Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Murid mogok

Murid sdn lapa taman, sumenep, madura mogok karena penduduk desa terbagi tiga kelompok dan termakan isu.

14 Maret 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA guru mogok, apalagi murid, ya, ikut mogok. Ini di SD Negeri Lapa Taman, Dongkek, Sumenep, Madura, pertengahan Februari lalu. Tiga ruang yang terdiri dari enam kelas hari itu hanya diisi 16 murid. "Kami jadi bingung," kata Suharto, guru kelas V dan VI. Guru di sekolah itu hanya tiga. Dan tak satu pun berani mendatangi rumah orangtua murid. "Nanti dikira kami memihak salah satu kelompok di desa ini," kata Suharto kepada Zed Abidien dari TEMPO. Urusan ternyata akibat kena apa yang disebut "pertikaian politik" lokal. Konon, penduduk di desa itu terpecah tiga setahun belakangan ini. Yakni Kelompok Mahda, Kelompok Asdawi Wasul, dan Kelompok Netral. Mahda adalah bekas Kepala Desa Lapa Taman, yang dipecat Bupati Sumenep, Sugondo. Asdawi, sekretaris desa itu, ditunjuk jadi penjabat sementara kepala desa. Keduanya sepupu namun bersaing tajam, hingga Bupati menunjuk Sukandar pensiunan Komandan Rayon Militer Kecamatan Dasuk menggantikan Asdawi. Di hari pelantikan, ketika Sukandar akan menandatangani berkas serah terima jabatan, mendadak muncul suara gaduh. "Tidak setuju, tidak setuju," seru puluhan penduduk. Mereka menyeruak ke dalam rumah, langsung menggotong Asdawi dan mengarak ke luar. Para pejabat yang hadir terkunanang alias terpana dibuatnya, termasuk Sekwilda Pemda Sumenep, Sutrisno. Namun, acara tetap dilanjutkan. "Jadi kepala desa tambah pusing," ujar Sukandar. Ia tidak berambisi dengan jabatan ini. "Lebih enak kerja di proyek pengeboran minyak," tambahnya. Tapi, menurut Sukandar, misinya mengamankan desa sampai pemilihan umum nanti. Setelah itu akan dilakukan pemilihan kepala desa definitif. Dalam pengamatannya, ia tak ada ganjalan dengan Mahdar atau Asdawi. "Malah dua orang itu sudah berbaikan," katanya. Singkatnya, keadaan sudah serba aman. Cuma, aman menurut Sukandar, lain menurut Kelompok Mahdar. "Sejak bapak saya tak jadi kepala desa, keadaan runyam. Banyak pencurian," kata Sueb, 15 tahun, anak lelaki Mahdar. Bahkan, menurut istri Mahdar, murid SD yang mogok itu adalah lantaran ulah Asdawi. Konon ia minta Kyai Raup dan Masrup dua orang berpengaruh di sana mempengaruhi orangtua agar anaknya jangan ke sekolah. Tujuannya, untuk mengacaukan keadaan. Tapi Asdawi yang masih menjabat sekretaris desa menyanggah tuduhan tersebut. "Itu tidak benar. Kepentingannya apa sih sehingga saya menyuruh mereka mogok?" katanya, pekan lalu. Yah, ini mungkin sudah nasibnya tiga ribu warga desa itu, yang gampang saja termakan isu. Maklum, mereka tak ada yang tamat SD, dan penghasilan sebagai petani dan nelayan pun serba berkekurangan. Umumnya mereka kurang paham pula bahasa Indonesia. Meski belum jelas siapa yang sedang "main", apa boleh buat, para murid SD tadi sudah jadi korban. Ed Zoelverdi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus