Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Inilah ’Dokter’ Buatan Indonesia

Dengan wewenang yang sama, BPPN menuai hasil yang berbeda dibanding KAMCO di Korea Selatan dan TAMC di Thailand.

23 Juli 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jika BPPN dianggap atau diharapkan sebagai ”dokter” dari penyakit moneter di Indonesia 8 tahun lalu, KAMCO di Korea Selatan dan TAMC di Thailand adalah dokter yang manjur mandraguna.

Ketika Indonesia digempur krisis ekonomi sejak Agustus 1997, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) adalah sebuah lembaga yang diharapkan menjadi dokter yang akan ”menyehatkan” ekonomi Indonesia. Andreas Bunanta, Direktur GCI Capital, sebuah perusahaan konsultan keuangan, masih ingat betapa idealisnya dia dan teman-teman ketika pertama kali bergabung dengan BPPN. Andreas dan kawan-kawannya masih berusia tiga puluhan, profesional yang cukup mapan yang pernah bekerja di berbagai perusahaan swasta dengan gaji dan fasilitas memadai. ”Kami ingin berkontribusi kepada negara agar segera keluar dari krisis,” ujarnya.

Di masa-masa awal mereka bekerja, semangat itu masih berkobar. Mereka bekerja keras menjalankan tugas sampai larut malam. Bahkan pada Sabtu dan Minggu, yang mestinya waktu untuk berkumpul bersama keluarga, mereka masih bekerja. Tapi, seperti diakui Andreas, hanya dalam waktu kurang dari dua tahun, segalanya berubah. Idealisme lembaga itu meredup. Banyak temannya berubah menjadi amat pragmatis. Uang dan kedudukan berganti menjadi tujuan utama. Sebagian kecil semula masih mencoba bertahan, tapi akhirnya memilih mengundurkan diri.

Perubahan sikap para karyawan BPPN terjadi dalam sebuah proses panjang berbuhul kekecewaan. Mereka tadinya beranggapan BPPN dengan ”senjata” Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 adalah lembaga yang kuat dan bisa bebas dari berbagai tekanan bisnis dan politik. Kenyataannya tak semuluk bayangan semula.

Saat terjadi krisis, untuk pertama kali dalam sejarah negeri ini pemerintah membentuk sebuah lembaga untuk mengelola sejumlah aset bernilai besar. Aset pemilik bank penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang dikenal dengan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) saja berjumlah Rp 126,45 triliun. Sedangkan aset berupa obligasi rekapitalisasi Rp 123,16 triliun dan aset kredit macet mencapai Rp 340 triliun.

Mengelola aset seukuran dinosaurus bengkak itu tentu butuh beking kuat. Itu sebabnya pemerintah menerbitkan PP Nomor 17/1999 yang memberikan kewenangan dengan hukum khusus bagi lembaga yang sering disebut sebagai dokter perbankan ini. Salah satu yang terpenting adalah kewenangan menyita aset milik debitor bandel.

Namun ternyata, di lapangan, peraturan itu cuma menjadi macan kertas. Sepanjang sejarahnya, BPPN menerbitkan lebih dari 75 surat sita atas aset pengutang bandel. Tapi hanya tiga aset yang dapat dimenangkan dan dikuasai. Selebihnya selalu bisa dibatalkan oleh putusan pengadilan sehingga konglomerat selamat dari kebangkrutan kendati membebani negara triliunan rupiah.

Delapan tahun kemudian, bekas Ketua BPPN Bambang Subianto mengakui, seandainya penyitaan aset bisa dilakukan, tingkat pemulihan BPPN mungkin bisa lebih tinggi dari 28 persen. Sayangnya, aset—kecuali aset properti—yang ada dan bisa dijual di BPPN cuma tagihan, bukan barang.

Tagihan itu mestinya dikonversi dulu menjadi barang lewat penyitaan. ”Jaminan atas tagihan itu mestinya bisa disita, tapi itu tak terjadi di BPPN,” ujar Bambang, yang pernah menjabat Menteri Keuangan. Menjual tagihan tentu saja jauh lebih sulit ketimbang menjual barang. ”Kalau menjual barang, calon pembeli tak harus berhubungan dengan pemilik lama. Sedangkan kalau menjual tagihan, calon pembeli akan berpikir dua kali. BPPN saja tak bisa menagih, apalagi saya,” begitu pasti pikiran calon pembeli.

BPPN juga tak bisa bersikap tegas terhadap konglomerat yang menggelembungkan nilai asetnya. Contoh kasatmata terlihat pada kasus tambak udang Dipasena yang dilaporkan bernilai Rp 20 triliun. Setelah diaudit ulang, nilainya ternyata cuma Rp 2 triliun.

Tengok pula kasus aset kredit Texmaco yang nilainya Rp 30 triliun. Aset itu ternyata cuma tinggal rongsokan bernilai rendah. Sampai sekarang, Texmaco masih teronggok di Perusahaan Pengelola Aset karena tak ada investor yang mau membelinya, bahkan dengan harga lima persen dari nilainya sekalipun. Dan BPPN tak mampu berbuat apa-apa terhadap Marimutu Sinivasan, pemilik Texmaco.

Seorang bekas petinggi BPPN bercerita betapa beratnya bertugas di klinik perbankan itu. Ia harus berkutat sendirian menagih kekurangan setoran utang Rp 1 triliun dari seorang konglomerat. Ia harus berjuang keras pula mencegah penjualan aset konglomerat lain yang masih bermasalah. ”Saya dimusuhi para konglomerat itu,” ujarnya.

Campur tangan pihak luar terhadap proses kerja di BPPN, terutama dalam program divestasi saham dan penjualan aset kredit, makin menjadi-jadi. Dan sang Dokter Perbankan tak mampu berbuat apa-apa. Segala kejadian itu membuat pegawai BPPN mengalami kemerosotan moral. Puncaknya, mereka malah ikut ”bermain” dalam penjualan aset kredit itu.

Hasilnya, dalam program penjualan aset kredit itu tak muncul nama-nama besar perbankan nasional seperti BCA, BNI, dan BRI. Sebaliknya, banyak perusahaan sekuritas yang berhasil menjadi pemenang tender. Anehnya, nama mereka tak terlalu dikenal di dunia finansial—baik di Indonesia maupun mancanegara.

Tak diketahui pula berapa sesungguhnya modal perusahaan-perusahaan itu yang diinvestasikan dalam membeli aset kredit. Hal ini mengundang kecurigaan bahwa investor itu bukan penanam modal dalam arti sesungguhnya. Dus, mereka sekadar calo.

Bagaimana dengan para ”dokter” di Korea Selatan dan Thailand? Penegakan hukum relatif berjalan lebih baik dan urusan utang konglomerat tak masuk ke anggaran negara. Korean Asset Management Company (KAMCO), misalnya, membiarkan saja para chaebol alias konglomerat di Korea Selatan, seperti Kia, Daewoo, Hanil, Ssangyong, dan Hanbo, bangkrut.

Aset-aset konglomerat yang pailit itu kemudian dibeli kembali secara adil oleh konglomerat lain yang selamat dari krisis. Hyundai Motors, misalnya, membeli aset Kia Motors. ”Sedangkan Kumho Asiana mengambil alih Daewoo Construction,” ujar Chu Jeong-hwa, Manajer Kamar Dagang dan Industri Korea Selatan.

Kewenangan kuat juga dimiliki Thailand Asset Management Company (TAMC). ”Mereka dapat menutup sebagian bisnis debitor, menyita aset, bahkan membangkrutkan perusahaan tanpa harus melalui pengadilan bila debitor dianggap tidak kooperatif atau tak dapat dipercaya,” kata Atittaya Chanthunyagarn, Manajer Perencanaan dan Informasi TAMC.

Ketegasan dengan landasan hukum yang kukuh itu membuat debitor keder dan tak berani berbuat macam-macam. ”Di sana, para obligor sampai mengiklankan sendiri asetnya untuk dijual,” ujar mantan Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad, yang juga pernah menjadi Ketua Oversight Committee BPPN. Tak aneh bila restrukturisasi perusahaan di kedua negara itu berjalan lebih lancar.

Proses itu pula yang membuat ekonomi kedua negara lebih cepat pulih. Bandingkan dengan seabrek beban yang disandang Indonesia setelah BPPN dibubarkan pada 27 Februari 2004. Banyak perusahaan hidup tapi terengah-engah dengan beban utang yang masih menumpuk. Negara juga dibebani bunga dan cicilan pokok obligasi rekapitalisasi yang mencapai Rp 1.100 triliun hingga 2019.


Perbandingan Tingkat Pemulihan

  • BPPN Indonesia 28%
  • KAMCO Korea 49%
  • TAMC Thailand 35%
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus