Sosialisme memang sudah di ujung hari, juga di Beijing. Para pemimpin tak lagi bicara soal partai dan ideologi, tapi bagaimana meningkatkan produksi. Semangat wiraswasta diberi tempat. Maka muncullah kapitalis-kapitalis kecil yang menghidupkan ekonomi Beijing: berbagai usaha swasta berkembang melahirkan "orang kaya" baru. Reportase selintas tentang kota yang berubah itu, selama kunjungan Presiden Soeharto di sana, dua pekan lalu, oleh Bambang Bujono. TIBA-tiba saja ia muncul dari ruang dalam, masih mengenakan pakaian juru masak. "Bapak dari Jakarta, ya?" tanyanya. Dan kemudian Wu Yinmei, perempuan 37 tahun itu, menceritakan dirinya dan teman-temannya, tanpa diminta. Maka, berada di rumah makan sempit yang menyajikan masakan Indonesia, yang terletak di sebuah jalan di pusat Kota Beijing itu, untuk beberapa menit tak terasa seperti berada di ibu kota Republik Rakyat Cina. Empat pemuda yang sedang asyik makan mi pangsit, yang mengobrol dalam bahasa Mandarin, terasa seperti pemuda-pemuda di kawasan Glodok saja. Mereka, kata Yinmei, pegawai kantor pajak. Sebuah poster besar yang ditempel di dinding rumah makan itu -- menggambarkan suatu pantai di Indonesia, komplet dengan nyiur melambainya -- memperkuat perasaan itu. Rumah makan ini namanya memang Rumah Makan Nyiur Melambai. "Usaha ini baru saya mulai tiga bulan yang lalu, mudahan-mudahan lancar," kata Yinmei, sambil menyajikan daging rendang, kacang bawang, dan kari ayam. "Pegawai saya ada lima orang, tapi masuknya aplosan, karena saya buka dari pagi sampai malam. Dua di antaranya bisa bahasa Indonesia karena pernah tinggal di Jember dan Surabaya." Di Beijing yang kelabu, di pertengahan musim gugur, dalam suhu yang bergerak antara 4 dan 12 derajat Celcius, keramahan Yinmei seperti sebuah upaya menembus dingin dan kemuraman. Bicaranya yang cepat, termasuk memperhitungkan untung-ruginya membuat bumbu masak sendiri atau membeli bumbu Indonesia dari Hong Kong, secara tak langsung menggabarkan bahwa rakyat Beijing -- dan Cina umumnya -- kini punya pilihan. Yakni pilihan untuk tetap bekerja pada negara atau berdiri sendiri sebagai swasta. "Tiongkok sekarang sudah lain," kata Yinmei pula. "Orang boleh berdagang dan dijamin aman." Pilihan itu, yang dicanangkan oleh Deng Xiaoping 11 tahun yang lalu, membuka jalan lahirnya kapitalis-kapitalis kecil di Beijing dan di kota besar lainnya di Cina. Orang boleh bermalas-malas dan tak beranjak dari rumah sempit yang sekaligus dihuni oleh empat generasi, atau kerja keras seperti Yinmei dan menikmati televisi dan video, serta pesawat telepon, di rumahnya yang cukup lega. "Politik dan ideologi harus mengabdi kemajuan ekonomi," kata Li Ruihuan, anggota komite tetap Politbiro, dalam pidatonya di depan kader-kader Partai di Provinsi Hubei awal pekan lalu. "Kita harus membangkitkan semangat perseorangan dan massa hingga mereka bisa menyumbang pada terbentuknya kemajuan ekonomi," kata tokoh yang disebut-sebut sebagai pengikut Zhao Ziyang, Sekretaris Jenderal Partai yang tergeser karena dituduh membela demonstrasi mahasiswa 4 Juni tahun lalu. Kenyataan bahwa pidato Li tak mendapat teguran menunjukkan bahwa pembelokan rumusan tentang sosialisme memang sedang terjadi, dan diterima. Beijing, seperti kata Yinmei, memang sudah berubah. "Tiga tahun lalu saya bertugas di luar Cina, dan kembali tahun ini. Saya kaget, saya tak lagi mengenal Beijing," kata seorang karyawan Departemen Luar Negeri RRC, yang pekan ini diharapkan tiba di Jakarta untuk menjalankan tugas sebagai karyawan di kedutaan besar RRC untuk Indonesia. Tapi bagaimana Beijing yang berubah itu? "Sebelum 1980, saya tak mungkin menemui seorang tamu asing di hotel, meski hanya untuk urusan akademis semata," kata seorang profesor dari Universitas Peking. Dan secara fisik, perubahan itu adalah munculnya pedagang sayur kaki lima tiap pagi di banyak tempat. Di dekat Stasiun Radio Beijing, di sudut-sudut jalan di Beijing Timur, juga di dekat kampus Universitas Peking, dan di banyak tempat. Mereka yang menggelar dagangannya itu umumnya tengkulak yang membeli sawi (musim gugur adalah musim sawi) dari para petani di luar Beijing. Di pasar kaki lima ini tak ada batas pembelian orang boleh memborong semuanya bila mau dan mampu. Memang, harga-harga di sini dua kali lipat dibandingkan di toko toko pemerintah. Tapi kualitas sawinya pun lain: lebih segar, lebih gemuk. Juga, tentu, munculnya hotel-hotel internasional sejak sekitar lima tahun lalu. Sudah barang tentu ini hotel patungan antara modal luar negeri dan perusahaan negara. Di samping itu, juga dibangunnya rumah-rumah susun baru -- biasanya milik perusahaan, dan penghuni utamanya adalah karyawan perusahaan tersebut. Tapi bagi mereka yang baru sekali melihat Beijing, mungkin munculnya rumah-rumah susun baru tak mencerminkan perubahan. Pasalnya, bentuk bangunan itu tak beda dengan bangunan lama. Bahkan juga cat dindingnya: tetap dengan warna muram. Mungkin ini satu kebijaksanaan yang sudah sangat diperhitungkan untuk tak membuat kejutan bagi masyarakat Beijing. Dan ini: begitu luasnya Kota Beijing (lebih dari 20 kali luas DKI Jakarta), hingga tetap saja kota ini terasa kosong meski gedung-gedung tinggi bermunculan. Kesederhanaan pun tetap tercermin, meski jalan penuh mobil. Yakni, di jalan khusus buat sepeda, tak pernah sepi. Bahkan di malam hari, ketika mobil mulai sepi, sepeda masih mengalir deras -- dan semua sepeda tanpa lampu. Dalam skala kecil, perubahan itu terwujud dalam diri seorang Yinmei Mei, bos kecil sebuah Rumah Makan Nyiur Melambai. Ia datang dengan orangtuanya dari Semarang langsung ke Kanton (Guangzhou sekarang), ketika Revolusi Kebudayaan mulai digelindingkan. Bila kemudian Yinmei berpisah sementara dengan orangtuanya, memang demikianlah model hidup di zaman Revolusi Kebudayaan itu. Ayahnya seorang insinyur mesin, entah ditugaskan "turun ke bawah" di desa mana, untuk belajar bekerja dari petani. Yinmei sendiri tetap di Kanton, di luar kota memang, bekerja di sawah. Bila ia merasa sangat menderita, itu terutama karena soal makan. Jarang sekali ia mendapat nasi. Makanan pokok buat hampir semua orang adalah mantau (bakpao tawar) dengan seperempat mangkuk sayur sawi asin. Bila nasib terasa tertanggungkan, hal itu karena hampir semua orang, baik warga asli maupun perantau yang baru saja datang, mengalami dan menerima hal yang sama. Beberapa tahun kemudian, Yinmei punya selingan yang menarik. Beberapa mahasiswa yang belajar di jurusan bahasa Indonesia menemuinya untuk praktek. Yinmei tak ingat, apakah mereka datang dari Beijing atau dari Shanghai. Yang jelas, perkenalan itu merupakan modal yang cukup berharga bagi hari depan Yinmei, ketika Revolusi Kebudayaan runtuh, dan keterbukaan berusaha dibolehkan. Toh, setelah masa Pengawal Merah sebagai raja habis, Yinmei masih butuh waktu tujuh tahun, sebelum ia mengambil keputusan untuk mengubah nasib. Lahir di Semarang dari sebuah keluarga yang jauh dari bau tanah persawahan, pertanian memang bukan dunianya. Maka, ketika kesempatan datang, pada 1983, empat tahun setelah keterbukaan ekonomi dicanangkan, Yinmei pindah ke Ibu Kota, ke Beijing. Ia bekerja di Kantor Urusan Perantauan sebagai tukang masak. Soalnya, ia merasa ahli dalam memasak masakan Indonesia. Bila kantor itu membutuhkan dia, sebagian besar yang ditampung di situ adalah Tionghoa yang datang dari Indonesia. Selain itu ada alasan lain pula. Dengan menjadi tukang masak ia selalu bisa makan sisa masakan. Maka, ia tak perlu harus makan mantau. Di situlah perempuan 30 tahun yang masih selalu mimpi tentang Indonesia itu kerja keras dan berhemat. Rupanya, memang sudah jadi rumus alam. Para perantau punya dorongan untuk kerja lebih besar daripada warga asli. Bukankah dibandingkan dengan orang warga Beijing yang lahir, besar, dan bekerja di Beijing, Yinmei adalah "pendatang"? Disadari atau tidak, perasaan bahwa dirinya berbeda dengan warga asli memang ada, "Orang sini malas-malas," katanya. Waktu itulah ia bertemu dengan lelaki yang kini jadi suaminya, seorang Tionghoa yang pulang ke negeri leluhur dari Ujungpandang. "Berapa anak? Wah, di Tiongkok ini kami hanya boleh punya satu anak," jawabnya ketika ditanya tentang anak. "Anak saya perempuan, umurnya sekarang tiga tahun." Yinmei mungkin memang beruntung. Ketika Kantor Urusan Perantauan itu ditutup, tabungannya sudah cukup besar. Setelah menikah ia memang tak banyak harus mengeluarkan uang. Rumah yang kini ia tempati -- menurut seorang temannya -- milik mertuanya. Itulah, dengan modal tabungan itu, ia bisa menyewa sebuah ruang di pinggir jalan besar di Beijing Timur. Dengan ruang depan berukuran sekitar 5 x 2 meter, cukup untuk 20 tamu, lalu di belakang ada ruang untuk memasak. Ia harus membayar di muka 10.000 yuan. Itu jumlah yang cukup besar bila diingat bahwa seorang profesor madya hanya bergaji sekitar 250 yuan sebulan. Tapi memang uang itu tak hanya untuk membayar kontrak ruangan. Yinmei, yang rupanya mewarisi semangat dagang dari keluarganya (familinya yang masih di Semarang punya pabrik kuaci, yang di Jakarta punya toko kue), menuntut perlengkapan buat rumah makannya. Tak hanya meja dan kursi, juga kulkas, almari tempat menyimpan bumbu, dapur yang rapi, beserta piring, mangkuk, sendok-garpu, dan tentu saja sumpit. Si pemilik ruangan pun rupanya juga cukup berhitung. Semua memamg ia sediakan. Tapi rupanya bukan barang baru yang ia sewakan pada Yinmei, melainkan bekas. Rumah Makan Nyiur Melambai ini baru berjalan tiga bulan, tapi mangkuk, piring, dan sendoknya sudah gripis. Toh, pada pengakuan Yinmei sendiri, warungnya cukup laris. Dari pukul 8 pagi sampai 10 malam setidaknya 300 yuan masuk kas. Belum lagi pesanan khusus dari kantor-kantor di kawasan itu. Tampaknya, mahasiswa yang mempraktekkan bahasa Indonesia yang datang dari Beijing tak melupakan Yinmei. Mereka suka makan di Nyiur Melambai. Hari itu, Kamis dua pekan lalu, ketika para pegawai pajak selesai makan, masuk seorang tua berjas Mao. Ia memesan mi pangsit. "Selain mereka yang pernah tinggal di Indonesia, orang-orang Beijing sendiri tertarik pada masakan Indonesia," tutur Yinmei. Sebagai pengusaha baru, terkesan bahwa orang Tionghoa kelahiran Semarang ini tak tanggung-tanggung berbasah-basah dalam dunia bisnis. Ia tak cuma tahu berapa besar ia membayar pajak tiap bulannya ("Lebih dari 100 yuan," katanya). Tapi ia juga mengikuti nilai tukar yuan terhadap dolar, yang resmi serta yang gelap. Dua pekan lalu, sebelum devaluasi yuan Sabtu pekan lalu, 100 dolar Amerika senilai dengan 460-an yuan. "Bila di pasar gelap, 100 dolar bisa ditukar dengan 550 sampai 570 yuan," kata Yinmei. Memang ada bedanya. Yuan yang diperoleh secara resmi adalah uang kertas yang diperuntukkan bagi orang asing, yang disebut waihuiquan atau sertifikat uang asing. Sementara itu, di pasar gelap yang bisa diperoleh adalah uang renminbi, yang digunakan oleh warga Cina sendiri. Pada dasarnya tak ada bedanya, tapi biasanya waihuiquan masih baru, sementara reminbi sudah lecek. Pada satu sisi, gambar dan segalanya persis sama, pada sisi lain, uang yang untuk orang asing ada penjelasan dalam bahasa Inggris. Bagi seorang asing yang berbelanja dengan renminbi di pasar bebas, tak ada persoalan. Tapi hotel, toko serba ada khusus untuk orang asing, serta toko buku Xinhua yang menjual buku-buku bahasa asing, menolak renminbi bila yang menyodorkannya adalah seorang asing. "Orang Tinghoa yang mau bepergian ke luar negeri biasanya mau menukar dolar dengan nilai gelap," tutur Yinmei. Dengan cara itu, orang yang mau bepergian -- sejak awal 1980-an bepergian ke luar negeri bagi warga Cina agak diperlonggar -- tak usah banyak urusan dengan birokrasi yang tetap saja panjang, untuk memperoleh dolar. Soalnya, yuan, baik yang renminbi maupun yang waihuiquan, tak laku di mana pun. Tak ada toko yang mau menerima yuan di Hong Kong sekalipun, yang sekitar tujuh tahun lagi akan kembali ke wilayah Cina itu. Menurut orang Beijing sendiri, restoran Yinmei termasuk murah. Sepiring nasi daging sapi 2,70 yuan. Kari ayam mangkuk kecil 3 yuan, mangkuk besar 8 yuan. Sate sapi 6 yuan, sate ayam 4,5 yuan. Bir lokal 1,5 yuan. Kopi panas 1,5 yuan. Tiga orang yang menghabiskan sepiring daging rendang, semangkuk kari ayam besar, semangkuk sup telur, semangkuk mi pangsit, tiga nasi putih, dan satu kaleng Coca-Cola harus membayar 25 yuan. Bandingkan dengan jajan di kaki lima, yang mesti keluar 12 yuan untuk sate daging, sepiring nasi putih, dan sekaleng Sprite. Sebenarnya Yinmei bisa lebih banyak menarik langganan. Yakni bila ia pun menyediakan bir di rumah makannya. "Tapi saya tak mau jual bir. Banyak orang Beijing yang suka mabuk-mabukan dan berkelahi, bisa-bisa tak mau bayar. Celakanya lagi, polisi tak mau berurusan dengan orang mabuk," tuturnya. Toh, pendapatan rata-rata karyawan Rumah Makan Nyiur Melambai 150 yuan per bulan, masih ditambah makan gratis sekali dan libur sehari dalam seminggu -- suatu fasilitas yang bisa bikin iri seorang dosen baru di universitas. Memang, Yinmei tak sembarang menerima pegawai. Kriteria yang tak bisa ditawar untuk karyawan yang melayani langganan: mesti pernah tinggal di Indonesia. Tiga bulan berjalan, Yinmei rupanya sudah cukup optimistis. Di rumahnya, masuk sekitar 50 meter di sebuah gang yang terletak di salah satu jalan besar, ada televisi, video, kulkas, sepeda. Ia punya tungku pemanas berlubang empat, cukup untuk menghangatkan rumahnya yang berlangit-langit cukup tinggi (kebanyakan rumah orang Beijing rendah) yang luas totalnya sekitar 100 m2. Juga cukup untuk menghangatkan air mandi. Sebagaimana rumah pedagang umumnya, rumahnya pun kena dampak usaha: di ruang tamu teronggok sekarung beras, setumpuk sawi hijau, dan sekarung bawang putih. Bahan bakar untuk tungku pun bertumpuk di situ. Di ruang tengah, televisi dan video terletak, selain meja makan yang siang itu penuh pakaian -- seperti habis dijemur. Kamar mandi mungil tanpa bak. Hanya ada ember dan pancuran. Ada dua kamar tidur di rumah ini, dan sebuah dapur. "Kalau hendak melihat rumah kebanyakan orang Beijing, jangan melihat rumah saya," kata Yinmei di rumahnya, sambil menyajikan kopi yang jauh lebih enak daripada kopi di hotel bintang lima. Tanpa basa-basi ia mengatakan bahwa keluarganya termasuk kaya. Adiknya, katanya, punya toko besi dan punya mobil. "Mungkin karena saya tak bisa makan mantau, maka saya bertekad kerja keras," ujar ibu yang sukses ini. Meski sudah di rumah, Yinmei tetap tak mau diajak mengobrol soal pemerintah Cina, peristiwa Tiananmen, dan soal larangan ini dan itu. Ia cuma bilang bahwa "orang jahat telah menghasut mahasiswa", hingga terjadi huru-hara. Tapi kini sudah aman, karena orang-orang jahat itu sudah ditangkapi. "Pokoknya saya senang, Tiongkok sudah berubah." Bagi 20% orang Beijing, hidup memang sudah berubah. Mereka memiliki sedikit kebebasan, hidup yang lebih baik. Yinmei, misalnya, dalam sebulan harus mengeluarkan belanja rumah tangga sekitar 150 yuan, belum termasuk kalau ia rekreasi bersama suami dan anak, atau membeli film video yang harganya rata-rata 60 yuan. Anggaran rumah tangganya tinggi karena untuk membayar biaya taman kanak-kanak anaknya saja sudah 70 yuan sebulan. "Masalahnya, kami tak bisa berhemat untuk makan. Kami tak bisa makan mantau, yang hanya beberapa sen harganya itu, karena pernah tinggal di Indonesia," katanya. Menurut Yinmei, dengan makan mantau, satu keluarga dengan satu anak bisa hanya menghabiskan belanja 50 yuan sebulan. Dan ini sudah termasuk baik. Artinya, banyak keluarga yang terpaksa bisa hidup di bawah 50 yuan, dengan satu apartemen sempit yang dihuni empat generasi. Di keramaian pusat pertokoan Wangfujing, Yinmei masuk ke toko video. Ia beli sebuah film anak-anak untuk anaknya. Suaminya memang lebih bertugas mengurus rumah. Dan dengan enteng pula ia masuk toko mainan anak-anak, membeli beberapa balon berbentuk hewan. Ia pun sekali-sekali bepergian naik taksi, kalau terpaksa. "Taksi di sini mahal," katanya. Biasanya ia lebih suka menyewa mobil adiknya, sehari penuh ia cuma harus membayar 40 yuan -- bandingkan dengan naik taksi sekitar 20 menit dan mesti bayar 20 yuan. Dalam pergaulan sehari-hari, Yinmei lebih suka berkumpul dengan sesama perantau. Bukan karena sombong, tapi dalam perkumpulan beranggotakan 3.800 perantau Indonesia itu ia bisa membagi rindu. Mereka berkumpul menyewa sebuah gedung pertemuan, pesta dengan masakan Indonesia, ada tari-tarian Indonesia seperti tari lilin, tari payung, dan juga lagu-lagu Indonesia. Prinsip sama rata sama rasa tampaknya memang sudah digeser. Ribuan Yinmei yang lain memutar otak dan mengencangkan otot dengan kerja keras. Untuk sementara, bidang mereka memang terbatas -- rumah makan, usaha kaki lima, transportasi, antara lain. Siapa tahu, sebentar lagi mereka pun boleh menjadi partner modal asing. Kapitalisme memang sedang mencoba bangun di negeri semilyar manusia ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini