Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Museum-Museum, Sepi & Miskin

Minat warga jakarta terhadap museum masih langka, sehingga sebagian besar museum tersebut sepi dari pengunjung, dan biaya untuk merawat menjadi masalah. di jakarta ada lebih kurang 20 museum.

10 Mei 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Jakarta terdapat lebih dari 20 buah museum. Meskipun karcis masuk ada yang hanya Rp 50, sebagian besar selalu sepi dari pengunjung. Tak heran bila penghasilannya jauh dari mencukupi sehingga untuk merawatnya pun sulit. Padahal Pemda DKI beberapa waktu lalu secara gencar pernah melancarkan semacam kampanye yang terutama ditujukan kepada murid-murid sekolah agar mereka rajin ke museum. Antara lain dengan adanya wajib kunjung ke museum-museum bagi sekolah-sekolah. Dan hasilnya lumayan. Menurut Kepala Dinas Museum dan Sejarah DKI, G.A. Warmansyah, setiap hari sekitar 10 buah bis membawa rombongan murid-murid SD di DKI mengunjungi museum-museum yang ada di Jakarta. "Tapi sejak SPP di SD dihapus beberapa tahun lalu, tidak ada lagi biaya untuk mengangkut rombongan itu," tambah Warmansyah. Dinas P & P (Pendidikan & Pengajaran) DKI ternyata mempergunakan sebagian dana SPP untuk acara kunjungan ke museum-museum itu. Dan museum-museum di Jakarta akhir-akhir ini memang sepi. Hampir-hampir tanpa pengunjung. Museum Seni Rupa dan Museum Bahari misalnya, terkadang hanya didatangi 4 atau 5 pengunjung sehari. Sehingga seorang pengunjung Museum Kebangkitan Nasional, merasa amat senang bila ada satu atau dua orang pengunjung datang ke museum itu. "Kalau perlu tak usah membeli karcis yang Rp 50 itu," ujar penjaga itu. Warmansyah mengakui minat warga Jakarta terhadap museum masih amat tipis. Hal ini katanya, karena minat baca masyarakat masih kurang. Sebab dengan membaca, tambah Warmansyah, dengan sendirinya akan timbul dorongan untuk melihat kenyataannya yang ada di museum-museum. Dinas Museum dan Sejarah DKI mengelola lebih dari 10 buah museum. Seperti Museum Bahari, Museum Jakarta, Museum Wayang, Museum Seni Rupa, Museum Keramik, Gedung Joang '45, Museum Tekstil dan 4 museum yang ada di Gedung Kebangkitan Nasional (Museum Pers Nasional, Museum Kesehatan Nasional, Museum Kebangkitan Nasional dan Museum Sejarah Pergerakan Wanita Indonesia). Karena pengunjung rata-rata sepi, tentu saja pemasukan uang dari karcis membuat museum-museum itu terengah-tengah. Apalagi seperti kata Hamzuri, Sekretaris Museum Pusat, museum bukan lagi sekedar tempat mengumpulkan barang-barang kuno. "Tapi juga mencari, merawat, melestarikan, meneliti dan menyajikannya secara baik," kata Hamzuri. Dan ini berarti memerlukan biaya tak sedikit. Museum Bahari yang sudah berusia 3 tahun misalnya, sampai sekarang baru berisi 10% dari yang direncanakan. Dengan biaya perawatan Rp 700.000 tiap bulan, baik tampang maupun isi museum ini masih jauh dari memadai. Karena itu Kepala Museum Bahari, Rahmat Ali, menghimbau para dermawan untuk turut membantu kelengkapan museum ini. Museum Tekstil tak kalah menyedihkan. Dibuka sejak 1976 museum di Jalan K.S. Tubun ini sampai sekarang baru mampu memajangkan 100 potong koleksi pakaian. Padahal masih tersimpan 400 lembar pakaian di dalam gudangnya karena tidak ada tempat untuk memajangnya. "Tidak ada museum di dunia ini yang untung," ujar Warmansyah. Monas misalnya, yang rata-rata dikunjungi 10.000 orang tiap bulan (dengan karcis Rp 200 sampai pelataran dn Rp 1.000 sampai di puncak tiap orang) masih terhuyung-huyung. Dengan mendapatan rata-rata Rp 3,5 juta tiap bulan, menurut Kepala Monas, Ir. Imron "untuk membersihkan marmer pada dinding tugu saja sampai sekarang belum ,ada biaya." Bahkan Museum Pusat alias Museum Nasional -- sering juga disebut Gedung Gajah -- yang pengelolaannya di bawah Departemen P & K, bernasib serupa. "Penyajiannya seperti barang dalam gudang -- karena berbagai kesulitan biaya," tutur Hamzuri. Padahal museum paling tua dan lengkap ini sampai sekarang tetap dikunjungi rata-rata 100.000 orang tiap tahun -- walaupun tak seramai tahun 50-an yang menyebabkan museum ini pernah dinamai "gedung jodoh". Lebih menyedihkan lagi, 30% dari pegawai Museum Pusat terkena penyakit TBC. Karena pegawai-pegawainya harus menyedot tumpukan debu setiap hari-meskipun tiap minggu barang-barangnya dimasukkan dalam ruang berisi gas pemhunuh hama (difumigasikan). Namun karena begitu banyak benda yang harus difumigasikan, pembersihannya memakan waktu bertahun-tahun. Yang akan bernasih baik barangkali hanya Museum Indonesia di Taman Mini Indonesia Indah yang diresmikan Presiden Soeharto 20 April lalu. Paling tidak museum ini terhindar dari kesulitan biaya, karena termasuk bagian TMII yang setiap tahun surplus puluhan juta rupiah. Dan kabarnya juga para pengunjung TMII sedikit yang melewatkan kesempatan melihat museum yang mewah itu. Baik TMII maupun tempat-tempat rekreasi seperti Ancol tampaknya memang lebih ramai dikunjungi warga Jakarta, meskipun dengan harga karcis jauh lebih mahal. Di tempat-tempat hiburan seperti itu pengunjung mampu menghabiskan waktunya berjam-jam. Sedang di museum, seperti kata Warmansyah, "melihat sekilas, lantas pergi."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus