TIGA buah helikopter jenis Bell 204 berputar-putar di atas
Kecamatan Waris di Irian Jaya. Hari itu seorang "presiden" yang
telah bertahun-tahun dalam hutan akan dijemput.
Di kantor Kecamatan Waris -- 30 menit terbang dari Jayapura --
sudah menunggu 2 lelaki. Yang seorang bertubuh tinggi besar,
berseragam loreng. Kumis, cambang, janggut dan rambut hitam
lebat menimbulkan kesan angker. Ia adalah Marthin Tabu,
"jenderal pasukan pembebasan nasional" merangkap "presiden
Republik Papua Barat". Di pinggangnya tergantung pestol Colt 45.
Bersama Marthin Tabu menunggu pula Kapten Zacky Anwar, Komandan
Tim Operasi Nanggala-33, dari kesatuan Kopassandha alias RPKAD.
Hari itu 16 April sang "presiden" diterbangkan ke Sentani,
Jayapura.
Sudah 20 tahun Marthin Tabu lari ke hutan, sejak ia membunuh
ayah kandungnya: Raja Tabu, kepala suku di kampung besar Aurina
di Kerom, Kabupaten Jayapura. Pembunuhan itu konon gara-gara
Marthin jatuh cinta pada istri muda ayahnya. Pernah mengenyam
pendidikan calon penginjil di Fak-Fak dan bekerja di Gereja
Kathedral Jayapura, Marthin kini berusia 43 tahun dengan 3 istri
dan 3 anak, ketiganya dari istri pertama.
Di hutan, ia bertemu dengan 2 tokoh OPM: Zeth Rumkorem dan Jacob
Pray yang kini berada di Swedia. Dari merekalah rupanya Marthin
Tabu terpengaruh untuk bergabung dengan "OPM" (Organisasi Papua
Merdeka).
Adalah Marthin Tabu pula yang dua kali memimpin penyanderaan
beberapa pejabat pemerintah di hutan Irian Jaya pada 1978.
Pertengahan bulan lalu dia menyatakan sadar setelah melalui
pendekatan-pendekatan .
Hasutan Anak Buah
"Usaha untuk menghubungi Marthin Tabu sebenarnya sudah dimulai 8
bulan lalu. Tapi baru Maret kontak itu makin efektif," kata
Kapten Zacky Anwar kepada pembantu TEMPO, Dalhar T. Umar.
Kontak-kontak itu antara lain dengan mengirim kurir. Antara lain
lewat Frans Leo dan A Bun pawang dan pemburu buaya di pedalaman
Jayapura. Frans Leo juga ikut berperan ketika Marthin Tabu
pertama kali menyerah 20 Januari 1978.
Mathias Tabu, adik kandung Marthin Tabu yang lebih dulu sadar
(dan berperan dalam usaha pembebasan para sandera yang pernah
ditahan kakaknya) juga berseru agar saudaranya itu bersedia
bertemu dengan Kapten Zacky di Pos Waris. "Sebab kalau tidak,
kalau nanti ada operasi gabungan RI-PNG, ruang geraknya menjadi
semakin sempit. Dan nasibnya juga menjadi tak menentu," katanya.
Proses menyadarkan Marthin Tabu juga didorong oleh Alex Dery,
bekas "menteri penerangan" dan "panglima Jayawijaya" dari
"Republik Papua Barat". Alex yang lebih dulu sadar menceritakan
pengalamannya kepada Marthin Tabu bila menyerah akan
diperlakukan secara baik. Sejak Marthin menyerah setiap hari
pengikutnya melaporkan diri ke pos-pos ABRI terdekat. Tapi
beberapa tokoh seperti gubernur Irian Jaya pertama, E.J. Bonai,
bekas Ketua DPRD Ir-Ja, D.S. Ayameseba dikabarkan masih ada di
PNG.
"Sebenarnya sudah lama saya akan kembali ke pangkuan ibu
pertiwi. Tapi selalu mendapat hasutan anak buah kalau menyerah
akan dibunuh, " kata Marthin Tabu. Pengikut Marthin sebenarnya
tinggal 100 orang dengan senjata 20 pucuk.
Sebagai anak raja dan kepala suku, ia memang sangat berpengaruh
dan disegani penduduk pedalaman. Ia sendiri terkenal ringan
tangan dan tak segan-segan menembak siapa saja yang tak
disenanginya. Wajahnya kini sudah klimis. Ia disambut dengan
rangkulan mesra oleh Pandam XVII Brigjen C.l. Santoso. Panglima
lalu menyusupkan sebentuk cincin emas ke jari manisnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini