DI Jakarta terdapat lebih dari 20 buah museum. Meskipun karcis
masuk ada yang hanya Rp 50, sebagian besar selalu sepi dari
pengunjung. Tak heran bila penghasilannya jauh dari mencukupi
sehingga untuk merawatnya pun sulit.
Padahal Pemda DKI beberapa waktu lalu secara gencar pernah
melancarkan semacam kampanye yang terutama ditujukan kepada
murid-murid sekolah agar mereka rajin ke museum. Antara lain
dengan adanya wajib kunjung ke museum-museum bagi
sekolah-sekolah. Dan hasilnya lumayan.
Menurut Kepala Dinas Museum dan Sejarah DKI, G.A. Warmansyah,
setiap hari sekitar 10 buah bis membawa rombongan murid-murid SD
di DKI mengunjungi museum-museum yang ada di Jakarta. "Tapi
sejak SPP di SD dihapus beberapa tahun lalu, tidak ada lagi
biaya untuk mengangkut rombongan itu," tambah Warmansyah. Dinas
P & P (Pendidikan & Pengajaran) DKI ternyata mempergunakan
sebagian dana SPP untuk acara kunjungan ke museum-museum itu.
Dan museum-museum di Jakarta akhir-akhir ini memang sepi.
Hampir-hampir tanpa pengunjung. Museum Seni Rupa dan Museum
Bahari misalnya, terkadang hanya didatangi 4 atau 5 pengunjung
sehari. Sehingga seorang pengunjung Museum Kebangkitan Nasional,
merasa amat senang bila ada satu atau dua orang pengunjung
datang ke museum itu. "Kalau perlu tak usah membeli karcis yang
Rp 50 itu," ujar penjaga itu.
Warmansyah mengakui minat warga Jakarta terhadap museum masih
amat tipis. Hal ini katanya, karena minat baca masyarakat masih
kurang. Sebab dengan membaca, tambah Warmansyah, dengan
sendirinya akan timbul dorongan untuk melihat kenyataannya yang
ada di museum-museum.
Dinas Museum dan Sejarah DKI mengelola lebih dari 10 buah
museum. Seperti Museum Bahari, Museum Jakarta, Museum Wayang,
Museum Seni Rupa, Museum Keramik, Gedung Joang '45, Museum
Tekstil dan 4 museum yang ada di Gedung Kebangkitan Nasional
(Museum Pers Nasional, Museum Kesehatan Nasional, Museum
Kebangkitan Nasional dan Museum Sejarah Pergerakan Wanita
Indonesia).
Karena pengunjung rata-rata sepi, tentu saja pemasukan uang dari
karcis membuat museum-museum itu terengah-tengah. Apalagi
seperti kata Hamzuri, Sekretaris Museum Pusat, museum bukan lagi
sekedar tempat mengumpulkan barang-barang kuno. "Tapi juga
mencari, merawat, melestarikan, meneliti dan menyajikannya
secara baik," kata Hamzuri. Dan ini berarti memerlukan biaya tak
sedikit.
Museum Bahari yang sudah berusia 3 tahun misalnya, sampai
sekarang baru berisi 10% dari yang direncanakan. Dengan biaya
perawatan Rp 700.000 tiap bulan, baik tampang maupun isi museum
ini masih jauh dari memadai. Karena itu Kepala Museum Bahari,
Rahmat Ali, menghimbau para dermawan untuk turut membantu
kelengkapan museum ini.
Museum Tekstil tak kalah menyedihkan. Dibuka sejak 1976 museum
di Jalan K.S. Tubun ini sampai sekarang baru mampu memajangkan
100 potong koleksi pakaian. Padahal masih tersimpan 400 lembar
pakaian di dalam gudangnya karena tidak ada tempat untuk
memajangnya.
"Tidak ada museum di dunia ini yang untung," ujar Warmansyah.
Monas misalnya, yang rata-rata dikunjungi 10.000 orang tiap
bulan (dengan karcis Rp 200 sampai pelataran dn Rp 1.000 sampai
di puncak tiap orang) masih terhuyung-huyung. Dengan mendapatan
rata-rata Rp 3,5 juta tiap bulan, menurut Kepala Monas, Ir.
Imron "untuk membersihkan marmer pada dinding tugu saja sampai
sekarang belum ,ada biaya."
Bahkan Museum Pusat alias Museum Nasional -- sering juga disebut
Gedung Gajah -- yang pengelolaannya di bawah Departemen P & K,
bernasib serupa. "Penyajiannya seperti barang dalam gudang --
karena berbagai kesulitan biaya," tutur Hamzuri. Padahal museum
paling tua dan lengkap ini sampai sekarang tetap dikunjungi
rata-rata 100.000 orang tiap tahun -- walaupun tak seramai tahun
50-an yang menyebabkan museum ini pernah dinamai "gedung jodoh".
Lebih menyedihkan lagi, 30% dari pegawai Museum Pusat terkena
penyakit TBC. Karena pegawai-pegawainya harus menyedot tumpukan
debu setiap hari-meskipun tiap minggu barang-barangnya
dimasukkan dalam ruang berisi gas pemhunuh hama (difumigasikan).
Namun karena begitu banyak benda yang harus difumigasikan,
pembersihannya memakan waktu bertahun-tahun.
Yang akan bernasih baik barangkali hanya Museum Indonesia di
Taman Mini Indonesia Indah yang diresmikan Presiden Soeharto 20
April lalu. Paling tidak museum ini terhindar dari kesulitan
biaya, karena termasuk bagian TMII yang setiap tahun surplus
puluhan juta rupiah. Dan kabarnya juga para pengunjung TMII
sedikit yang melewatkan kesempatan melihat museum yang mewah
itu.
Baik TMII maupun tempat-tempat rekreasi seperti Ancol tampaknya
memang lebih ramai dikunjungi warga Jakarta, meskipun dengan
harga karcis jauh lebih mahal. Di tempat-tempat hiburan seperti
itu pengunjung mampu menghabiskan waktunya berjam-jam. Sedang di
museum, seperti kata Warmansyah, "melihat sekilas, lantas
pergi."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini