Sebuah ibu kota yang luas, kelabu, yang menyimpan kekuatan ekonomi, sedang mempersiapkan diri hadir di dunia internasional. Pelan-pelan, ketertutupan dibuka, dan sebuah hidup yang lebih berwarna sedang dijajaki. SUATU sore di pusat pertokoan Wangfujing. Dari arah selatan membanjir manusia dengan baju, jas, dan jaket yang didominasi warna biru tua. Seolah-olah inilah sebuah sungai tempat bermuaranya banyak anak sungai. Lalu, bagaikan arus sungai yang membentur batu besar, lautan manusia itu pun terpecah-pecah. Ada sekelompok yang membelok masuk ke toko, ada yang terus berjalan dengan wajah dingin, menatap ke depan, seperti tak ada yang lebih penting selain melangkahkan kaki. Sebagian lagi ber- henti di halte bis. Lalu, ketika bis pun akhirnya datang, semuanya memburu ke pintu. Tak langsung masuk, karena kendaraan rakyat itu pun memuntahkan sejumlah manusia, yang lalu larut dalam lautan biru tua itu. Pemerintah kota sebenarnya sudah mengatur agar jam kerja di sejumlah kantor dan perusahaan di Beijing berbeda-beda, hingga lautan manusia tak memenuhi jalan. Tapi mungkin jalan-jalan tertentu jadi favorit para warga Beijing, sia-sia saja upaya itu. Jalan tetap macet, dan berjalan di trotoar mau tak mau harus sering bersinggungan dengan orang lain. Dan, boleh dikata, Wangfujing sejak pukul 3 siang terus dilanda lautan manusia sampai sekitar pukul 7 malam, ketika toko-toko sudah hampir tutup. "Wangfujing itu tempat orang belanja dengan harga yang agak miring," kata seorang perempuan yang di tahun 1950-an meninggalkan Indonesia, dan kini bekerja di Radio Beijing. Tapi ia sendiri mengaku jarang ke jalan yang ujung selatannya tak jauh dari Lapangan Tiananmen itu. "Paling cuma melihat-lihat, tak ada yang membeli sesuatu," tuturnya. Mungkin juga sebagian besar mereka yang keluar masuk toko sekadar melihat-lihat. Para penjaga toko pun seperti tak berusaha menarik pembeli. Beberapa pelayan di Baihuo Dalou, toko serba ada terbesar di Beijing, memang tampak ramah, dan tak segan-segan melayani permintaan pembeli untuk menurunkan barang yang dipajang di atas, meski yang meminta tak jadi beli. "Langganan adalah raja" mungkin sudah juga dipompakan di kota yang diam-diam memang sedang mencoba mengubah sosialisme kunonya ini. Tapi, memang, antusias para penjaga toko ini dibandingkan dengan para pedagang di kaki lima di sebuah kawasan Beijing Timur terasa berbeda. Harap maklum, semua toko di Wangfujing milik pemerintah. Semua penjaganya otomatis pegawai pemerintah, yang gajinya tak tergantung toko tersebut laku atau tidak. Berbeda dengan kaki-kaki lima yang swasta itu, yang masuknya uang tergantung ada pembeli atau tidak. Bila mereka begitu ramah dan sungguh-sungguh melayani pembeli, meski yang hanya bertanya soal-soal yang tak langsung mengenai dagangan mereka, memang kembalinya modal tergantung pada pembeli. Dan modal itu, untuk ukuran Beijing, yang menggaji profesornya sekitar 250 yuan sebulan, cukup besar. Sebuah kios berukuran sekitar 3 x 3 meter, mesti dibayar di muka sekitar 3.000 yuan untuk dua tahun. Di samping itu mereka mesti bayar pajak yang besarnya sekitar 120 yuan sebulan. Itu untuk para pedagang baju, jaket, jas, sepatu, dan sejenisnya. Bagi pedagang sayur, buah, dan ikan, sewa dan pajak lebih murah. Boleh jadi, para pedagang buah dan sayur dan ikan diduga penghasilannya di bawah mereka yang menjual sepatu atau jaket. Sekilas, dilihat dari cara mereka berpakaian, bisa jadi dugaan itu benar. Seorang penjual T-shirt dan jaket, misalnya, seorang perempuan di atas 50 tahun, mengenakan baju panjang biru muda dan sweater dari kain parasut warna krem. Setiap ada pengunjung mendekat, ia akan berdiri, menyilakan pembeli memilih sesukanya. Pada wajah pemilik kios ini tak tampak rasa capek. Lalu, cobalah berpindah ke tempat barisan pedagang sayur, buah, dan ikan. Rata-rata mereka berbaju jaket Mao warna biru, lengkap dengan topinya. Namun, dibandingkan dengan para pramuniaga di Wangfujing, para pedagang buah dan sayur itu terasa lebih ramah. Tak segan mereka mengundang para pejalan kaki untuk mencicipi buahnya -- biasanya yang dijual adalah buah pir. Bangkitnya para kapitalis kaki lima ini memang menyemarakkan Beijing. Pemerintah tampaknya sengaja mendorong lahirnya para swastawan ini untuk mengatrol perekonomian Cina. Ketergantungan rakyat pada subsidi negara sedikit demi sedikit dikurangi. Orang dididik untuk memahami, siapa kerja keras dia berhak mendapatkan lebih daripada yang tidak kerja keras. "Akibatnya di sore dan malam hari Beijing jadi tak sesepi dulu," tutur seorang penyiar Radio Beijing. Ia bercerita bahwa kini banyak orang berdagang sate atau makanan lainnya di sore hari, untuk menambah penghasilan. Apa memang laku? "Wah, saya tak tahu, tapi mereka terus dagang, mestinya ya untung," jawab orang kelahiran Surabaya ini. Pengurangan subsidi mau tak mau memang memaksa orang berusaha. Dulu, semua kebutuhan, dari makanan pokok sampai batu bara untuk pemanas rumah, disediakan pemerintah dengan harga sangat murah. Hingga sebuah keluarga bisa hidup hanya dengan beberapa puluh yuan sebulan. Kini, jatah batu bara, misalnya, dibatasi hanya 120 bulatan tiap bulan (batu bara untuk tungku pemanas dibentuk bulat-bulat, berongga, mirip roster untuk ventilasi). Yang 120 inilah yang bisa dibeli dengan 4 sen per buahnya. Padahal, 120 buah batu bara itu normalnya hanya bisa dipakai paling lama dua minggu. Itu belum terhitung untuk memasak air bagi mereka yang belum bisa punya saluran gas. Maka, paling tidak satu keluarga di musim dingin mesti membeli 120 buah batu bara lagi di toko swasta yang harganya 15 sen per buah atau hampir empat kali harga pemerintah. Beras pun untuk tiap mulut dijatah terbatas. Yang terbatas ini bisa dibeli antara 80 sampai 120 sen per kilogramnya. Di pasar bebas, harga beras dua kali lipat dari itu. Jatah beras inilah, kata Yinmei, pemilik Rumah Makan Nyiur Melambai -- tokoh kita tersebut di bagian pertama -- yang sering diperdagangkan lagi. Tak semua orang Beijing butuh beras. Mereka bisa berhemat dengan makan mantau, yang dibuat dari gandum yang ditanak. Dengan 80 sen gandum, satu keluarga dengan tiga mulut bisa makan sekurangnya tiga hari. Dan mantau tahan lama, bisa disimpan berhari-hari. Dari mereka yang menjual jatah berasnya itulah umumnya pemilik warung nasi atau rumah makan bisa mendapatkan beras yang sedikit lebih murah daripada di pasar bebas. Demikianlah cara orang menyiasati mahalnya harga. Semangat berhemat memang dicontohkan oleh pemerintah. Dengan jalan-jalan utama yang begitu lebar, yang dibagi-bagi menjadi jalur pejalan kaki, sepeda, dan mobil, di malam hari penerangan jalan terasa kurang. Apalagi di luar Beijing. Di Kota Xian, misalnya, sekitar 900 km di selatan Beijing, begitu senja turun jalanan pun jadi remang-remang. Jalan yang lumayan terang hanya di sekitar daerah pertokoan, karena terkena bias lampu-lampu toko. Tapi, begitu toko toko tutup, hampir di semua sudut jadi gelap, termasuk jalan-jalan dekat Hotel Xian yang megah itu. Dua patung perempuan telanjang di depan hotel sosoknya tak sejelas di siang hari. Ajaibnya, kegelapan tak menghalangi orang bersepeda lalu-lalang, apalagi tak sebiji sepeda pun pakai lampu. Bisa jadi, salah satu cara berhemat adalah dengan bergelap-gelap. Beberapa rumah susun di Xian, pada sekitar pukul 9 malam, gelap gulita. Hanya satu-dua jendela menampakkan cahaya lampu remang-remang. Suasana di banyak toko di Beijing sendiri bisa dikatakan tak begitu benderang. Bahkan di Friendship Store, toko serba ada khusus untuk orang asing -- di sini uang lokal, renminbi tak laku, dan mereka yang belanja di sini mesti punya paspor asing -- penerangan pun tak begitu royal. Mungkin untuk penghematan itulah toko-toko tak buka terlalu malam -- rata-rata tutup pada pukul 7. Kurangnya tenaga listrik ini sampai jadi anekdot. Konon, bila ada pertandingan nasional sepak bola, maka semua televisi dihidupkan, dan ini menyebabkan sejumlah pabrik terpaksa berhenti kerja karena kekurangan setrum. Selain menyindir kurangnya listrik, anekdot ini sekaligus mengabarkan bahwa rakyat Cina tak asing lagi dengan televisi -- di atap rumah-rumah susun memang selalu terlihat banyak antena televisi. Televisi tampaknya memang sudah jadi barang biasa di negeri yang sepeda menjadi alat transportasi umum bagi tukang sayur sampai profesor ini. Meski diskotek dan bar bukan lagi barang tabu di Beijing, sebagian besar warga tetap merasa lebih murah dan enak nonton kotak bergambar ini di rumah. Televisi Beijing punya tiga saluran. Bagi orang Beijing, tentu lebih murah nonton televisi di rumah, yang antara lain juga menyajikan film silat, daripada umpamanya nonton film yang karcis masuknya 1 yuan -- bisa dibelikan mantau untuk makan tiga mulut dalam tiga hari. Padahal, pesawat televisi bikinan Cina sendiri cukup mahal. Mungkin ada juga televisi harga pemerintah. Bagi mereka yang punya uang, Beijing pun kini menawarkan pilihan. Di toko serba ada Baihuo Dalou itu, umpamanya, di samping barang-barang bikinan Cina ada juga bikinan Jepang atau Korea. Sebuah penanak nasi listrik bikinan Cina berharga 115 yuan sampai 130 yuan. Untuk ukuran yang sama, penanak nasi Toshiba buatan Jepang berharga sekitar 300 yuan. Lakukah barang Jepang di sini? Menurut Yinmei, terang kalah laku dengan buatan Cina sendiri, soalnya harganya terjangkau. Dan buat apa beli mahal-mahal, katanya, kalau gunanya sama saja, cuma warnanya lebih bagus. Tampaknya memang roda perdagangan di Beijing kini bergerak dengan baik. Bahkan Perkumpulan Islam Beijing antara lain dihidupi oleh rumah makan dan toko daging kambing yang diusahakan oleh organisasi ini, antara lain. Dan harga di rumah makan Islam, setidaknya yang ada di Wangfujing, cukup murah. Segelas teh susu kambing hanya 0,50 yuan. Dan di rumah makan ini, bau Beijing seperti terhalang masuk. Wajah para pelayan adalah wajah orang Uighur, berhidung mancung, bermata tidak sipit, meski tetap berkulit kuning. Dan rata-rata fasih berbahasa Inggris. Suasana pun terasa santai, tidak muram. Mungkin karena hanya ada dua-tiga rumah makan Islam, restoran ini lumayan laris. Bukan karena banyak yang nongkrong, melainkan, ada saja pembeli yang datang dan memesan makanan dalam porsi banyak, untuk dibawa. "Kalau tak untuk pesta, ya untuk dijual lagi," kata seorang pelayan yang baru saja melayani seorang pembeli yang memesan sepuluh potong bebek panggang. Mereka ribut sebentar, karena ternyata 10 potong kantung plastik untuk mewadahi sang bebek harus dibayar tersendiri. Memang, hampir semua toko tak menyediakan tas-tas plastik, termasuk di Baihuo Dalaou maupun di toko buku bahasa asing Xinhua yang juga berada di Wangfujing. Buku hanya dibungkus dengan kertas koran, lalu diikat dengan tali plastik, tak peduli bagaimana pembeli kerepotan membawanya. Manfaat tas plastik, yang bisa ditempeli gambar reklame, rupanya masih dianggap pemborosan yang tak perlu. Yah, lampu-lampu reklame, yang byar-pet, atau tanpa byar-pet, itulah kekurangan (atau kelebihan?) Beijing. Pun nama-nama toko tak dibuat untuk menarik perhatian, tampaknya. Mungkin, di samping kurangnya listrik, itu semua masih dianggap terlalu berlebihan. Andai saja lampu-lampu reklame itu ada di Beijing, ibu kota negeri raksasa ini tentulah tak lagi terasa berbeda dengan Hong Kong atau Singapura. Di Guangzhou, kota di selatan, sekitar 1,800 km dari Beijing, lebih gebyar-gebyar daripada Beijing. Tapi kota yang dulu bernama Kanton ini kabarnya memang dipersiapkan untuk menyatu dengan Hong Kong, nanti 1997, setelah Hong Kong kembali ke Cina. Apalagi di Shenzhen, kota yang bersebelahan dengan Hong Kong, kota yang lahir karena di situ banyak industri dibangun. Maka, disebutlah wilayah ini sebagai "zona ekonomi khusus". Di sini, selain suasana sudah mirip Hong Kong, orang bisa bilang bahwa nasionalisme di Shenzhen tipis: orang dan toko lebih suka menerima dolar Hong Kong atau Amerika. Yuan? Anda tak begitu dihormati rasanya bila membayar dengan yuan. Itukah Beijing? Hanya melihat Beijing dalam beberapa hari, rasanya sulit menyimpulkan sebuah kesan yang bulat. Yang jelas, suasana lukisan klasik Tiongkok yang berkabut-kabut dengan pohon yang khas tak terlihat di sini. Yang ada hanyalah pemandangan kelabu dan bangunan-bangunan muram yang tak ramah, plus pasukan sepeda yang bergerak lurus seperti tak mempedulikan sekitar. Orang harus pergi dari Beijing untuk menemukan suasana lukisan Tiongkok, misalnya di Xian. Kota yang dijadikan pusat kerajaan Qin Shihhuangti ini, yang menyimpan seribu pasukan terakota, bersuasana mirip lukisan klasik Cina. Alamnya yang berkabut, dan pohon-pohon sung yang ornamentik itu. Yang jelas terasa di Beijing adalah gerak bisnis di pasar bebas, di pusat pertokoan, dan lalu-lalangnya para pengusaha di hotel-hotel berbintang lima atau empat -- hotal-hotel yang menurut seorang wartawan bak pulau gemerlap tersendiri di tengah alam kelabu Beijing. Sebuah gerak yang tampaknya akan disusul dengan geliatan yang lebih pasti dari raksasa yang sedang tidur. Suatu kekuatan ekonomi dan budaya di wilayah Asia-Pasifik, mungkin di dunia, tampaknya sedang menyiapkan kehadirannya. Lihat, di toko-toko buku, yang terbanyak dipajang adalah pelajaran bahasa Inggris. Tampaknya sang raksasa sedang menyiapkan diri terjun ke dunia internasional dengan lebih fasih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini