksir kerugiannya Rp 600 miliar.
Situasi chaos itu menempatkan ekonomi Indonesia di tubir jurang. Penyelesaian utang luar negeri pemerintah dan swasta senilai total US$ 140 miliar, yang menggembung akibat gejolak mata uang sejak pertengahan 1997, semakin tak pasti. Perundingan restrukturisasi utang raksasa dengan para kreditor internasional di Frankfurt, Jerman, yang difasilitasi pemerintah pun tak membuahkan hasil.
Persoalannya sederhana: banyak perusahaan tak mampu lagi bayar utang, kalaupun tunggakan pinjamannya direstrukturisasi. Adapun beberapa konglomerasi bisnis yang ikut terjerat utang raksasa di antaranya Astra International (US$ 1 miliar dan Rp 1 triliun), Bakrie & Brothers (US$ 1,1 miliar), dan Indomobil Sukses Internasional (US$ 395 juta dan Rp 4,4 triliun).
Kemudian cerita makin rumit karena ternyata banyak pengusaha papan atas juga merupakan pemilik bank-bank yang kelimpungan akibat diserbu nasabah. Sebagai langkah penyelamatan, pemerintah melansir program bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sejak 3 September 1997.
Namun, kepercayaan masyarakat terhadap perbankan yang telanjur goyah, sehingga program ini tak kuasa mengimbangi arus pengurasan dana oleh nasabah. Kondisi ini diperparah dengan macetnya pembayaran kredit perbankan akibat suku bunga yang melambung.
Dampaknya, puluhan bank rontok. Sebagian terpaksa ditutup atau dibekukan. Sebagian lagi diambil alih oleh pemerintah, termasuk Bank Central Asia, bank swasta terbesar kepunyaan Grup Salim. Untuk semua upaya itu, ongkosnya supermahal. Total dana yang digelontorkan pemerintah lewat program BLBI dan obligasi rekapitalisasi untuk menambal bolong brankas perbankan mencapai Rp 650 triliun.
Kebijakan inilah yang di kemudian hari menimbulkan kontroversi. Sebagian kalangan menilai kebijakan ini tidak adil karena, ujung-ujungnya, rakyat yang menanggung seluruh beban itu. Apalagi, belakangan diketahui brankas bank itu bolong, juga akibat kredit macet raksasa yang dikucurkan ke para taipan pemilik bank itu sendiri di luar batas maksimum yang diizinkan bank sentral.
Menurut Sofjan Wanandi, suara di kalangan konglomerat saat itu sebenarnya terbelah. Para taipan yang tak punya bank berpendapat pemerintah sebaiknya tak perlu repot-repot mengucurkan dana BLBI. ”Biar saja ditanggung masing-masing pemilik bank,” kata bos Grup Gemala ini.
Lebih jauh Sofjan juga menceritakan, carut-marut saat itu tak lepas dari perpecahan internal di kalangan pemerintah, yang membuahkan keputusan penutupan 16 bank swasta, seperti disarankan Dana Moneter Internasional (IMF). Perpecahan yang dimaksud ialah antara tim ekonomi di bawah ”komando” Widjojo Nitisastro dan Presiden Soeharto.
Widjojo dkk, kata Sofjan, saat itu terpaksa ”menggunakan” IMF untuk melawan Soeharto yang dianggap lebih condong mendengarkan dan melindungi kepentingan bisnis anak-anaknya. Sementara itu, kalangan konglomerat pun terbelah. Ada kalangan pengusaha pribumi yang dimotori Aburizal Bakrie dan ”berinduk” pada Ginandjar Kartasasmita. Ada pula kelompok pengusaha keturunan Tionghoa yang tergabung dalam Yayasan Prasetiya Mulya.
Para taipan di yayasan itu, menurut Sofyan, juga terbelah. Sebagian menginduk pada Liem Sioe Liong alias Soedono Salim yang dikenal dekat dengan Soeharto. Sebagian lagi satu garis dengan William Soeryadjaya, pendiri Grup Astra—termasuk Sofjan di dalamnya.
Meski tak sepakat dengan berbagai polah Soeharto, para konglomerat kubu Om Willem, kata Sofyan, tak mendukung anjuran IMF menutup bank-bank. ”Karena akan menimbulkan efek bola salju.” Tapi, apa mau dikata. ”Resep IMF ini didukung tim Widjojo untuk menertibkan anak-anak Soeharto.” Jadi, kata Sofyan, ujung-ujungnya memang pertarungan internal. ”Dan akibatnya chaos.”
Singkat cerita, dengan kebijakan itu, para konglomerat eks pemilik bank kemudian diikat dalam perjanjian penyelesaian utang. Sejumlah taipan diminta menyerahkan asetnya sebagai jaminan atas pembayaran kredit macetnya.
Anthoni Salim selaku pemilik Bank Central Asia harus menyerahkan 104 perusahaannya ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) senilai Rp 52,7 triliun. Sedangkan Sjamsul Nursalim (Bank Dagang Nasional Indonesia) Rp 27,4 triliun, Bob Hasan (Bank Umum Nasional) Rp 5,3 triliun, dan Sudwikatmono (Bank Surya) Rp 1,9 triliun.
Dalam salah satu tulisannya di Bulletin of Indonesian Economic Studies, Boediono mengisahkan, pada akhir 1998 Presiden Habibie semula menginginkan pengembalian utang oleh para konglomerat dibatasi tenggat hanya setahun dan dibayar tunai, namun tim ekonomi memandangnya tak realistis.
Menurut Boediono, yang saat itu menjabat Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, kebuntuan baru terpecahkan setelah Habibie beberapa hari kemudian menelepon dan berdialog dengan Hubert Neiss, Direktur IMF untuk Asia-Pasifik.
Melalui skema penyelesaian utang itulah, aset para taipan ini menyusut drastis. Salim harus kehilangan sejumlah aset emasnya, seperti BCA dan pabrik gula Sugar Group di Lampung. Itu sebabnya, total kekayaannya menurut taksiran Forbes susut tinggal US$ 800 juta. Menurut Fransiscus Welirang, menantu Liem, penyusutan aset kerajaan bisnis Salim diperkirakan 65 persen. ”Tapi sekarang setidaknya aset sudah meningkat lagi menjadi 50 persenan,” kata Wakil Presdir Indofood ini.
Pencapaian ini, kata Welirang, tak lepas dari kondisi ekonomi domestik yang mulai stabil sejak 2001. Namun, masih perlu dilakukan sejumlah perbaikan, khususnya di bidang reformasi birokrasi secara menyeluruh, kepastian hukum, dan perbaikan infrastruktur.
Nada optimistis juga datang dari G. Sulistiyanto, Direktur Pelaksana Sinar Mas Group. Kelompok usaha ini telah berhasil membebaskan Asia Pulp and Paper di Indonesia dan Cina dari jerat utang raksasa senilai US$ 12 miliar, yang hampir membuatnya karam enam tahun lalu. Negosiasi perpanjangan pembayaran utang dilakukan dengan 11 negara kreditor obligasi. ”Sebanyak 93 persen kreditor sudah setuju,” ujarnya.
Agar tak mengulangi kesalahan serupa, Sulistiyanto mengatakan, Sinar Mas kini hanya memfokuskan usahanya pada empat unit bisnis terpisah: kertas dan bubur kertas, agribisnis dan makanan, jasa keuangan, serta properti. ”Lainnya hanya bersifat penunjang dan tidak ada lagi holding company,” ujarnya.
Pola ini tampaknya kini menjadi tren baru. Konglomerasi yang merambah ke semua sektor mulai ditinggalkan. ”Semua kembali ke bisnis intinya,” kata Dick Rachmawan, pengamat korporasi dari lembaga riset Actual Data Niaga. ”Karena terbukti yang tidak terlalu ekspansif yang bertahan saat krisis.”
Yang juga menarik, krisis memberi peluang munculnya muka-muka baru. Eddy W. Katuari (Grup Wings), Trihatma Haliman (Agung Podomoro), dan Arifin Panigoro (Medco) merupakan tiga muka baru yang masuk jajaran 10 besar taipan terkaya Indonesia versi Forbes Asia 2006.
Meski begitu, menurut Dick, wajah konglomerasi tak berubah banyak. Pemain lama masih berjaya dan mulai diteruskan oleh generasi kedua dan ketiga. Lalu, kenapa nilai asetnya menyusut? ”Bisa jadi, karena 50 persen bisnisnya sekarang lebih banyak di luar negeri,” kata Sofyan. Jadi, tak mudah melacak aset itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo