Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Setelah Bank Berguguran

Setelah krisis ekonomi, sebagian besar bank nasional dikuasai investor asing.

23 Juli 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

November 2002 adalah musim gugur bagi perbankan Indonesia, dan mudah-mudahan itu satu-satunya musim gugur yang kita alami. Diawali Bank Central Asia yang pada November 2002 dijual ke Farindo Investments (Mauritius) Ltd.—konsorsium yang terdiri atas Djarum dan Farallon. Setelah itu bank lain diambil alih Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Pada tahun yang sama, 51 persen saham pemerintah di Bank Niaga ditawarkan. Kali ini Commerce Asset-Holding Berhad dari Malaysia menjadi pemenang tender. Mereka mengalahkan konsorsium PT Bank Victoria International, ANZ Banking Group Limited, dan Batavia Investment Fund II.

Tahun berikutnya giliran mayoritas saham Bank Danamon dibeli konsorsium Asia Finance Indonesia, yang berada di bawah kendali Temasek Holdings. Dulu, bank ini berada dalam pengawasan BPPN lantaran telah menggunakan dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Rp 2 triliun lebih. Artinya, jumlah itu mencapai lebih dari 500 persen dari modal yang disetor. Selama diasuh BPPN, urusan manajerial Bank Danamon dititipkan ke Bank Rakyat Indonesia.

Setahun kemudian, giliran BII. Mayoritas saham BII menyusul dijual ke konsorsium Sorak pada Desember 2003. Konsorsium ini terdiri atas Asia Financial Holdings Pte. Ltd., Kookmin Bank (Korea), ICB Financial Group Holdings Ltd. (Malaysia), dan Barclays Bank PLC (Inggris).

Pada Februari 2004, Bank Lippo mendapat giliran. Sejumlah 52,05 persen saham pemerintah di Bank Lippo dilepas ke konsorsium Swissasia Global. Namun pada September 2005 Khazanah Nasional Berhad (melalui Santubong Investments B.V.) mengambil alih saham Swissasia Global. Tak lama, khazanah meningkatkan kepemilikan di Bank Lippo menjadi 87,52 persen melalui proses tender offer.

Masih pada 2004 divestasi berlanjut ke Bank Permata—gabungan dari Bank Universal, Bank Bali, Bank Artha Media, Bank Patriot, dan Bank Prima Express. Dalam proses tender, konsorsium Standard Chartered Bank dan PT Astra International Tbk. mengalahkan lima penawar lain, yakni konsorsium Maybank, United Overseas Bank Ltd., Commerce, serta ANZ-Panin.

Sungguh tak beruntung, dari penjualan saham enam bank itu pemerintah cuma mengantongi Rp 89,62 triliun. Jumlah itu jauh di bawah biaya rekapitalisasi yang telah dikeluarkan Rp 289,09 triliun. Lanskap perbankan nasional pun berubah. Bank-bank swasta beraset besar praktis dikuasai investor asing. Mereka bahkan telah menguasai 42 persen saham bank di Tanah Air. Penguasaan nasional cuma tinggal di bank-bank pelat merah.

Pengamat ekonomi Dradjad Wibowo mengatakan, beralihnya kendali bank nasional ke tangan asing membuat negara rugi karena harus menanggung bunga obligasi rekap yang nilainya sekitar Rp 50 triliun per tahun. Kerugian lain, pemerintah tak bisa leluasa melakukan kebijakan pemberian kredit. ”Kalau merasa cocok di kredit konsumsi, ya sudah mereka nyemplung di situ. Sektor lain yang perlu diberi kredit malah tidak disentuh,” ujar Dradjad.

Tentu saja beralihnya kepemilikan bank nasional ke tangan asing bukan sebuah kerugian total. Modal dan jaringan besar yang dimiliki investor asing memberikan dampak psikologi tersendiri bagi nasabah yang menyimpan duit di bank itu. ”Tapi, kalau ditimbang-timbang, mudaratnya lebih banyak ketimbang manfaatnya,” kata Dradjad.

Sebaliknya Mantan Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad berpendapat bahwa kepemilikan asing di perbankan nasional bukan persoalan genting. Yang penting, menurut bekas oversight committee BPPN ini, adalah manfaat dari sisi penerimaan negara, penciptaan lapangan kerja, dan kesejahteraan karyawan. ”Indonesia malah bisa memetik pelajaran teknologi dan jaringan global dari pemilik asing,” ujarnya. ”Jangan menutup diri, tapi jangan pula terlalu liberal.”

Dalam soal terakhir Dradjad tidak sepakat. Di Amerika Serikat saja, menurut dia, kepemilikan asing dibatasi maksimal 30 persen. Begitu pula di Singapura. ”Indonesia malah lebih liberal ketimbang negara liberal.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus